x

Cover Majalah Tempo, Amuk Reklamasi. TEMPO

Iklan

Anggara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menggoreng Trending Topics: Cara Baru Membungkam Media

Sebagai media yang bekerja di bawah UU Pers, apa yang dilaporkan oleh Majalah Tempo tentu wajib dilakukan dalam rangka kerja – kerja jurnalistik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebenaran yang diberitakan oleh pers merupakan suatu kebenaran yang elusive yang berarti sukar dipegang kebenarannya, dimana kebenaran yang hendak diberitakan sering berada diantara pendapat dan pendirian seseorang dengan orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Oleh karena itu kebenaran yang elusive tidak mesti merupakan kebenaran absolute(Mahkamah Agung RI, dalam kasus Harian Garuda dkk Vs. Anif)

Sepertinya fase pemilihan (umum) yang paling seru dalam sejarah Indonesia terjadi pada saat Pemilihan Presiden 2014 dan saat ini pada Pemilihan Gubernur Jakarta di 2017 nanti. Kontestasi yang paling seru terjadi justru bukan kontestasi antara para calon namun malah kontestasi diantara para pendukung.

Sebenarnya saya nggak ada soal dengan pemilihan Gubernur Jakarta sekarang, toh saya cuma warga yang numpang di Jakarta. Tapi, di TL bersliweran tagar #jatuhtempo ataupun #dasartempe. Keduanya ada tagar yang ditujukan khusus kepada Majalan Tempo dan media affiliasinya seperti Koran Tempo dan juga Tempo.co

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang ngetuit dengan tagar #jatuhtempo ataupun #dasartempe cukup banyak dari yang punya follower ribuan sampai ke yang punya follower ratusan ribu. Jumlah yang fantastis dan tentu saja dalam beberapa saat mendongkrak trending topic di jagat twitter. Dan Majalah Tempo dan grup media tempo secara umum menjadi bulan – bulanan yang dilakukan oleh para pendukung Gubernur Ahok

Penyebabnya tentu pemberitaan Grup Tempo tentang Gubernur Ahok yang dirasa telah memfitnah bukan hanya Gubernur Ahok akan tetapi juga para pendukung Gubernur Ahok yang dikenal dengan nama Teman Ahok. Isu yangmemanas ini dipicu oleh Majalah Tempo yang menurunkan dua laporan yaitu dugaan barter reklamasi Jakarta dan juga dugaan aliran uang ke teman- teman ahok. Dua laporan inilah yang memicu bahan perdebatan panas di kalangan para pendukung Ahok, penentang Ahok, para pemerhati media, dan bahkan para wartawan sendiri.

Ingatan saya melayang pada waktu Tempo menurunkan laporan mengenai Tomy Winata. Pada saat itu para pendukung Tomy Winata juga melakukan demonstrasi kantor Majalah Tempo di Proklamasi. Saat itu, jika twitter sudah meledak, saya yakin medan perangnya juga akan sama, menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyerang media yang cukup punya tempat terhormat di Indonesia

Sebagai media yang bekerja di bawah UU Pers, apa yang dilaporkan oleh Majalah Tempo tentu wajib dilakukan dalam rangka kerja – kerja jurnalistik. Karena itu kerja – kerja jurnalistik tentunya harus menaati Kode Etik Jurnalistik yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers. Itulah yang membedakan media yang bekerja di bawah UU Pers dengan media yang sama sekali tidak tunduk pada UU Pers dan tentunya tidak wajib untuk tunduk pada Kode Etik Jurnalistik.

Saya tidak ingin menyentuh ranah persoalan yang dipersoalkan oleh para pendukung Gubernur Ahok, karena saya juga bukan praktisi jurnalistik. Akan tetapi saya prihatin dengan penggunaan cara – cara yang menurut saya hampir tak ada bedanya dengan peristiwa demonstrasi di kantor Majalah Tempo pada saat itu. Cara saja yang berbeda, esensinya tetap sama, menyerang sebuah laporan jurnalistik dengan metode – metode non jurnalistik. Tujuannnya juga mungkin serupa untuk membungkam media yang kritis terhadap figure atau kelompok tertentu.

Kebebasan pers pada dasarnya merupakan fondasi dasar bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum dan pers secara hukum berfungsi sebagai salah satu saluran resmi dari masyarakat untuk menyampaikan kritik dan koreksi. Namun media bisa jadi salah dalam memberitakan, karena itu masyarakat tentu diperkenankan untuk mempersoalkan sebuah karya jurnalistik. UU pers sendiri juga telah membuat salurannya melalui Hak Jawab atau melalui proses “adjudikasi” di Dewan Pers. Disana media “diadili” tidak hanya oleh masyarakat yang dirugikan oleh media karena pemberitaannya tapi juga “diadili” oleh Dewan Pers. Kenapa media akhirnya juga “diadili” oleh Dewan Pers karena Dewan Pers juga berfungsi sebagai wakil masyarakat di hadapan media yang tentu berkepentingan pemberitaan media memenuhi seluruh kaidah – kaidah jurnalistik dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik

Persoalannya bagaimana jika kemudian Gubernur Ahok dan para pendukungnya memilih tidak menggunakan saluran yang telah ditetapkan oleh UU Pers dan memilih untuk “menggoreng trending topics” untuk “menyerang” kredibiltas sebuah media? Terlepas dari berbagai alasan termasuk “ketidakpercayaan” terhadap Dewan Pers, hukum telah menggariskan jika Hak Jawab/Hak Koreksi dan fungsi “adjudikasi” di Dewan Pers tidak dilakukan maka pemberitaan yang dilakukan oleh media mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang konfirmatif.

Ikuti tulisan menarik Anggara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler