x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jadi, Bagaimana Anda Menyiasati Ketidakpastian?

Di tengah ketidakpastian niscaya terdapat peluang untuk dieksploitasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Tanpa unsur ketidakpastian, kemenangan bisnis terbesar sekalipun akan membosankan, rutin, dan sama sekali tidak memuaskan.”

--J. Paul Getty (Pengusaha, 1892-1976)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila Anda seorang pemimpin bisnis, apa yang akan Anda lakukan menghadapi situasi turbulensi? Yang dimaksud dengan turbulensi adalah situasi yang tak pasti, naik-turun, berubah-ubah dengan cepat. Di masa sekarang, setiap perusahaan kerap menghadapi situasi seperti itu, dan keputusan yang Anda ambil sebagai pemimpin akan sangat menentukan.

Tatkala dihadapkan pada perubahan mendadak, seperti pasar yang menciut, sebagian pemimpin bisnis mungkin akan mengambil jalan pintas yang lazim ditempuh, yakni memangkas anggaran pemasaran, mengerem pengembangan produk, atau meremehkan pemasok dan distributor—menunda pembayaran kewajiban. Trik-trik cepat ini dijalankan demi mempertahankan arus kas. Di tengah kepanikan, banyak pemimpin bisnis mengabaikan kepentingan jangka panjang.

Di saat-saat seperti itu, perusahaan menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, dan keputusan yang diambil seorang pemimpin akan berdampak lebih serius ketimbang biasanya. Dampaknya bukan hanya berlangsung lama dan nyata terhadap keuntungan, tapi juga terhadap karyawan, moral, budaya, dan nilai inti perusahaan, terutama bila keputusan tersebut merusak fundamental perusahaan dan gagal memenuhi harapan konsumen.

Sejumlah pakar manajemen, termasuk Philip Kotler, menilai bahwa ketidakpastian kini menjadi sesuatu yang normal dalam industri, pasar, maupun perusahaan. Bukan lagi anomali atau pengecualian. Dalam bukunya, Chaotics, Kotler menyebutkan bahwa turbulensi telah menjadi normalitas baru, yang dicirikan oleh naik-turunnya kesejahteraan serta kelesuan secara periodik dan teratur.

Turbulensi mempunyai dua efek utama. Pertama, kerawanan, yang harus dihadapi oleh perusahaan dengan tindakan defensif. Kedua, peluang, yang perlu dieksploitasi. Masa sulit menyusahkan sebagian orang, tetapi menyenangkan sebagian lainnya. Peluang muncul ketika sebuah perusahaan yang jeli mampu merebut bisnis pesaing lain. Ini tak ubahnya dua sisi dari mata uang yang sama.

Dunia usaha menggunakan aturan main berbeda untuk menghadapi tiap-tiap kondisi pasar. Pada kondisi normal, mereka saling bersaing dengan beragam permainan menyerang atau bertahan, tapi tidak mungkin menang telak—setidaknya inilah yang digagas matematikawan John Nash dengan teori permainannya. Pada masa resesi, dunia usaha memangkas pengeluaran dan investasi agar dapat bertahan. Tapi, kata Kotler, cara pandang semacam ini sudah ketinggalan zaman. Ada kondisi lain di luar kondisi utama itu. Kondisi tersebut dapat berubah tiba-tiba begitu saja menuju kondisi yang lain.

Menghadapi semua itu, para pemimpin bisnis memerlukan cara pandang dan kerangka berpikir baru sebagaimana dimintakan perhatiannya oleh Peter Drucker (The Age of Discontinuity), yang ditekankan oleh Andy Grove (Only the Paranoid Survival), dan dimaksudkan oleh Alan Greenspan (The Age of Turbulence) dan Clayton Christensen (Business Innovation and Disruptive Technology).

Menghadapi periode turbulensi, para pemimpin bisnis perlu sistem khas untuk mengambil keputusan yang lebih baik, yang oleh Kotler disebut chaotic management. Tujuannya: memberikan pedoman yang jelas kepada pemimpin bisnis untuk mewujudkan organisasi yang responsif, kokoh, dan tahan banting.

Organisasi semacam ini memiliki kemampuan bereaksi cepat terhadap lingkungan yang terus-menerus berubah dan mampu menahan tekanan dan impitan besar dengan kerusakan minimal. Mereka dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang tidak dapat diramalkan dan mampu melenting saat masa-masa sulit lewat dan keadaan mulai membaik. Pendeknya, organisasi ini adaptif.

Menghadapi situasi sukar, pemimpin bisnis tak bisa serta merta memangkas berbagai anggaran tanpa mengetahui lebih dulu apa yang dialami dan dilakukan konsumen, pesaing, penjual, dan pemasok. Apa yang tampak mustahil bisa jadi lebih mungkin dilakukan, sebagaimana dicontohkan oleh seorang pengusaha yang merekrut banyak orang berbakat ketika para pesaingnya terengah-engah menghadapi ekonomi yang mengetat. Pengusaha itu berpikir: orang-orang yang kehilangan pekerjaan adalah peluang bagi dirinya untuk memperkuat sumber daya perusahaan dengan biaya lebih murah. Bukankah orang butuh pekerjaan segera? (sumber foto ilustrasi: opendemocracy.net)**

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler