x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Natuna Membara: RI Pisah Aliansi Dengan Tiongkok?

Penembakan kapal China di Natuna, keberhasilan Luhut Pandjaitan membawa aliansi strategis RI yang semula berhaluan Tiongkok menuju ke Amerika Serikat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Amerika Serikat (AS) mengirim dua kapal induk bertenaga nuklir USS John C. Stennis (CVN 74) dan USS Ronald Reagan (CVN 76) untuk patroli di Laut China Selatan. Kedua kapal induk itu dikirim bersamaan dengan peristiwa penembakan kapal ikan China oleh Komando Armada Maritim Kawasan Barat (Koarmabar) di perairan Natuna, Jumat (17/6/2016).

Bergabungnya dua kapal induk AS di Laut China Selatan itu memungkinkan Washington melakukan operasi ganda di perairan internasional. Kehadiran kedua kapal induk AS yang didukung oleh tiga kapal penjelajah rudal dan enam kapal perusak itu juga menurut Komandan operator kapal USS Ronald Reagen, Laksamana D. Alexander, sebagai bentuk menunjukkan kemampuan AS untuk beroperasi memenangkan teknik warfighting dalam operasi angkatan laut modern.

Mengapa Washington sepertinya “melindungi” kedaulatan wilayah perairan RI dengan “menggertak” Beijing menggunakan kekuatan penuh dua kapal induknya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Presiden Joko Widodo sendiri menginstruksikan seluruh jajarannya untuk terus mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia. "Kedaulatan itu nomor satu, harga mati, dan harus dipertahankan," kata Jokowi saat memberikan instruksi kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.

Tindakan militer Indonesia ini tentu saja menuai protes keras dari China. Pihak Beijing menuduh Indonesia melanggar hukum internasional dan menyalahgunakan kekuatan militer. Beijing juga melalui juru bicara Kementerian Luar Negerinya, Hua Chunying menyalahkan Indonesia bahwa Indonesia telah melanggar hukum internasional. Chunying ngotot insiden penembakan itu terjadi di wilayah traditional fishing zone China, di mana Beijing telah mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan.

Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menegaskan, Indonesia merasa tidak perlu menanggapi protes tersebut. Indonesia berpatokan kepada peta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang berlaku selama ini, sehingga langkah Koarmabar melakukan penegakkan hukum sudah tepat. Pemerintah Indonesia tidak pernah mengakui traditional fishing zone China di kawasan Natuna seperti klaim Hua Chunying itu.

Zona ekonomi ekslusif (ZEE) ialah wilayah perairan yang berjarak 200 mil laut dari garis pangkal. Indonesia berhak melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam. Mengenai klaim pemerintah China tentang traditional fishing zone, tidak pernah ada kesepakatan dengan Indonesia.

Pesan apakah yang tersirat dari penegasan Menkopolhukam itu? Apakah sebagai bentuk perlawanan Indonesia terhadap China? Betulkah Indonesia telah merubah jalinan aliansi strategisnya dengan Cina dan Rusia, dan lebih memilih AS dan sekutu terdekatnya, Jepang?

Sebelumnya, di bawah rezim PDIP, hubungan RI dengan China telah terjalin erat, ditandai pidato sambutan dari Presiden China Xi Jinping saat menerima kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi di Balai Agung Rakyat pada 25 Maret 2015.  "Hubungan Indonesia dan Tiongkok yang telah berjalan enam dekade lebih, senantiasa mengedepankan prinsip saling menghormati, menghargai, sebagai bangsa yang setara, yang bertanggung jawab atas perdamaian dan stabilitas kawasan,"

Bisa dibilang, hubungan antara Indonesia dan Tiongkok adalah yang paling dinamis di Asia Pasifik. Selain menyepakati delapan nota kerja sama, Indonesia dan Tiongkok terus menyinergikan ide Poros Maritim Dunia milik Indonesia dengan Jalur Sutra Maritim milik Tiongkok.

Sementara itu, hubungan erat dengan Rusia, ditandai pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela forum kerja sama ekonomi Asia Pasifik (APEC) di China dua tahun lalu. Indonesia adalah mitra kunci Rusia di Asia Pasifik. Untuk itu Rusia telah menanamkan dana untuk pengolahan bahan mineral. Apalagi setelah Ursal, perusahaan smelter Rusia resmi berinvestasi senilai USD 3 miliar di Kalimantan Barat.

Sejak kemenangan Presiden Jokowi, Indonesia diklaim China sah menjadi bagian dari Koalisi Tiongkok-Rusia. Kita bisa lihat faktanya. Setelah pelantikan Jokowi, kita lihat Dolar AS menguat tajam, hingga hampir menembus Rp 15 ribu / USD. China tak tinggal diam melihat penguatan Dolar AS terhadap Rupiah yang bisa mengganggu ekonomi RI sebagai sekutunya. China pun mengucurlkan dana yang disebut “Chinese Dollar” guna menyelamatkan Rupiah. Chinese Dollar adalah uang para pengusaha Tiongkok dalam mata uang Dollar AS yang dialirkan masuk RI untuk mengangkat kembali Rupiah ke level Rp 13 ribuan.

Fakta lainnya, ketika Menteri Perdagangan dari Rachmat Gobel dicopot digantikan Thomas Lembong. Kebijakan Gobel dianggap mempersempit para pengusaha Tiongkok di Indonesia. Penggantinya Thomas Lembong adalah orang dari Grup Lippo, Mochtar Riyadi, yang tak lain agen Tiongkok. Di saat pergantian, nilai tukar Yuan terhadap Rupiah melemah tajam. Dampaknya, segala pembelian RI ke China menjadi jauh lebih murah. (http://nasional.harianterbit.com)

Sedemikian pentingkah Indonesia sampai-sampai dua poros dunia: AS dan Tiongkok berebut kuasa disini?

Harus diingat, RI di bawah pemerintahan Jokowi berkuasa penuh mengurus perpanjangan kontrak 27 blok migas. Belum lagi menyangkut perpanjangan kontrak Freeport. Kemudian ada juga soal kepentingan Perang Kedelai versus Sawit di sektor Minyak Nabati. Dan masih banyak faktor kepentingan lainnya.

Bagi AS dan koalisinya, sikap pemerintahan Jokowi soal Kereta Cepat yang memenangkan China dari musuhnya, Jepang, adalah sebuah sinyal keras. Sinyal keras bahwa ada potensi 27 blok migas dan Freeport bisa lepas dari tangan koalisi AS. (http://www.merdeka.com)

Apalagi, Tiongkok membuka konflik Laut China Selatan tanpa mengikutsertakan Natuna. Koalisi AS menilai, Natuna sengaja tidak dilibatkan Tiongkok sebagai bagian dari niat baiknya atas aliansi strategis dengan RI.

Natuna memegang peranan penting dalam skenario Perang Laut China Selatan. Diperkirakan ada 3 titik perang Laut China Selatan, yakni: di lautan, titik tengahnya adalah Hong Kong, Taiwan, Filipina, Hainan, Vietnam. Sedangkan Natuna sendiri adalah titik tengah antara Singapura, Malaysia, Vietnam, Sarawak. Dan pulau Palawan, adalah konflik berkepanjangan antara Sabah dan Filipina, sebagai kelanjutan dari sengketa Sulu. Kawasan Sulu, Mindanao dan Palawan hingga kini masih terus memanas.

Akan halnya Natuna, ini persoalan menarik. Banyak yang belum tahu kalau tanah dan air Natuna dikuasai Indonesia, tapi kawasan udara Natuna dikuasai Singapura. Pada 21 September 1995, RI menandatangani perjanjian Military Training Area (MTA) dengan Singapura. Perjanjian ini kemudian diratifikasi melalui Keppres No 8/1996 pada 2 Februari 1996. Sejak itu, Singapura boleh menggunakan 2 area di wilayah RI untuk latihan militer (MTA). Sebagai negara kecil, Singapura tak punya kawasan untuk latihan perang.

Wilayah Udara di kawasan A dan C dikuasai Singapura, sedangkan kawasan B dikuasai Malaysia. Perjanjian MTA antara RI dan Singapura sebetulnya habis pada 2001. Namun entah kenapa, Presiden Megawati waktu itu tidak melanjutkan pembahasan ini. Hingga saat ini, statusnya masih abu-abu. Bagi Singapura, perjanjian MTA berlaku hingga ada perjanjian berikutnya. Dan lucunya, setiap kali RI mendesak Singapura soal perjanjian ekstradisi, Singapura menjadikan MTA sebagai syarat. Singapura mau berikan akses Ekstradisi ke RI, jika Singapura mendapat kuasa lebih di area MTA. Jadi, Singapura memposisikan Perjanjian Ekstradisi selalu dibarengi dengan Perjanjian Pertahanan.

Dan sekarang, persoalan Natuna terjawab sudah dengan peristiwa penembakan kapal ikan China oleh Komando Armada Maritim Kawasan Barat (Koarmabar) TNI AL di wilayah perairan itu. Berbarengan dengan patroli dua kapal induk AS berkekuatan penuh yang membuat China berpikir dua kali untuk “macam-macam” dengan Indonesia.

Keterangan Foto: USS John C. Stennis dan USS Ronald Reagan (www.philstar.com)

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler