x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berebut Risma dan Kelangkaan Calon Pemimpin

Didorongnya Risma untuk maju ke Pilkada Jakarta mengisyaratkan kelangkaan calon pemimpin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di Jakarta, sejauh ini Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tampak tidak menjumpai kompetitor yang setara dalam panggung Pilkada 2017 nanti. Ada beberapa nama yang sempat muncul dan menawarkan diri, tapi nama-nama itu entah kenapa lenyap dari peredaran justru ketika pendaftaran sudah dibuka. Belakangan, Walikota Surabaya Tri Rismaharini didorong-dorong agar maju ke gelanggang Pilkada Jakarta. Risma dianggap kompetitor yang sepadan untuk menandingi Ahok.

Kepemimpinan politik tidak ubahnya pertandingan catur. Setiap keputusan yang dibuat memengaruhi keputusan berikutnya. Sebab itu, ada yang mendorong Risma, ada pula warga Surabaya yang menghendaki Risma tetap memimpin mereka. PDI-P, partai tempat Risma bernaung, sedang mengkalkulasi risiko sebelum memutuskan tindakan apa yang akan mereka ambil: mengusung Risma atau tidak; kalau ya, dengan siapa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di luar itu, ada sisi lain yang menarik untuk didiskusikan dari fenomena ini, bahwa partai-partai yang enggan mendukung Ahok merasa perlu mengimpor Risma dari Surabaya untuk berkompetisi di Jakarta. Dapatkah kita membaca gejala ini sebagai isyarat langkanya bakat-bakat pemimpin di jenjang yang lebih tinggi? Apakah demikian terbatas sumber-sumber kepemimpinan kita, sehingga untuk menemukan calon pemimpin Ibukota Negara demikian tidak mudah?

Jalur perorangan tampaknya bukan jalan yang mudah bagi figur-figur selain kader partai. Faisal Basri dan Biem Benjamin, yang maju melalui jalur perorangan dalam Pilkada 2012, kalah bersaing melawan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang diusung PDI-P dan Gerindra. Kini, Ahok, yang semula berniat maju lewat jalur perorangan, memutuskan maju bersama partai. Di Yogyakarta, sutradara Garin Nugroho juga berniat maju dalam Pilkot lewat jalur perorangan, tapi entah berlanjut atau tidak. Bila kemudian jalur perorangan di Yogyakarta juga melempem, tidak ada alternatif bagi masyarakat kecuali memilih calon-calon yang diajukan partai politik.

Jika akhirnya hanya ada Ahok dan Risma yang terjun dalam kompetisi Pilkada Jakarta, fenomena ini juga mengisyaratkan kelangkaan calon-calon pemimpin masyarakat dari kantong-kantong partai politik. Apakah kelangkaan ini karena ada sumbatan-sumbatan sehingga pemimpin baru sukar muncul dari partai-partai? Sumbatan ini dapat saja berupa mekanisme partai, tapi bisa pula adanya aturan tidak tertulis (atau mungkin juga tertulis) bahwa kader partai atau siapapun yang hendak maju dalam kompetisi Pilkada mesti disetujui oleh ketua umum partai.

Kata akhir ketua umum partai ini dapat menjadi pangkal tersumbatnya laju bakat-bakat kepemimpinan yang tidak cukup punya akses kepada ketua umum. Terlebih lagi, figur-figur ini demikian dominan. Di Hanura, meskipun Wiranto diangkat sebagai Menkopolhukan, posisinya sebagai ketua umum partai tidak dilepas. Di Demokrat, SBY bahkan terpilih sebagai ketua umum partai selagi menjabat Presiden. Di PDI-P, Megawati masih bertahan sebagai ketua umum meskipun sudah menjabat sejak 1999 (termasuk ketika ia menjabat Presiden).

 Di dalam budaya organisasi partai mungkin saja terdapat aturan tidak tertulis yang berlaku. Kader yang sukses meniti kariernya, pada umumnya, adalah kader yang memahami aturan tidak tertulis ini. Mereka yang tidak menyadari aturan-aturan ini tidak akan diundang ke dalam ‘lingkaran kepercayaan’ dan karena itu berpeluang kehilangan kesempatan untuk ditemukan, diperhatikan, ataupun bahkan dianggap serius oleh ketua umum. Potensi kepemimpinan mereka berpeluang tidak tertangkap radar ketua umum. Mereka, selanjutnya, menemui sumbatan untuk dapat tampil sebagai figur pemimpin publik yang mandiri.

Bila ekosistem internal partai tidak berubah menjadi semakin demokratis, masyarakat tetap tidak mudah mendapatkan calon pemimpin baru yang memenuhi harapan mereka. Hanya wajah-wajah lama yang berputar dari satu tempat ke tempat lain. Gerak vertikal calon pemimpin berjalan lambat.

Walhasil, kita membutuhkan pemimpin hebat, yakni pemimpin yang menciptakan sistem dan lingkungan yang memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang mandiri. Kehebatannya diukur bukan dari banyaknya pengikut, melainkan dari banyaknya pemimpin baru yang ia lahirkan. Sebagai pemimpin, ia membukakan jalan bagi siapapun yang berpotensi menjadi pemimpin masyarakat, menyediakan lingkungan, juga menggembleng mereka, tapi bukan karena alasan pribadi. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB