x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berkelit di Tengah Ketidakpastian

Bila Anda seorang pemimpin bisnis, apa yang akan Anda lakukan menghadapi situasi turbulensi seperti sekarang?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bila Anda seorang pemimpin bisnis, apa yang akan Anda lakukan menghadapi situasi turbulensi seperti sekarang? Kurs mata uang naik-turun dengan cepat, begitu pula dengan indeks harga saham, belum lagi regulasi tengah menjalani konsolidasi baru? Dalam situasi seperti ini, keputusan yang Anda ambil sebagai pemimpin akan menentukan nasib perusahaan dan orang-orang di dalamnya.

Tatkala dihadapkan pada perubahan mendadak, seperti pasar yang menciut, sebagian pemimpin bisnis mungkin akan mengambil jalan pintas yang lazim ditempuh, yakni memangkas anggaran di berbagai lini, mengerem pengembangan produk, atau mengurangi produksi. Trik-trik cepat ini dijalankan demi mempertahankan arus kas. Di tengah kepanikan, banyak pemimpin bisnis mengabaikan lebih dulu kepentingan jangka panjang.

Di saat-saat seperti itu, perusahaan menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, dan keputusan yang diambil seorang pemimpin di saat itu akan berdampak lebih serius. Dampaknya bukan hanya berlangsung lama dan nyata terhadap keuntungan, tapi juga terhadap karyawan, moral, budaya, dan nilai-nilai inti perusahaan, terutama bila keputusan tersebut merusak fundamental perusahaan dan gagal memenuhi harapan konsumen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejumlah pakar manajemen, termasuk Philip Kotler, menilai bahwa situasi yang tidak pasti dan berubah-ubah (volatile) kini menjadi sesuatu yang normal dalam industry maupun pasar. Bukan lagi anomali atau pengecualian. Dalam bukunya, Chaotics (Gramedia, 2011), Kotler menyebutkan bahwa turbulensi telah menjadi normalitas baru, yang dicirikan oleh naik-turunnya kesejahteraan serta kelesuan secara periodik dan teratur. Ekonomi tumbuh, lalu melambat. Volume penjualan semula naik terus, tapi tiba-tiba melambat.

Turbulensi mempunyai dua efek utama yang pendekatan untuk menyiasatinya berbeda. Pertama, memandang turbulensi sebagai kerawanan yang harus dihadapi oleh perusahaan dengan tindakan defensif. Misalnya, menjaga arus kas agar tidak defisit. Pendekatan kedua, melihatnya sebagai peluang yang perlu dieksploitasi. Masa sulit menyusahkan sebagian orang, tetapi bisa jadi menyenangkan sebagian lainnya. Peluang muncul ketika sebuah perusahaan yang jeli mampu merebut peluang bisnis.

Dunia usaha menggunakan aturan main berbeda untuk menghadapi tiap-tiap kondisi pasar. Pada kondisi normal, mereka saling bersaing dengan beragam permainan menyerang atau bertahan, tapi tidak mungkin menang telak—selalu ada kompromi. Pada masa resesi, dunia usaha memangkas pengeluaran dan investasi agar dapat bertahan. Tapi, kata Kotler, cara pandang semacam ini sudah ketinggalan zaman.

Para pemimpin bisnis memerlukan cara pandang dan kerangka berpikir baru sebagaimana dituturkan oleh Peter Drucker (The Age of Discontinuity), yang ditekankan oleh Andy Grove (Only the Paranoid Survival), Alan Greenspan (The Age of Turbulence), maupun Clayton Christensen (Business Innovation and Disruptive Technology).

Menghadapi periode turbulensi, para pemimpin bisnis memerlukan sistem yang khas untuk mengambil keputusan yang lebih baik, yang oleh Kotler disebut sistem manajemen kaotis—untuk membedakannya dari manajemen dalam situasi normal. Tujuannya ialah memberikan kepada pemimpin bisnis pedoman yang jelas untuk mewujudkan organisasi yang responsif, kokoh, dan tahan banting di tengah situasi turbulen. Dalam situasi seperti ini, kecepatan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan sangat diperlukan.

Organisasi harus mengembangkan kemampuan bereaksi secara cepat terhadap lingkungan yang terus-menerus berubah. Dengan cara adaptif inilah, organisasi mampu menahan tekanan dan impitan besar dengan kerusakan minimal. Mereka dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang tidak dapat diramalkan di dalam lingkungan dan mampu melenting saat masa-masa sulit lewat dan keadaan mulai membaik.

Menghadapi situasi yang sukar, pemimpin bisnis tak bisa serta merta memangkas berbagai anggaran tanpa mengetahui lebih dulu apa yang dialami dan dilakukan konsumen, pesaing, penjual, dan pemasok. Apa yang kelihatannya mustahil justru mungkin untuk dilakukan, misalnya saja merekrut keahlian yang diperlukan ketika kompetitor terengah-engah menghadapi ekonomi yang mengetat. Ketika banyak pemimpin bisnis melepas orang-orang terbaiknya, maka ini peluang bagi Anda untuk memperkuat sumberdaya manusia dengan biaya yang relatif lebih murah. Bukankah orang memerlukan pekerjaan di saat sulit? (sumber ilustrasi: pon.harvard.edu) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler