x

Petugas kepolisian melakukan penyergapan saat simulasi penanganan teroris di kawasan Polda Metro Jaya, Jakarta, 4 Februari 2016. Kepolisian membentuk tim antiteror untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana berskala besar. Setiap kepolisian tingka

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

War on Terrorism atau Mesin Pembunuh?

Apakah benar Pemerintah Republik punya cetak biru dalam memberantas terorisme?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Paska ledakan Bom di Thamrin (Jakarta), tiba-tiba Joko Widodo yang Presiden Republik Indonesia itu menyatakan bahwa berbagai tindakan teror diseluruh wilayah RI akan ditindak tegas oleh aparat keamanan sampai jaringan terbawah. Tampaknya pernyataan itu bukan sekedar isapan jempol belaka atau upaya menghibur diri rasa sakit para korban dan bangsa ini. Dan Menkopolhukam secara terbuka menyatakan akan merevisi Undang-Undang tentang pemberantasan terorisme menyikapi persoalan yang dianggap serius itu, hingga akan lahirlah undang – undang yang mampu mengakomodir pencegahan aksi terorisme. Lebih serius lagi, menghadapi ancaman terorisme yang terus berkembang dengan wujud yang berbeda-beda oleh karenanya pemerintah harus mengambil langkah – langkah yang bisa menangkal adanya serangan teroris itu dengan lebih maju, sebagaimana pengalaman atas Bom Thamrin, Bom malam tahun baru di Bandung, ataupun Poso.

Di ruang lain, tepat dua hari sebelum terjadinya Bom Thamrin demonstrasi ratusan pendukung Abu Bakar Ba’asyir memenuhi komplek Pengadilan Negeri Cilacap di Jateng. Tujuan utamanya adalah bebasnya Ba’asyir. Orang tua renta yang paling ditakuti bangsa ini karena dituduh mendalangi sejumlah aksi teror beberapa tahun belakangan ini, ulama kharismatik yang tiba-tiba menjadi musuh. Orang tua ini seolah orang yang paling berbahaya dan perlu diwaspadai. Seolah beradu cepat dengan nafsu pemerintah untuk menyelesaikan masalah terorisme seperti terbebani dan terasa dikejar deadline. Alhasil, keputusan pemerintah untuk merevisi undang-undang pemberantasan terorisme justru dipandang reaktif oleh sejumlah kalangan, di dalam negeri justru terjadi pro kontra mengenai masalah ini yang nyaris menjadi perdebatan yang kontra produktif dan mengesampingkan masalah kebangsaan yang lebih penting. Berbagai reaksi kontra produktif lainnya pun bagi penyelesaian problem terorisme justru menyeruak disana-sini. Akan tetapi benarkah berkobarnya amarah pemerintah terhadap teroris dan definisi terorisme itu merupakan jawaban atas persoalan yang ada ? Atau hanya standar ganda pemerintah saja, ketika pesan sponsor merajalela.

Dua tindakan politik di atas menampilkan sebuah ironi politik hukum Indonesia dalam menyelesaikan persoalan terorisme ini. Secara keamanan dan bagaimana Indonesia menanggulangi terorisme sangat terlihat nyata bahwa aparat keamanan dalam hal ini kepolisian kita meski secara formal telah menjadi sipil dan tidak menjadi bagian dari militer, bukan berarti cara-cara kekerasan telah menjauh dalam operasi menumpas teroris yang gencar dilakukan beberapa bulan belakangan ini. Kepolisian kita, yang seharusnya menjadikan perlindungan HAM sebagai wilayah kerjanya justru ditambah sumpek dengan pelanggaran HAM yang terus bertumpuk, padahal tak satupun persoalan terorisme yang dapat diselesaikan secara tuntas. Lalu, dapatkah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan maupun sebagai Kepala Negara menemukan jawaban yang tepat atas persoalan ini ?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara jujur harus kita akui, pembentukan opini di tengah masyarakat internasional telah menggiring pemerintah kita untuk menjadikan terorisme sebagai musuh bersama yang harus diperangi. Ibarat ingin memburu tikus dengan cara membakar lumbung, maka semua kemampuan yang selama ini dimiliki dikerahkan hanya untuk memburu segelintir orang. Berbagai reaksi kebijakan lahir ; semisal memburu secara sporadis siapa saja yang dianggap teroris, percepatan pemberian dana kepada DENSUS 88, mengkampanyekan ke dunia internasional bahwa seolah-olah telah ada berbagai upaya maksimal dalam upaya mencegah terorisme tumbuh di Indonesia dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Justru yang menarik bagi kita adalah : Apakah benar Pemerintah Republik punya cetak biru dalam memberantas terorisme atau sekedar upaya membabi buta tanpa arahan yang jelas dan perhitungan yang matang, baru akan memberantas terorisme bila mendapat tekanan dari Negara-negara adidaya penentang terorisme kemudian menjadi sangat penting melakukan pembunuhan diluar proses hukum. Demi mendapat (membangun) citra dipergaulan internasional. Bukankah sangat ironis, jika memberantas paham radikal dengan cara-cara yang tidak beradab. Justru yang muncul adalah citra buruk dan ada kesan dipaksakan oleh bangsa lain.

Sudah bukan rahasia lagi, berbagai tindakan aparat – utamanya sepuluh tahun belakangan ini – begitu besar anggaran telah dikeluarkan untuk melakukan penghormatan terhadap harkat kemanusiaan rakyatnya sendiri. Berapa banyak nyawa melayang dengan percuma hanya karena tindakan anti kemanusiaan yang dilakukan oleh alat-alat Negara. Betapa angkuhnya tembok-tembok kekuasaan itu.

Catat saja berapa kali rakyat dibuat kecewa ; karena aparat keamanan tak pernah menunjukan akuntabilitasnya terhadap berbagai tindakan main hakim sendiri yang telah dilakukannya, mulai dari kasus poso (operasi yang tak kunjung usai) di Sulawesi Tengah, kasus Penganiayaan Siyono di Klaten, kasus tembak ditempat di Thamrin, kasus Cilacap, Bekasi, hingga kasus perburuan dan penembakan terhadap teroris dan orang-orang yang diduga teroris lainnya yang kemudian dipertontonkan tak lebih dari akrobat politik yang mengelabui, menipu dan terus menerus membodohi rakyat. Untuk mengoreksi dan menuntut pertanggungjawaban dibelokkan jalannya dengan cara menyebarkan kebohongan.

Masyarakat yang muak dipaksa untuk terus menerus menerima kebohongan. Yang lebih parah ketika kesadaran rakyat itu dihardik dengan stigma negatif yang merupakan provokasi terhadap kelompok masyarakat lainnya. Akibatnya aparat keamanan kita dihadap-hadapkan dengan rakyatnya sendiri yang notabene mesti diayomi. Sementara, aktor intelektualnya aman tak tersentuh hukum.

Mungkin kinilah saatnya aparat petinggi bangsa ini menyadari bahwa aparat keamanan utamanya Kepolisian Republik Indonesia diciptakan untuk menjaga keamanan, ketertiban dan menjaga seluruh tumpah darah Indonesia. Sungguh ironi jika polisi kita hanya menjadi mesin pembunuh hanya untuk memuaskan satu kalangan sebagai sebuah konsensi politik ditingkat internasional. Sudah seharusnya pemerintah melakukan perang terhadap terorisme secara holistik, dari hulu hingga ke hilir, bahwa upaya memberantas terorisme bukan hanya sekedar menjadikan polisi sebagai mesin pembunuh tetapi mencari akar masalah terorisme tersebut hingga keakar-akarnya. Kurangnya pemahaman dan hidup didalam jurang kemiskinan adalah sumber masalah utamanya. Seharusnya DENSUS 88 & BNPT menjadi milik seluruh rakyat Indonesia karena kedua institusi itu diciptakan untuk menghargai anak bangsanya sendiri.

Untuk itu hentikanlah kekerasan dan pembunuhan terhadap manusia, siapapun itu. Dan pertanggungjawabkanlah “kesalahan prosedur” itu disidang peradilan yang jujur serta bayarlah rasa ketidakadilan yang diterima rakyat dengan rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dan tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ataukah memang kita harus menagih untuk Bring Back Justice, Bring Back Humanity dan model-model Bring Back lainnya…?

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler