x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seharusnya Bung Hatta dan Keluarganya Kaya Raya

Hatta bisa saja kaya raya dengan jabatannya sebagai wakil presiden. Akan tetapi, sepatu yang sangat ia inginkan pun tak terbeli.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Foto: Patung Bung Hatta di Monumen Proklamator, Jakarta (store.tempo.co)

Mari kita berandai-andai. Misalnya, anda kini seorang wakil presiden. Anda tahu bahwa minggu depan pemerintah akan mengadakan kebijakan sanering, dimana uang Rp 100.000,- menjadi Rp 100,-. Apakah anda akan segera menukarkan rupiah yang anda miliki dengan mata uang asing seperti misalnya dolar? Dan memberitahukan hal ini kepada keluarga atau teman terdekat agar melakukan aksi yang sama demi keuntungan berlipat-lipat?

Kisah wakil presiden yang merahasiakan kebijakan sanering meski pun terhadap istrinya sendiri terungkap dalam buku “Hatta: Aku Datang karena Sejarah,” yang ditulis Sergius Sutanto (Qanita;2013). Buku dengan landasan riset mendalam ini membawa kita mengenal lebih dekat pada sosok pribadi bapak bangsa ini, Mohammad Hatta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rasa kecewa pernah mendera Rahmi, istri Hatta. Kala itu tahun 1950-an. Sekembalinya suaminya dari pembuangan di Bangka, terjadi sanering, yakni pemotongan nilai mata uang dari Rp 1.000,- menjadi Rp 1,-. Krisis finansial pun terjadi di seluruh sendi-sendi kehidupan negara ini.

Seperti halnya para ibu rumah tangga lainnya, kebetulan Rahmi saat itu tengah menabung untuk membeli sebuah mesin jahit. Sanering otomatis membuat jatuh nilai uang yang dikumpulkan berbulan-bulan. Tak pelak Rahmi sangat kecewa karena dia yakin suaminya sudah tahu perihal sanering sebelumnya.

“Kenapa Kak Hatta tidak bilang-bilang? Tabungan kita tidak ada gunanya lagi sekarang.”

Hatta malah menasihatinya. “Andai aku memberitahumu, nanti pasti hal itu akan kau sampaikan kepada ibumu. Lalu, kalian akan mempersiapkan diri, dan mungkin memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya.”

Menurut Hatta, itu tidak benar. Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara tetaplah rahasia, meski dia bisa mempercayai istrinya, rahasia itu tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah rugi demi kepentingan negara.

Bukan perkara mudah bagi Rahmi, yang ketika itu baru berusia 25 tahun, untuk mencerna hal ini. Tapi dia harus berusaha memahami.

“Kita coba menabung lagi, ya,” ujar Hatta menghibur istrinya.

Kebijakan sanering, atau istilah saat itu “Gunting Sjafruddin”, adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan saat itu, yang diberlakukan tanggal 10 Maret 1950. Kebijakan itu dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk karena utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung.

Sebagai seorang wakil presiden yang mengetahui akan adanya kebijakan itu, bisa saja Hatta melakukan aksi memborong mata uang asing agar keuntungannya berlipat-lipat di kemudian hari. Akan tetapi Hatta berprinsip teguh tidak melakukan tindakan tercela itu. kepentingan negara jauh melampaui kepentingan pribadinya. Sebuah teladan yang harusnya dicontoh oleh elite bangsa ini.

Hatta terlalu mencintai rakyatnya. Keinginan Hatta hanyalah mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ini pula yang mendasari keberatannya pada Keputusan Perdana Menteri Soekiman di tahun 1951 yang ingin menaikkan gaji presiden dan wakil presiden, dari Rp 3.000,- menjadi Rp 5.000,-. Hatta menganggap keputusan itu sangat tidak bijaksana di tengah penderitaan rakyat.

Ada sebuah kisah mengharukan, di tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.

Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman itu tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.

Guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Pada hal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah baginya untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalannya.

Namun, di sinilah letak keteladanan Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.

Selain sangat mencintai rakyatnya, Hatta adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan, layaknya penari menggandrungi irama musik pengiringnya. Buku adalah kawan setianya. Buku-buku itu telah mengajarkan banyak kebenaran. Kebenaran yang terasa menyakitkan bagi mereka yang bergumul dengan penyelewengan dan kesalahan, akan tetapi menyegarkan bagi yang tahan penderitaan.

Buku-buku itu pula yang menjadi alasan Hatta meninggalkan kemegahan Istana Merdeka. Bagi Hatta, kejujuran adalah mempelai hati nurani. Ia menolak segala bentuk penyelewengan, penyimpangan, keserakahan yang bernama: korupsi.

Hatta selalu mengingat pesan sang kakek, Pak Gaek Ilyas. “Harta dunia ini tidak ada yang kekal, yang kekal hanya ilmu pengetahuan dan ibadah. Segala yang terjadi di dunia ini sudah ditakdirkan Allah. Sudah ada suratannya lebih dahulu.”

Pak Gaek Ilyas adalah sosok yang banyak memberikan pengaruh pada Hatta kecil. Kisah-kisah tentang Makkah dan janji Pak Gaek membuat Hatta mengenal satu hal yang dinamakan ‘harapan’, sesuatu yang terus dipupuknya hingga kelak Hatta menjadi seorang tokoh pergerakan di negeri ini bersama Soekarno dan Sutan Sjahrir.

Sang kakek adalah sosok pengganti peran ayah kandungnya yang meninggal semenjak Hatta masih dalam kandungan. Ketertiban dan kedispilinan Hatta adalah teladan sang kakek. Kisah-kisah keteladanan dan nasihat baik dari Pak Gaek terserap baik oleh Hatta.

“Kita wajib belajar dan bersekolah agar pandai dan berbudi. Karena itu kau harus segera sekolah” kata Pak Gaeknya suatu hari.

“Bukankah sekolah itu bikinan orang Belanda, mengapa kita harus mengikutinya?” tanya Hatta.

“Itu tidak benar, Nak. Ilmu bukan datang dari orang Belanda, tapi dari Allah. Kita wajib belajar dan bersekolah agar pandai dan berbudi,” jawab Pak Gaek.

Hatta pun melanjutkan sekolahnya di Jakarta kemudian ke Belanda. Ia aktif berorganisasi dengan bergabung dalam Perhimpoenan Indonesia, organisasi yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Karena aktivitasnya ini, Hatta beberapa kali dipenjara oleh pemerintahan penjajah Belanda, sebelum akhirnya dibuang ke Digul dan dipindahkan ke Banda Neira bersama tahanan politik lainnya.

Dalam pergerakan itulah Hatta bertemu dengan Syahrir. Kelak bersama Syahrir, Hatta membentuk PNI, sebuah organisasi yang bertujuan untuk menyusun kekuatan baru lewat pemikiran moderat dan mental anggotanya sehingga kelak lahir sebagai sebuah kekuatan penuh untuk kemerdekaan.

Syahrir dan Hatta memercayai bahwa pendidikan adalah hal penting dan menjadi masalah serius di Tanah Air. Oleh karena itu visi Hatta dan Syahrir adalah membentuk sebuah gerakan politik yang lebih mengedepankan pendidikan bagi para anggotanya. Menurut Hatta proses pembelajaran mampu membukakan mata hati.

Di sana pula Hatta bertemu dengan Soekarno. Soekarno yang ketika itu juga baru mendirikan Partindo, berniat menggabungkan Partindo dengan PNI Hatta-Syahrir. Namun, Hatta merasa bahwa mereka berbeda visi. Partindo-nya Soekarno lebih mengedepankan mobilisasi massa, sedangkan PNI versi Hatta-Sjahrir lebih kepada pendidikan kader.

Partindo Soekarno dan PNI Hatta-Syahrir adalah awal perbedaan yang muncul diantara Soekarno-Hatta. Namun demikian kawan-kawan seperjuangan adalah sahabat sepanjang hayat. Pun ketika pada akhirnya mereka berselisih jalan, yang menyebabkan Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden, ikatan yang lekat karena rasa pertemanan tidaklah putus begitu saja.

Dan itu dibuktikan Hatta dengan datang menjenguk di saat-saat terakhir Soekarno.

“Hoe gaat het met jou?” tanya Soekarno lirih.

Hatta mengangguk pelan, “Baik, No.” (No: panggilan untuk Soekarno)

Lalu diam. Semua dalam sepi. Hatta merapatkan tubuhnya lebih dekat pada Soekarno. Tak ada suara, hanya napas sahabatnya itu yang kadang tersengal. Selebihnya suara tetesan infus, itu juga samar. Keduanya hanya bisa saling tatap. Air mata Soekarno perlahan menetes.

Hatta pun menangis iba.

 

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu