Tripama
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSerat Tripama adalah sastra Jawa karya KGPAA Mangkunegara IV memuat tiga lakon dari tiga tokoh kesatria. Sebuah pawulang tentang bela negara.
Anak-anak panah melesat menghujani Sang Kesatria dalam tanding bala-bala tentara demi kehormatan negara. Bukan membalik langkah, gambaran jiwa luhur itu makin beringas menantang segala perlawanan. Muntahan busur-busur yang dibentang lawan menyasar dua tangan, kiri dan kanan, hingga koyak, sampai terputus lepas. Luka-luka tidak menyurut mundur niat membela tumpah darah. Kesatria makin trengginas menginjak-injak pasukan lawan, sepenuh usaha memenangkan perang.
Bala kerajaan musuh pontang-panting hampir kewalahan, sebagian mati oleh amuk Sang Kesatria yang telah tanpa lengan-lengan tangan. Busur-busur kembali dibentang, anak-anak panah tumpah melumpuhkan kaki-kaki tumpuan. Tigas, dua kaki Sang Kesatria terpangkas. Bukan mati, Kesatria malah mengguling-gulingkan badan raksasanya melindas tentara-tentara lawan sampai banyak lagi yang mati di medan pertarungan. Pasukan kera jumpalitan berusaha menghindar.
Maka, Sri Rama kembali mengarahkan pusaka busur panah. Senapati lawan, yang meski luhur berniat membela negaranya, harus kalah. Sri Rama mengarah leher Sang Kesatria. Titis sasaran, kepala Sang Senapati luwar, jatuh ke tanah. Perjuangan membela kehormatan negara akhirnya tuntas. Sang Kesatria, Senapati Alengka, wafat terhormat.
Kisah Raksasa Kumbakarna, yang membela Alengka adalah favorit saya dari tiga kisah Serat Tripama. Ada pawulang (ajaran) bukan saja soal bela negara di bagian ini, lebih dari dua kisah lain yang mengapitnya, menurut saya. Tuntunan bukan saja tercermin dari lelakon tokoh Kumbakarna, Sang Senapati Alengka, atau Sang Kesatria, melainkan juga arahan pada tiap kita untuk adil menilai segala dalam kehidupan.
Melihat tempat berpihak, yaitu Kerajaan Alengka, istana Raksasa Dasamuka, yang telah jelas salah menculik Dewi Shinta, harusnya Kumbakarna salah. Tapi niatnya dijabarkan dalam bait-bait tembang yang akhirnya memperjelas sejatinya tujuan. Kumbakarna, adik kandung Dasamuka (Raja Alengka), berangkat ke medan perang, madeg (menjadi) senapati, bukan membela angkara murka kakandanya, tapi membela negara, demi daulat negerinya yang diserang tentara kera Ayodya. Laku ini yang menjadikan Kumbakarna digolongkan penuntun baik, teladan utama, contoh luhur jiwa kesatria dalam darma bakti membela negera. Dalam pagelaran sendra tari atau wayang orang, yang sarat lambang dan simbol, Kumbakarna sering ditampilkan berwajah putih atau berpakaian putih lambang kesucian.
Penggalan Tripama tentang Kumbakarna menuturkan
..…
Wonten malih tuladhan prayogi
Satriya gung ing Nagari Ngalengka
Sang Kumbakarna namane
Tur iku rupa diyu
Suprandene nggayuh utami
Duk nalika prang Ngalengka
Denya darbe atur
Mring Raka amrih raharja
Dasamuka tan keguh ing atur yekti
De mung mungsuh wanara
…...
Arti bait itu adalah
Ada lagi teladan baik
Kesatria besar Negara Alengka
Bernama Sang Kumbakarna
Meskipun berwujud raksasa
Tapi memilih meraih keutamaan (kebaikan)
Ketika Alengka dilanda peperangan
Dia berusaha menyampaikan (memberi nasehat atau mengingatkan)
Kepada Kakandanya (Raja Dasamuka) agar negara tetap aman (terhindar dari serbuan)
Dasamuka tidak goyah oleh nasehat baik
Apalagi (bagi Dasamuka yang akan dihadapi) sekedar pertempuran melawan kera
Syair Tripama tercantum dalam tembang Dandanggula. Ini sastra Jawa karya Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegara IV memuat tiga lakon dari tiga tokoh luhur pembela negara. Seluruh Tripama memuat 7 pada atau bait. Dua pada pertama menceritakan tokoh pertama, Bambang Sumantri, dua pada berikutnya menuturkan tokoh kedua, Kumbakarna, dua pada kelima dan keenam tentang Adipati Karna, dan pada ketujuh penutup.
Tokoh Bambang Sumantri, pemuda yang berkeras mengabdi pada negara. Sumantri mempersembahkan segala anugerah titipan Maha Pencipta Hidup padanya, yaitu guna atau kepandaian, sesekali bisa berarti kebijaksanaan, kaya yaitu kemampuan, dan purun berarti semangat atau kehendak atau niat. Pemuda Sumantri akhirnya menjadi mahapatih andalan kerajaan berjuluk Patih Suwanda setelah melewati perjuangan-perjuangan dengan ujian-ujian pembukti pengabdian.
Bagian ketiga, pada kelima keenam, menceritakan Adipati Karna, putra Dewi Kunti, yang juga tokoh pahlawan pembela negara. Karna memilih membela Kurawa dalam Bratayuda, perang besar Pandawa-Kurawa melambangkan kebaikan melawan keburukan. Permohonan Sang Ibunda, Dewi Kunti, untuk memihak Pandawa, ditolak Karna, karena Kurawa telah memberinya tanah kekuasaan di Kerajaan Awangga. Dimana tanah air, disanalah Sang Adipati labuh negara (berjuang membela negara).
Tripama ditutup dengan petuah bahwa Jawa mengajarkan bela negara tercermin dalam perjalanan tiga pahlawan yang pantas menjadi teladan. Aja kongsi mbuwang palupi baris kelima bait terakhir berarti jangan mengabaikan atau membuang teladan kebajikan. Manawa tibeng nistha kalimat berikutnya disambung ina estinipun adalah pengingat bahwa siapa yang mau melakukan kenistaan atau kejahatan sesungguhnya hina. Dan tiga baris terakhir sanadyan tekading buta, tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi ing kotaman intinya pengingat bahwa tidak ada beda tiap ciptaan di sisi Sang Pencipta selain laku baik atau bakti baik yang akan menjadikan utama.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Andai Saya Jurnalis, Kemarin
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBTentang Kebenaran (Bagian 2 The Help)
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler