x

Lukisan asli Sudjojono dari katalog Galeri Canna. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Jim Supangkat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK Lukisan Palsu: Dua Drama 'Arakan Penganten'

Isu lukisan palsu meletup lagi ketika Oei Hong Djien Museum menerbitkan buku The People in 70 Years yang ditulis Jim Supangkat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memang saya tidak mempedulikan isu lukisan palsu tatkala menyusun The People in 70 Years pada November 2015 di Museum OHD di Magelang, pameran 150 karya bertema sosial (koleksi museum ini) untuk merayakan 70 tahun kemerdekaan Indonesia. Padahal isu lukisan palsu, yang masih dikais sampai sekarang, muncul di Museum OHD ini pada April 2012.

 

Ketidakpedulian saya mengundang komentar. Dalam kolom "Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat" (Tempo, 14 Maret 2016), Hendro Wiyanto (HW) menyesali sikap saya yang (terlalu) percaya pada mata dan pembacaan saya sendiri. Ia berpendapat, seharusnya saya menggunakan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (PPSI, 2014) sebagai referensi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Pangkal kritik HW terduga. Dalam pameran "The People", saya menyertakan beberapa lukisan yang diramaikan palsu. Khususnya lukisan Sudjojono, Arakan Penganten (1976), yang ditampilkan pada sampul depan Jejak Lukisan Palsu Indonesia.

 

Sebetulnya tidak banyak gunanya menghubungkan The People dengan isu lukisan palsu karena publik (seni rupa) bisa menilai sendiri tanpa bimbingan suatu otoritas. Tapi, apa boleh buat, kritik HW dengan pendapat memaksa perlu saya tanggapi dan mari kita lihat duduk perkaranya dengan mengkaji Arakan Penganten sebagai representasi.

 

Arakan Penganten Sudjojono sama sekali bukan penggambaran upacara tradisional untuk promosi pariwisata. Lukisan ini menampilkan drama sosial yang berpangkal pada perkawinan perempuan di bawah umur: pernah mentradisi di sebuah daerah yang sebaiknya tidak saya sebut namanya. Beberapa dekade lalu berulang kali diberitakan, orang tua di daerah ini mengawinkan anak perempuan mereka yang masih kecil dengan laki-laki dewasa yang berduit. Tersiar juga kabar banyak perempuan di daerah ini menjadi janda pada usia sangat muda karena perceraian mudah diproses. Pada masa itu kesengsaraan perempuan di daerah ini menjadi lengkap ketika janda-janda muda ini menyebar ke berbagai kota besar untuk menjajakan tubuh sebagai pelacur.

 

Dalam Arakan Penganten, Sudjojono menggambarkan realitas sosial yang muram itu sebagai perkawinan seorang kakek-kakek dengan seorang anak kecil perempuan. Ungkapan ini menunjukkan sikap sinis Sudjojono yang biasanya muncul ketika melihat realitas yang tidak ia sukai. Selain ekspresi sinis, saya merasakan kemarahannya karena saya kenal betul sikap dan perasaan Sudjojono pada anak-anak perempuannya yang bisa dirasakan juga pada banyak lukisannya. Ungkapan ini mencerminkan persepsi seniman (bukan filosof) tentang etika moral.

 

Cukup banyak lukisan Sudjojono yang menampilkan ungkapan seperti itu. Lukisan-lukisan ini sarat simbol dan sulit diidentifikasi ciri-cirinya karena cenderung menabrak sesukanya kaidah-kaidah melukis dan tidak peduli kebagusan. Amati tanda-tanda ini dengan melihat, antara lain, Cap Go Meh (1940), Punakawan (1971), Mevrouw Senang Ketawa (1978), dan Kepala Gombal (1982).

 

Arakan Penganten Sudjojono itu diyakini palsu karena ditemukan lukisan palsunya. Alasan ini betul-betul tidak bisa saya pahami; menjadi tidak masuk akal bagi saya karena kedua lukisan yang dianggap palsu menunjukkan perbedaan yang kasatmata.

 

Pada Arakan Penganten yang diramaikan palsu bisa ditemukan sejumlah simbol. Pengantin laki-laki yang berambut putih dan bertongkat digambarkan menggunakan kacamata baca yang tebal untuk mengukuhkan ketuaannya. Di sekitar mulutnya yang meringis jengah ada corengan warna merah yang menandakan laki-laki uzur ini memakai lipstik. Penggambaran seperti ini sering digunakan Sudjojono untuk menunjuk laki-laki kalangan atas yang genit atau laki-laki penjilat. Sekumpulan anak-anak digambarkan Sudjojono mengelilingi pengantin perempuan. Bahasa tubuh mereka menandakan anak-anak ini masih mengajak pengantin perempuan bermain. Penggambaran ini tanda bahwa pengantin perempuan yang diarak masih anak-anak. Sudjojono semestinya menangkap perilaku anak-anak yang mengharukan ini.

 

Pada Arakan Penganten yang betul-betul palsu simbol-simbol dramatik seperti itu hilang atau terjungkir-balik. Kumpulan anak-anak yang ditampilkan juga pada lukisan palsu ini digambarkan sedang bermain sendiri dan tidak peduli pada arakan pengantin yang lewat. Pengantin laki-lakinya memakai kacamata hitam yang membuatnya menjadi gagah, bukan tua. Pada mulutnya yang manyun tidak ada gincu.

 

Setelah wacana lukisan palsu bergulir selama empat tahun, kebedaan dua Arakan Penganten yang kasatmata itu masih tetap "tidak terlihat" juga. Ini kejanggalan dramatik pada kritik seni Indonesia. Kenyataan ini membawa saya ke sebuah pertanyaan untuk HW: apa betul wacana lukisan palsu pada empat tahun terakhir sudah layak dijadikan referensi? l

 

Tulisan ini terbit di Majalah Tempo edisi 4 April 2016

Ikuti tulisan menarik Jim Supangkat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu