x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Negeri Milik Luhut

Mencermati sepak terjang Luhut Binsar Pandjaitan dari mulai kasus "Papa Minta Saham" sampai dengan kasus Arcandra, betapa negeri ini sepertinya milik Luhut

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Foto: Luhut sewaktu dipanggil MKD dalam kasus Papa Minta Saham (merdeka.com)

 

Nama Arcandra Tahar ramai dibicarakan publik beberapa hari ini. Ahli kilang lepas pantai (offshore) ini diberhentikan oleh Presiden Jokowi lantaran kasus kewarganegaraan gandanya. Saat dilantik, pria kelahiran Padang ini ternyata berkewarganegaraan Amerika Serikat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siapa sebenarnya orang yang merekomendasikan Arcandra ke Presiden, hingga akhirnya dia dilantik menjadi Menteri ESDM? Hal ini menjadi penting karena kasus Arcandra ini sepanjang sejarah Indonesia merdeka, ada warga negara asing menjadi menteri. Betapa cerobohnya proses rekrutmen elit di republik ini.

Sebelum pencopotan Arcandra, publik masih diingatkan bagaimana orang terkuat dan terdekat Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan mengancam akan mem-buldozer siapapun yang berani ganggu Arcandra. Istilah akan mem-buldozer lawan politiknya mengingatkan kita pada istilah yang keras dan sangar. Istilah Luhut ini mirip dengan istilah "libas" yang dikeluarkan Panglima TNI Faisal Tanjung, atau istilah "Gebuk" oleh Pak Harto. Mengapa Luhut siap pasang badan hingga mengeluarkan ancaman itu? Memang siapa yang akan mengganggu Arcandra dalam misinya di kementerian ESDM?

Dari berbagai sumber, merdeka.com (17/8) misalnya, menyebutkan bahwa Arcandra memang diusulkan oleh Luhut dan Darmawan Prasodjo (Darmo), dua orang dekat Jokowi. Menurut media tersebut, usulan itu tidak lepas dari rekomendasi orang-orang yang terjerat pada kasus SKK Migas era Rudi Rubiandini.

Darmo sendiri saat ini menjabat Deputi I (Bidang Perencanaan, Kajian serta Monitoring dan Evaluasi Program Prioritas Nasional) Kantor Staf Presiden (KSP). Direkrut Luhut saat Luhut menjadi Kepala Staf Presiden.

Arcandra dan Darmo sama-sama lulusan Texas A&M University, Amerika. Keduanya sudah dekat sejak sama-sama tinggal di negeri Paman Sam itu. Darmo juga dikenal mentor Jokowi selama masa kampanye untuk urusan minyak dan gas.

Sebagai Deputi I KSP, Darmo berperan sebagai pemberi second opinion kepada Jokowi untuk pengelolaan sumber daya mineral. Pandangan Darmo beberapa kali berseberangan dengan Menteri ESDM sebelumnya yaitu Sudirman Said dalam kasus Freeport, Blok Mahakam, dan Blok Masela.

Jauh sebelum kasus Arcandra, Luhut dan Darmo juga terseret kasus Papa Minta Saham. Darmo disebut 13 kali dalam rekaman yang dibuat oleh Maroef Sjamsoeddin, Direktur PT Freeport (saat itu) dalam diskusinya dengan Setya Novanto dan Riza Chalid.

Saat rekaman itu diambil, Setya Novanto menjabat sebagai Ketua DPR, sedangkan Riza Chalid adalah pengusaha yang diduga tokoh mafia perdagangan minyak dan gas hingga dijuluki 'Saudagar Minyak'. Dalam rekaman, Setya Novanto menggambarkan Darmo sebagai sosok pintar yang disukai Presiden Joko Widodo. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa Darmo sudah masuk ke dalam payroll Riza Chalid.

Sedangkan nama Luhut sendiri disebut sebanyak 66 kali sebagai pihak yang dapat mengatur pembagian saham Freeport dalam rekaman itu. Namun pengusutan kasus Papa Minta Saham ini kandas lantaran Riza Chalid hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya.

Ada sebuah teori yang menyebutkan ‘didatangkannya’ Arcandra adalah masih terkait dengan polemik kepentingan seputar skema pengelolaan eksplorasi gas di Blok Masela di Maluku Selatan (Masela). Untuk itu mari kita mundur ke belakang, pada polemik berkepanjangan antara kubu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat itu yang menginginkan skema offshore atau lepas pantai dengan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli yang menyorongkan skema onshore.

Presiden Jokowi sendiri akhirnya memutuskan skema pengelolaan eksplorasi gas Blok Masela dengan mekanisme darat atau onshore. Alasan skema onshore dipilih adalah karena pemerintah menginginkan pembangunan ekonomi daerah dan nasional ikut meningkat dengan pembangunan Blok Masela. Skema onshore dinilai dapat memicu pembangunan wilayah.

Konon, Keinginan Sudirman Said dengan skema offshore itu dinilai sarat dengan muatan kepentingan kelompok bisnis tertentu(RMOL, 14/3). Tapi Sudirman tidak sendiri, Luhut juga punya kepentingan yang sama. Luhut menginginkan agar pengelolaan Blok Masela adalah dengan skema offshore. Hanya saja ‘sponsor di belakang’ keduanya berbeda. Itu makanya keduanya juga tidak pernah bisa akur.

Dalam teori migas sistem dengan menggunakan skema offshore memang jauh lebih baik ketimbang onshore. Pengelolaan hidrodinamikanya akan tahan lama dan efisien. Praktis karena hanya menggunakan kapal apung, tak perlu memasang instalasi pipa yang mudah korosi.

Akan tetapi harus diingat, kalau lokus pembangunan fisiknya berada di tengah laut sangat berpotensi terjadinya pencurian migas oleh pihak asing dan juga berpotensi menggadainya kepada kepentingan politik ekonomi asing. Sistem data base Pertamina akan kesulitan menjangkau hasil produksi apabila menggunakan pengelolaan offshore, sehingga berpotensi terjadi penggelapan. Selain itu, Ditjen Pajak pun akan kesulitan meng-cover volume hasil produksi yang menjadi dasar pendapatan pajak migas.

Nah, nampaknya pengelolaan Blok Masela dengan skema offshore ini masih menjadi agenda Luhut. Sebelum perombakan kabinet jilid 2, Luhut yang selama ini dikenal sebagai tangan kanan Presiden Jokowi pasti sudah mengetahui siapa saja menteri yang akan didepak. Diantaranya adalah Sudirman Said.

Bersama Darmo, Luhut pun mengontak Arcandra Tahar yang memang ahli di bidang sistem pengeboran offshore. Strateginya adalah untuk mempengaruhi presiden merubah skema pengelolaan dari onshore ke offshore dengan mengusulkan Arcandra menduduki jabatan Menteri ESDM. Arcandra adalah pemegang gelar Master of Science and Doctor of Philosophy Degrees in Ocean Engineering, Texas A & M Univercity.

Sayang strateginya itu harus kandas karena status kewarganegaraan ganda Arcandra. Tapi, toh, ditunjuknya dirinya sebagai Plt Menteri ESDM oleh Presiden Jokowi tak mematikan keinginannya. Kabarnya, Luhut kembali merekomendasikan ‘orangnya’ untuk duduk menggantikan posisi Menteri yang kosong itu. Dia adalah Satya Wira Yudha, kadernya Setya Novanto. Kroni sejatinya pada kasus “Papa Minta Saham.”

Betapa republik ini betul-betul berada di genggaman Luhut.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler