Jurnalisme Gegabah dan Para Pembaca 'Gebyah Uyah'
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMembagikan link berita memang bermanfaat, tetapi membagi berita yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya adalah hal yang lebih bermartabat
Maafkanlah saya kalau judulnya terlalu dramatis dan berlebihan, hal itu semata untuk mendapatkan rima yang pas sehingga lebih enak untuk dibaca dan penulisnya jadi terlihat seperti mengerti sajak layaknya para pujangga, itu saja. Sungguh sebenarnya saya bukan tipikal manusia yang rajin untuk mengupdate informasi dan berita serius yang sedang terjadi di muka bumi ini, saya lebih bahagia membaca tulisan-tulisan guyon dengan kualitas yang kata manusia berintelektual tinggi masuk ke dalam golongan tidak bermutu. Tapi lha yo mbok ben asal saya tidak merugikan orang lain saja kenapa harus diributkan, daripada saya mbaca berita ndakik-ndakik yang kalimatnya mbulet dengan isi yang masih dipertanyakan kebenarannya, namun karena kenaifan saya dalam membaca malah saya share kesana-kemari demi ingin terlihat sebagai mahluk dengan otak yang berisi namun ternyata berita itu bohong belaka.
Nah kembali ke judul, saya tidak hendak mengkhususkan pada satu kasus saja karena kejadian pemberitaan yang ndak pas bahkan cenderung menyesatkan itu sudah terjadi sejak lama dengan puncak wabahnya sekitar periode capres-capresan lalu, yang herannya koq bersambung sampai ribuan episode macam sinetron kita di tahun dua ribuan. Mengingat jaman capresan lalu itu sungguh sangat menggelitik hati, tetiba linimasa saya riuh dengan kabar heboh yang dishare dan uniknya dengan topic yang sama isi beritanya berlawanan arah, sayang seribu sayang untuk topik dari penculikan, LGBT, penangkapan koruptor sampai yang terhangat di Tolikara, fenomena perang link tetap saja berlanjut.
Seiring berjalannya waktu akhirnya mana berita yang benar dan mana yang abal-abal terkuak juga, walaupun ada peribahasa yang menyebutkan bahwa manusia tak mungkin ngglundhung ke lubang yang sama, namun nyatanya hobi nge share berita yang belum pasti juntrungannya itu tetap dilestarikan oleh para cerdik cendekia berhati mulia. Mereka seolah merasa kurang bisa merepresentasikan diri sebagai generasi kekinian jika belum ikut pusaran arus pembagi berita yang isinya hangat hangat kawah gunung raung itu. Apa saja isi beritanya asal bisa menyulut semangat adu argument, adu nyali , adu kepandaian sampai adu otot kawat balung rapuh pasti mereka lakoni.
Saya sendiri sebenarnya koq ndak yakin kalau yang nge share itu benar-benar tidak tahu bahwa yang link-link yang beliau bagikan kepada khalayak itu adalah berita yang sahih, entahlah mungkin saja saya jenis manusia curigaan yang hobinya negative thinking, tapi seringnya berita ndak beres itu datang dari portal-portal media yang bahkan kita ndak ngerti kompetensinya macam apa. Njenengan semua pasti sudah paham benar dengan kemajuan informasi di era ini yang mampu menumbuhkan media-media on line dengan ragam gaya jurnalisme nya yang tak terhitung dan spesifikasi masing-masing.
Spesifikasi yang saya maksud itu misalnya ada media yang berperan sebagai kompor mbledhos dengan isi berita yang selalu saja membuat para pembacanya yang nuwun sewu ,malas berkontemplasi sejenak menjadi cepat budreg, darah tinggi hingga akhirnya naik pitam dan langsung menghujat sana sini tanpa bisa mengendalikan diri. Ada lagi tipe media yang agak galau layaknya abg sedang jatuh hati. Hari ini bisa memberitakan begini tapi besoknya jadi begitu karena ternyata yang begini itu terbukti tidak benar. Selain itu masih ada media yang hanya hobi untuk menurunkan pemberitaan yang potensial membbuat kebingungan, media ini seperti hendak berlaku netral namun sebenarnya syarat provokasi juga sehingga pembaca menjadi membludag dan sokur-sokur iklan pun akhirnya berjejalan. Ah sebenarnya mungkin masih banyak spesifikasi-spesifikasi lainnya, namun telaah saya terbatas sampai disini saja, ndak nanti dikira nggaya.
Mendadak kepala saya migraine gara-gara mbahas ginian, padahal fenomena ini adalah sebuah risiko yang harus kita terima sebagai sebuah konsekuensi menjadi generasi internet. Air bah informasi yang semakin menderas hendaknya juga disertai dengan saringan yang semakin rapat, kalau dulunya cukup dengan saringan kawat pasir pak tukang batu, mungkin sekarang sudah waktunya pinjam saringan kainnya para pengrajin tahu.
Saya bukan pembela media-media mainstream yang sudah lama eksis di negeri ini, tapi setidaknya media-media besar yang sudah lama lalu lalang dalam urusan pemberitaan tentu saja memiliki kadar keterpercayaan yang lebih baik. Memang tidak semua media on line itu berisi hoax, namun mbok ya kita berusaha lebih sareh dulu, berilah otak dan hati kita waktu untuk ngramesi sebuah berita, jangan terlalu kesusu, terus gebyah uyah dan menelan mentah-mentah kalau berita yang keluar dari media A yang kita yakini kemoncerannya adalah pasti benar. Sandingkan dulu, bandingkan dulu dengan pemberitaan serupa di media lainnya.
Jangan sampai lah kita mbagi-mbagi berita yang ternyata isinya adalah hal yang tidak benar, bukan hanya malu yang kita dapat tapi juga seperti pengingkaran terhadap hati nurani, mosok kita jadi bagian para penebar fitnah, padahal fitnah itu lebih kejam dari mencintai mantan yang sudah jadi milik orang.
Akhirnya marilah kita bersatu dan tidak terlalu fokus pada perbedaan yang semakin diperlebar. Pada hakikatnya semua mahluk ini diciptakanNya dengan keunikan dan ciri masing-masing, perbedaan itu tercipta sebagai sarana untuk melengkapi. Indonesia itu negara yang sungguh amat kerennya jika utuh dan bersatu, jangan sampai semangat memecah belah justru menjadi sebuah kebanggaan. Apa kita ndak ingat jaman SD dulu pas ulangan PMP, apa yang tertulis pada cengkeraman kaki Garuda Pancasila?
salam
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGalaumu itu Lebay Dék
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler