x

Iklan

Munim Sirry Sirry

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Islam, LGBT, dan Perkawinan Sejenis

Singkatnya, ayat-ayat Al-Quran mengenai kisah Nabi Luth dan kaumnya tidak dapat dijadikan landasan normatif untuk mendiskriminasi kaum LGBT.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) adalah fakta sosial. Mereka yang menolak LGBT akan berargumen kenyataan itu tidak berarti dapat begitu saja dilegitimasi oleh agama. Lantas, apa dasar agama tidak melegitimasinya?

Dalam buku teks pelajaran Islam, Kementerian Pendidikan Arab Saudi menggambarkan “homoseksualitas” sebagai berikut: “Salah satu dosa paling menjijikkan dan pelanggaran terbesar. Allah tidak pernah mengazab suatu umat sebagaimana azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth. Dia menghukum mereka dengan hukuman yang tak dialami umat lain. Homoseksualitas merupakan perbuatan bejat yang berlawanan dengan tabiat alamiah.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Al-Quran menarasikan kembali kisah kaum Luth tersebut dari Kitab Kejadian 19 dalam Al-Kitab Ibrani (dalam Kristen disebut Perjanjian Lama). Nabi Luth disinggung dalam 14 surat Al-Quran. Kisah Nabi Luth dan kaumnya menggambarkan paradigma Al-Quran tentang misi kenabian. Disebut “paradigma” karena nabi-nabi dalam Al-Quran digambarkan dengan pola yang sama, yakni diutus kepada suatu kaum untuk memberi peringatan, ditolak oleh sebagian kaum, dan Allah menurunkan azab. Lebih menarik lagi, dalam surat al-Syu‘ara’ (26), beberapa kalimat yang sama diucapkan oleh nabi-nabi berbeda. Lho kok bisa? Saya menyebut paradigma kenabian ini sebagai “mono-prophetic” (kenabian tunggal). Walaupun ada banyak nama nabi disebut dalam Al-Quran, sesungguhnya satu sosok, yaitu ia yang diutus kepada suatu umat, ditolak oleh sebagian umat, dan turunnya ancaman azab Tuhan.

Nabi Luth memberi peringatan: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki di antara ciptaan dan malah meninggalkan istri-istri yang Tuhanmu ciptakan untukmu?” Apa yang dimaksud “mendatangi” laki-laki? Dijelaskan dalam Al-Quran: untuk melampiaskan “nafsu”. Di sini terlihat bahwa kaum Luth memiliki istri-istri yang sah, tapi justru melakukan seks tidak senonoh dengan para pengunjung laki-laki yang singgah ke kota mereka. Hal ini berarti bahwa hubungan seks mereka terjadi di luar nikah. Penjelasan ini perlu digarisbawahi karena sebagian mazhab fikih menganalogikan sodomi dengan zina.

Apakah para pelancong itu akan menerima dengan sukarela? Hanya mereka yang tidak punya hati nurani yang akan mengiyakan itu. Jika demikian, kebejatan perbuatan kaum Luth itu terletak pada aspek pelampiasan nafsu yang bersifat semau dewe dan dapat dikategorikan “pemerkosaan.”

Al-Quran tidak memberikan penjelasan eksplisit mengapa kaum Luth melakukan itu. Satu ayat memberikan kesaksian menarik: malaikat yang menjelma sebagai laki-laki diincar untuk diperkosa dan Tuhan membutakan mata mereka. Lalu, dari mana Kementerian Pendidikan Arab Saudi sampai pada kesimpulan bahwa kaum Luth diazab karena homoseks? Ulama Saudi biasanya literlek dalam memahami Al-Quran, tapi mengapa dalam hal ini tidak? Jika merujuk ke Quran, pelanggaran kaum Luth itu bertumpuk-tumpuk, selain melampiaskan nafsu kepada laki-laki (tentu tanpa nikah!), juga merampok, berbuat munkar, dan menantang Tuhan.

Jika para penolak hak-hak LGBT konsisten dengan tafsir literlek-nya, semestinya mereka tidak akan gegabah mengaitkan azab pedih Tuhan dengan perbuatan homoseksual. Lihatlah bagaimana ulama literalis Ibn Hazm (w.1064) memahami azab yang menimpa kaum Lut. Dalam magnum opus-nya, Kitab al-Muhalla, ulama Andalusia itu menolak pandangan yang mengaitkan azab kaum Luth dengan perbuatan seks sesama lelaki, tapi justru karena penolakan mereka terhadap ajakan Nabi Luth dan misi kenabiannya.

Singkatnya, ayat-ayat Al-Quran mengenai kisah Nabi Luth dan kaumnya tidak dapat dijadikan landasan normatif untuk mendiskriminasi kaum LGBT, termasuk melarang mereka menikah sejenis.

Landasan normatif lain yang kerap dijadikan alasan kaum konservatif adalah hadis Nabi yang memerintahkan hukum bunuh bagi pelaku sodomi. Hadis-hadis yang menyebut bentuk-bentuk hukuman tertentu terhadap sodomi sudah banyak dipersoalkan otentisitasnya, bahkan oleh ulama-ulama konservatif sendiri, seperti Syinqiti.

Di kalangan para fuqaha, terdapat perbedaan tajam mengenai bentuk-bentuk hukuman bagi pelaku sodomi. Perbedaan mereka cukup substantif karena terkait dengan aspek konseptual mengapa pelaku sodomi harus dihukum. Perlu diakui, empat mazhab Sunni menggolongkan sodomi sebagai pelanggaran. Tapi, mereka membedakan sodomi dengan laki-laki dan perempuan. Yang terakhir disebut liwat sughra (sodomi ringan). Dalam mazhab Syiah, sodomi dengan istri diperbolehkan, walaupun sebisa mungkin dicegah.

Mengapa para fuqaha menganggap sodomi sebagai pelanggaran? Hal ini menarik, karena Al-Quran tidak menetapkan suatu hukuman tertentu bagi pelaku sodomi. Lalu, bagaimana menentukan bentuk hukumannya? Mereka menganalogikannya dengan zina, yang bentuk hukumannya dijelaskan dalam Al-Quran. Asumsi dasarnya adalah sodomi yang dihukum (seperti halnya zina) adalah yang dilakukan di luar jalinan pernikahan. Tiga mazhab, yakni Maliki, Syafi’I, dan Hanbali, menyamakan sodomi dengan zina. Adapun mazhab Hanafi, yang tidak mau menggunakan analogi (qiyas) dalam konteks ini, berpendapat hukuman sodomi adalah ta‘zir, yakni diserahkan sepenuhnya kepada keputusan penguasa. Perbedaan itu mengindikasikan bahwa mereka semua tidak menerima hadis yang memerintahkan hukum bunuh bagi pelaku sodomi sebagaimana yang sering disitir kaum konservatif belakangan ini.

Perlu diakui, sebagaimana tidak ada dalil yang secara eksplisit melarang pernikahan sejenis, juga tidak ada dalil yang jelas-jelas membolehkannya. Lalu, apa prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan perkawinan sejenis dapat dibenarkan? Jawabannya, konsep kemaslahatan yang bermuara pada terwujudnya kesataraan, keadilan, dan kehormatan manusia. Ringkasnya, pelembagaan perkawinan sejenis memungkinkan pasangan dapat menikmati berbagai hak keistimewaan (privileges) yang dinikmati suami-istri lain.

Jika masih ada yang memunculkan penolakan konsep maslahah dalam konteks LGBT, itu namanya ngeyel.

[*]

Keterangan foto: Spanduk penolakan kaum lesbi dan homo yang ditempel oleh sejumlah ormas Islam di kawasan Gempol Sari, Bandung, Jawa Barat, 27 Januari 2016. TEMPO/Prima Mulia.

Ikuti tulisan menarik Munim Sirry Sirry lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu