x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sudah Miskin, Susah Makan, Disuruh Diet Pula

Tidak selayaknya ‘orang tidak miskin’ menjadikan kemiskinan sebagai kelakar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kemiskinan adalah bentuk kekerasan yang paling buruk.”

--Mahatma Gandhi (Pemimpin India, 1869-1948)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Antara kaget dan terheran-heran, saya membaca berita di media online mengenai respon Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani terhadap permintaan Gubernur Bali Mangku Pastika agar pemerintah pusat menambah jumlah beras raskin karena jumlah penduduk miskin di Bali meningkat. Sebuah media menulis: “Sambil berseloroh, Puan meminta rakyat miskin untuk tidak makan terlalu banyak dan melakukan diet.” “Jangan banyak-banyak makan lah, diet sedikit tidak apa-apa,” kata Puan, seperti dikutip media

Apabila memang benar itu seloroh, maka seloroh itu saya rasa membikin hati kita getir. Sepengetahuan saya, pada umumnya orang miskin sudah sulit makan. Jangankan makan banyak, makan sedikit saja sukar. Mereka pun bukan hanya melakukan sedikit diet, tapi malah sudah menjalani banyak diet: makan sedikit nasi, tanpa ayam dan telor (yang harganya terus naik), mungkin hanya berlauk sepotong tempe ditemani garam atau sambal sisa kemarin.

Jadi, saran untuk jangan makan banyak dan melakukan diet itu bukan saja tidak tepat sasaran, tapi sekaligus juga kurang berempati kepada kesulitan kaum miskin. Keadaan mereka bertambah buruk dengan meningkatnya harga-harga dan biaya hidup. Harga ayam dan telor terus bergerak naik, sehingga berpotensi mengurangi asupan protein bagi kaum miskin. Sebagai manusia, sungguh tidak memadai apabila saudara kita ini hanya menerima asupan karbohidrat—namun karbohidratpun sudah berkurang jatahnya.

Sepengetahuan saya, saudara kita ini juga tidak bermanja hanya mau makan nasi. Mereka juga makan ubi, singkong, atau apa saja yang mereka bisa dapatkan dengan penghasilan amat terbatas. Asal tahu saja, BPS menyebutkan bahwa peran komoditas makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peran komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Ketika harga-harga makanan semakin bergerak naik, jumlah kaum miskin semakin banyak karena keluarga yang tidak mampu menjangkau harga-harga makanan itu kian bertambah.

Jumlah orang miskin di Indonesia, menurut BPS, meningkat dari tahun lalu (per September 2014), yakni 27,73 juta orang atau 10,96 persen, menjadi 28,59 juta atau 11,22 persen per Maret 2015. BPS juga menyebutkan bahwa dalam periode yang sama, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik 0,29 juta (dari 10,36 juta pada September 2014 menjadi 10,65 juta pada Maret 2015), sedangkan di daerah pedesaan naik 0,57 juta (dari 17,37 juta pada September 2014 menjadi 17,94 juta pada Maret 2015).

Angka-angka BPS itu menunjukkan bahwa kemiskinan lebih banyak dijumpai di perdesaan. Kenaikan jumlah orang miskin di perdesaan bahkan dua kali lebih tinggi ketimbang kenaikan di perkotaan. Ini menandakan bahwa pembangunan dan aktivitas ekonomi lebih terpusat di kota-kota dan kurang menyentuh perdesaan.

Yang tak kalah mencemaskan ialah kesenjangan antara kaum miskin dan kaum kaya yang semakin lebar. Indeks Gini, yang menjadi ukuran kesenjangan itu, semakin besar dibandingkan sebelumnya. Kini, angka Indeks Gini mencapai 4,3—sebuah angka yang tergolong ‘lampu kuning’, dalam arti Indonesia harus bersiap menghadapi masalah yang berpotensi terjadi sebagai akibat kesenjangan yang meningkat.

Melihat data-data yang dipublikasi BPS itu, kita patut merasa cemas dan tidak selayaknya ‘orang tidak miskin’ menjadikan kemiskinan sebagai kelakar. Baiklah, mungkin Ibu Menteri ini tidak punya niat buruk dengan melontarkan seloroh itu. Namun banyak orang niscaya merasa getir mendengarnya sebab terkesan kurang peka terhadap perihnya menjadi orang miskin. Saya lantas teringat kata-kata penulis James Baldwin: “Siapapun yang pernah berjuang melawan kemiskinan tahu benar betapa sangat mahal menjadi miskin itu.” (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler