x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gaji Naik, Karyawan Bahagia, Produktivitas Meningkat

Tingkat pendapatan Anda memengaruhi kebahagiaan Anda. Sebuah studi oleh Daniel Kahneman mengungkapkan bahwa kesejahteraan emosional seseorang akan meningkat seiring meningkatnya pendapatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di hadapan 120 karyawannya, beberapa hari lalu, Dan Price—CEO Gravity Payments, perusahaan penyedia jasa pembayaran yang berbasis di Seattle, AS—mengumumkan kabar mengejutkan: Gaji pegawai akan dinaikkan hingga minimal US$ 70 ribu atau sekitar Rp 910 juta per tahun. Gaji pegawai naik mungkin terdengar biasa, tetapi kali ini mengagetkan sebab ada yang gajinya naik 100% agar gaji minimum itu tercapai dalam tiga tahun mendatang.

Lebih mengagetkan lagi, sebagai CEO, Price memangkas drastis gajinya hingga 90%, dari semula US$ 1 juta atau sekitar Rp 13 miliar per tahun menjadi US$ 70 ribu atau setara dengan gaji minimum pegawainya. Mungkin akan ada yang berkomentar, menurunkan gaji sendiri tak masalah, toh Price juga pemilik perusahaan yang akan memperoleh deviden dari laba. Tapi ternyata Price juga memangkas laba perusahaan antara 75% hingga 80% dan mengembalikannya kepada karyawan agar gaji mereka naik.

Keputusan Price itu diberitakan banyak media di AS, termasuk The New York Times. Tak lain karena langkah Price ini anomali. Kebanyakan CEO maupun jajaran direksi dan komisaris berlomba-lomba menaikkan gaji. Kebanyakan pemilik pun berlomba-lomba untuk memperoleh return of investment secepat dan sebesar mungkin agar ia bisa segera berinvestasi ke bisnis lain.

Di tengah kesenjangan pendapatan yang sangat besar antara jajaran direksi dan karyawan paling bawah (sejumlah ekonom memperkirakan pendapatan CEO di AS hampir 300 kali lipat gaji rata-rata pekerja, jauh lebih tinggi dari yang disarankan guru manajemen Peter Drucker, yakni 20 kali), langkah Price ini mengundang tanda tanya: apa alasan menaikkan gaji seluruh karyawan secara drastis? Jawaban atas pertanyaan ini agaknya dapat dikembalikan kepada respons yang ditunjukkan oleh karyawannya setelah Price menyampaikan kenaikan gaji itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, karyawan terdiam sejenak lalu seketika bertepuk tangan (“Butuh beberapa saat untuk mengerti apa yang dia [Price] katakan,” ujar seorang pegwai seperti dikutip CNN). Kedua, mereka kemudian ramai-ramai menelepon keluarganya dan menyampaikan kabar baik ini.

Intinya ialah kenaikan gaji yang signifikan agar mencapai tingkat pendapatan tertentu merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi banyak orang, terutama karyawan dengan gaji pas-pasan, untuk lepas dari impitan tekanan keuangan, seperti sewa rumah yang mahal, biaya makan dan minum yang tinggi, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Karyawan kemudian mempunyak cukup kebebasan agar dapat lebih produktif dalam bekerja dan tidak mengkhawatirkan soal uang (“Bagaimana kita hidup selama 1 minggu lagi sebelum gaji turun?”).

Price bertekad menaikkan gaji pegawainya setelah membaca studi mengenai pengaruh peningkatan pendapatan terhadap kualitas emosional seseorang. Dalam studinya, Angus Deaton dan peraih Hadiah Nobel Daniel Kahneman menghasilkan temuan yang mereka sebut “emotional well-being” (kesejahteraan emosional). Kahneman dan Deaton mendefinisikan istilah ini sebagai kualitas emosional dalam pengalaman sehari-hari individu, frekuensi dan intensitas dalam mengalami rasa senang, stres, kesedihan, kemarahan, dan afeksi yang membuat hidup seseorang menyenangkan atau tidak menyenangkan.

Menurut mereka, kesejahteraan emosional seseorang akan meningkat seiring meningkatnya pendapatan, yang dimulai dari angka tertentu (treshold), dalam konteks AS sekitar US$ 75 ribu per tahun. Bila pendapatan naik terus, di atas jumlah ini, perubahan kualitas emosional tetap terjadi tapi tidak signifikan, sebab kenaikan gaji itu akan diiringi dengan peningkatan kompleksitas masalah dan peningkatan stres yang dihadapi. Peningkatan kebahagiaan akan dialami bila seseorang, misalnya, juga mampu menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaan. Namun, jika pendapatan berada di bawah angka treshold, penurunan kualitas emosional akan mulai mengganggu kehidupan seseorang.

Studi Kahneman maupun langkah pionir Price memperlihatkan bahwa studi ekonomi kian menyentuh unsur-unsur kejiwaan dan emosionalitas manusia, bukan semata perkara angka inflasi. Studi ekonomi, pada akhirnya, memang studi mengenai manusia. (sbr foto: ec.europe.eu) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler