x

Sejumlah suporter terlibat perkelahian di arena bangku penonton dalam laga penyisihan grup B Inggris melawan Rusia pada Piala Eropa di Velodrome, Marseille, Perancis, 11 Juni 2016. Duel sengit tersebut diwarnai oleh insiden bentrok suporter di akhir

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Asal Usul Hooligan Rusia Versus Inggris

Bentrokan yang pecah antara pendukung tim Inggris dan Rusia setelah pertandingan itulah yang justru menghebohkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mereka adalah orang-orang asing di negeri asing. Berbondong-bondong mereka datang dari berbagai penjuru menuju ke satu titik: Stade Velodrome di Marseille, Prancis, Sabtu lalu. Tujuannya adalah menonton laga panas tim nasional Inggris melawan Rusia dalam perebutan Piala Eropa 2016. Hasil pertandingan itu tak begitu menarik: seri.

Tapi, kerusuhan yang pecah dalam bentrokan pendukung dua tim setelah pertandingan itulah yang justru menghebohkan. Sekitar 35 orang cedera dan secara total 20 orang ditahan polisi Prancis. Siapa yang salah? Jaksa Marseille Brice Robin menuding para hooligan Rusia. Tapi, pengamat dan saksi juga menuding peran pendukung Inggris dan taktik polisi yang kuno.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka adalah orang asing yang bikin rusuh. Begitu pikiran Robin, juga pejabat keamanan Prancis, dan pejabat UEFA. Sudah dari sananya hooligan adalah orang asing. Kata "hooligan" mulai merebak di media massa London pada musim panas 1898, yang mencerminkan ketakutan meluas terhadap kriminalitas yang dilakukan para pendatang Irlandia. Belakangan istilah ini dikhususkan bagi para penggemar sepakbola yang ulahnya dianggap keterlaluan. Mereka berbeda, mereka liyan.

Di Uni Soviet era Nikita Khrushchev, hooliganisme bermakna politis. Ini adalah kejahatan serius karena melecehkan nilai-nilai masyarakat. Pada 1950-1960-an, pemerintah memenjarakan jutaan rakyatnya dalam kategori kejahatan yang sama: hooliganisme, meski perbuatannya macam-macam, dari memotong ekor kucing hingga menusuk pelayan restoran dengan belati. Kelompok hooligan ini termasuk penghuni Gulag terbanyak (15,9 persen), di atas narapidana politik (11,3 persen). Intinya masih sama: hooligan adalah orang yang berbeda.

Pada akhir 1960-an, sosiolog Inggris, Ian Taylor, menghubungkan hooliganisme sepakbola dengan kelas pekerja Inggris. Menurut tesisnya, klub pendukung sepakbola terbentuk sebagai bagian dari subkultur sepakbola yang didirikan sebagai semacam partisipasi demokrasi yang melibatkan penonton di satu sisi dan para pemain dan ofisial di sisi lain. Tapi, sejak sepakbola diprofesionalkan, diinternasionalkan dan jadi subjek hukum pasar, demokrasi semacam itu hilang. Hal ini memicu reaksi di pihak pendukung yang marah karena mereka terpinggirkan.

Taylor mungkin benar. Tapi, meringkus fenomena komplek semacam hooliganisme dengan cara demikian juga kurang pas. Misalkan, mengapa pendukung Rusia perlu menyerang pendukung Inggris? Mengapa hooliganisme juga terjadi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, yang sepakbolanya belum benar-benar masuk pasar bebas?

Bagaimana sekarang? Anastassia Tsoukala, Guru Besar Kriminologi di University of Paris XI, mengajukan tesis alternatif dalam Football hooliganisme in Europe: Security and Civil Liberties in The Balance (2009). Tsoukala meneliti hooliganisme selama 20 tahun dan mewawancara 70 penegak keamanan profesional di enam negara Eropa. Alih-alih mencari akar kekerasan para hooligan, dia meninjau perkembangan mutakhir dari cara pemerintah negara-negara di Eropa menangani para pembuat onar dengan hukum dan penegakan keamanan serta sikap media massa.

Tsoukala menemukan bahwa media massa, yang juga menampilkan sikap pemerintah, masih meletakkan para hooligan sebagai orang lain dengan berbagai istilah: "tak berotak", "teroris", "penyakit", "patologi sosial". Media itu tak cuma tabloid, tapi juga media berkelas seperti Guardian, Independent, Corriere della Sera, The Observer, dan Kyriakatiki Eleftherotypia.

Inggris menerapkan pendekatan keamanan dalam 20 tahun terakhir, lalu diadopsi oleh berbagai negara lain. Hal ini juga didukung media dengan seringnya mengangkat polisi dan intelijen sebagai sumber mengenai hooliganisme. Pada akhirnya, hooliganisme sepakbola cenderung dipandang dari kacamata keamanan. Bahkan, sejak Tragedi 11 September, hooliganisme dianggap setara dengan ancaman teroris juga. Polisi dan intelijen juga menyebar isu aneh-aneh. Misalkan pada Euro 2000 muncul rumor tentang sejumlah jenderal yang mengatur kekerasan sepakbola yang terlibat dalam perdagangan narkoba dan pertandingan dipakai sebagai kedok untuk menyelundupkan narkoba.

Padahal, banyak hal terabaikan dengan pendekatan sempit itu. Tsoukala, misalnya, mencatat bahwa terjadi penurunan kekerasan di musim Liga Primer ketika harga tiket naik. Kekerasan lantas bergeser ke pertandingan di divisi yang lebih rendah dan kawasan non-olahraga. Tapi, orang telanjur yakin bahwa "keberhasilan" Inggris itu terwujud karena penegakan keamanannya, bukan yang lain.

*) Versi pendek tulisan ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 15 Juni 2016.

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler