x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Makar di Tubuh Polri

Mencopot Kapolri berakibat jatuhnya Presiden KH Abdurrahman Wahid.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejarah kelam bagi Korps Kepolisian Negara RI itu justru terjadi pada saat pelaksanaan Hari Bhayangkara 1 Juli 2001. Presiden RI saat itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencopot Jenderal Polisi Surojo Bimantoro dari jabatannya sebagai Kapolri melalui surat keputusan Nomor 40/Polri/2001, dan mengangkat Inspektur Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail sebagai Wakapolri dengan surat keputusan Nomor 41/Polri/2001.

Saat pelantikan, pangkat Chaeruddin langsung dinaikkan menjadi Komisaris Jenderal Polisi. Presiden menyerahkan pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri kepada Wakapolri. "Segala hal keterangan di luar bahwa dia (Bimantoro) dinonaktifkan harus dianggap tidak ada. Segala jajaran Polri harus mengindahkan perintah ini dan setiap yang menentang dianggap melakukan insubkoordinasi dan akan dilakukan tindakan hukum terhadapnya," ungkap Presiden saat melantik.

Konflik pun berkembang ke pusaran politik. Puncaknya terjadi perseteruan sengit antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Konflik yang berawal dari lembaga kepolisian itu berujung pada pemakzulan Gus Dur sebagai presiden oleh DPR. MPR sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus yang mengangkat dan memberhentikan presiden, akhirnya mengetuk palu pada 23 Juli 2001 mengganti Gus Dur dengan Megawati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di awal pencopotannya, Bimantoro “melawan” keputusan presiden itu dengan berlindung di balik Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VII Tahun 2000. Dimana dalam Tap MPR itu mensyaratkan pengangkatan Kapolri harus mendapat persetujuan DPR.

Para jenderal Polri pun berkumpul membahas pemecatan yang kontroversi itu. Rapat para jenderal akhirnya menghasilkan sikap, kepolisian menerima pemberhentian dengan syarat yakni seperti yang dikemukakan Bimantoro, harus sesuai prosedur Tap MPR. Sambil menunggu adanya pengganti baru yang disetujui DPR, maka Bimantoro tetap memegang tongkat komando Mabes Polri.

Hasil rapat para jenderal itu, ternyata ditolak oleh sejumlah perwira menengah senior berpangkat komisaris besar (kombes). Para jenderal dituding mencatut Tap MPR Nomor VII tanpa memperhatikan pasal 11 dalam Tap yang sama, yang menyatakan bahwa ketentuan dimaksud dalam ketetapan ini diatur oleh undang-undang.

Padahal, undang-undang dimaksud, yakni RUU Kepolisian berdasarkan Tap ini masih dan sedang digodok sehingga yang berlaku adalah UU Nomor 28 Tahun 1997. Pada Pasal 8 Ayat 1 UU Kepolisian ini menyatakan Presiden memegang kekuasaan tertinggi Kepolisian. Pasal 11 menguatkan lagi, Kepala Kepolisian diangkat dan diberhentikan Presiden.

Jadi, menurut para perwira menengah itu, ketetapan pemberhentian itu benar dan telah mengikat secara aturan perundang-undangan. Demikian seperti dilansir dalam buku,“Melawan Skenario Makar: Tragedi 8 Perwira Menengah Polri di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur 2001”, yang ditulis Edy Budiyarso.

Sebetulnya bukan hanya Bimantoro yang dicopot oleh Presiden Gus Dur. Kapolri sebelumnya, Jenderal Polisi Rusdihardjo, juga dicopot mendadak pada 23 September 2000 dan langsung digantikan Komjen Bimantoro tanpa melalui proses di DPR. Padahal, Rusdihardjo baru menjabat selama sembilan bulan. Namun, Rusdihardjo tidak melakukan ‘perlawanan’ seperti Bimantoro.

Di tengah ketidakpastian itu, para Kombes mulai gelisah. Senin 9 Juli 2001, seperti yang dilansir VIVAnews, di Mabes Polri, Kepala Sekretariat Umum Kombes Basil Harum, membuat pengumuman melalui pengeras suara. "Bagi perwira menengah yang masih memiliki hati nurani agar berkumpul di ruang Yudhatama untuk briefing," katanya.

200 perwira menengah berkumpul. Ternyata briefing yang dimaksud adalah pembacaan sikap oleh seorang kombes yang mendukung pemberhentian S Bimantoro. Beberapa kombes mempertanyakan karena merasa tidak pernah tahu sebelumnya. Briefing pun memanas, sempat terjadi adu mulut beberapa Kombes dengan Kombes yang mendukung pernyataan.

Konflik berkepanjangan sebelumnya juga antara Presiden dengan DPR memaksa Gusd Dur mengeluarkan Dekrit Presiden yang dibacakan dalam Sidang Istimewa tanggal 23 Juli 2001. Isi dekrit tersebut intinya: Membekukan MPR dan DPR Republik Indonesia; Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun; dan Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.

Amien Rais selaku ketua MPR menolak secara tegas dekrit presiden tersebut. Atas usulan DPR maka MPR mempercepat sidang istimewa. Hal tersebut merupakan puncak jatuhnya K.H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan.

Dalam sidang Istimewa tersebut MPR menilai Presiden K.H. Abdurrahman Wahid telah melanggar Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen Pol Chaerudin sebagai pemangku sementara jabatan kepala Polri. Selanjutnya, sidang memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI menggantikan Gus Dur berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2001.

Setelah Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden, tujuh komisaris besar dan satu ajun komisaris besar ditangkap dan diperiksa intensif di Markas Besar Kepolisian. Mereka ditangkap atas perintah Bimantoro yang aktif lagi ketika Megawati yang menjadi presiden. Ke-8 pamen itu ditangkap atas dasar rumor skenario penangkapan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais, Wakil Ketua MPR Ginandjar Kartasasmita dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Akbar Tandjung.

Tujuh Kombes itu adalah Bambang Widodo Umar, Alfons Loemau, Parlindungan Sinaga, Nurdin Umar, Salikin Moenits, Sahat Halomoan Badjarnahor, dan Badaruzzaman Hidir. Sementara Herman Koto saat itu masih ajun komisaris besar meski akhirnya pensiun dengan pangkat Kombes.

Awalnya para perwira menengah ini tak begitu paham alasan penangkapan mereka itu. Bambang Widodo Umar, misalnya, diinterogasi mengenai hubungannya dengan tokoh-tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Akhirnya Bambang yang dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian itu dituduh makar dan bermain politik.

"Dalam pemeriksaan saya katakan, berpolitik seperti apa?" ujar Bambang seperti yang ditulis dalam buku "Melawan Skenario Makar”. "Apa justru tidak berbalik? Apa justru bukan Bimantoro yang bermain politik dengan tidak menaati perintah lalu menggalang kekuatan dengan pimpinan DPR dan anggota-anggota Fraksi TNI Polri?"

Akhirnya pertanyaan masuk pada pernyataan sikap 200 perwira menengah yang mendukung pemberhentian Bimantoro beberapa waktu sebelumnya. Lalu dikaitkan lagi dengan jumpa pers di Kafe Waroeng Menteng. Hari kedua, barulah tuduhan bulat ke arah makar. Bambang dan tujuh kawan-kawannya dituduh akan menangkapi tokoh-tokoh nasional seperti Amien Rais, Ginandjar Kartasasmita, Akbar Tandjung dan Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arifin Panigoro.

Tuduhan itu disebutkan pula dalam buku Bimantoro “Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju Kemandirian Polri”, pada halaman 255. Kedelapannya disebut Bimantoro merekayasa skenario menggagalkan Sidang Istimewa MPR, melanggar disiplin prajurit, dan berniat menangkap Amien Rais, Ginandjar Kartasasmita, Akbar Tanjung dan Arifin Panigoro.

Bukan hanya itu, upaya penangkapan itu juga disebut Bimantoro dikoordinasikan pejabat kejaksaan. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus saat itu, Bachtiar Fachri Nasution, merasa dicatut namanya terkait itu. "Tidak ada perintah penangkapan itu. Itu bohong," ujarnya.

Mendengar dekrit pembubaran parlemen itu. Paginya, Bimantoro langsung menggelar rapat pimpinan Polri namun tak melibatkan Chaeruddin Ismail. Setelah rapat, Bimantoro menelepon Komandan Korps Brimob Inspektur Jenderal Yusuf Manggabarani. Manggabarani diminta mengamankan Markas Besar Kepolisian. "Pasang dua kompi pasukan di Mabes, sisanya di Polda Metro Jaya. Sekarang juga!" kata Bimantoro.

Bukan hanya itu, Bimantoro meminta Manggabarani menangkap prajurit Polri yang bergerak mengamankan Dekrit Presiden. Bimantoro mendapat laporan dari staf intelijen Polri bahwa ada delapan perwira menengah yang mendukung Chaeruddin Ismail merencanakan penangkapan beberapa pimpinan MPR.

"Manggabarani, kalau kau mencintai institusi Polri, begitu Chaeruddin Ismail datang bersama delapan Pamen temannya itu ke Mabes Polri dan memerintahkan untuk mengamankan Dekrit Presiden, langsung tangkap saja," ujar Bimantoro.

"Siap, Jenderal!" kata Manggabarani. Malam itu juga, dua kompi Brimob bergerak. Selain pasukan bersenjata otomatis, juga beberapa panser dan senjata taktis berjaga di Mabes.

Muncul desas-desus, Chaeruddin mendapat dukungan dari korps reserse kepolisian di mana dia dibesarkan. Mulai muncul kekhawatiran, dua korps kepolisian, reserse dan operasional akan bentrok.

Namun desas-desus itu terbukti tak pernah terjadi. Belakangan hari, Chaeruddin memberi jawaban dalam buku “Polisi, Politik dan Kontroversi" membantah isu dia akan melakukan gerakan mendukung dekrit. "Secara pribadi, saya sendiri menolak dekrit," kata Chaeruddin. Dan Chaeruddin yang diangkat menjadi jenderal sehari sebelum dekrit keluar itu pun memilih diam saat itu.

Dalam buku Melawan Skenario Makar juga diceritakan tentang bagaimana jalannya pemeriksaan di Mabes. Muncul bagan yang menggambarkan jaringan delapan perwira ini. Mereka dituduh sebagai satu komplotan dengan Muchtar Pakpahan, Marsillam Simanjuntak dan Baharuddin Lopa, orang-orang dekat Gus Dur.

"Sejak kapan kami mengenal Baharuddin Lopa?" ujar Parlindungan Sinaga. "Sejak kapan kami berdiskusi dengan Muchtar Pakpahan? Kami memang sama-sama Batak namun hanya bertemu dalam pesta perkawinan, pun hanya sekilas," ujar Parlindungan yang berasal dari Tapanuli Utara itu.

"Abang-abang ini tidak sadar," kata Kombes Teuku Ashikin Husein yang memeriksa mereka.

Kejengkelan Parlindungan pun meledak kepada pemeriksanya yang merupakan yunior tiga angkatan di bawahnya di Akpol. "Apa ini kelas intelijen kita? Apa kalian dididik untuk menghubungkan antara kucing mengeong dan anjing menggonggong?"

 

 

Sumber foto: http://news.liputan6.com

 

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

17 jam lalu

Terpopuler