x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saya dan Teman Tionghoa Saya

Kami hidup rukun: bermain bersama, ngobrol bareng, tidak pamer, tidak mengelompok, saling menolong, menjaga lisan, dan tahu batas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di awal tahun 1970an, tidak lama setelah pecahnya tragedi yang mengharu biru bangsa ini, kehidupan di kampung saya, sebuah kecamatan kecil di Jawa Timur, mulai normal kembali—setidaknya itu yang terekam di benak anak usia sekolah dasar yang masih melekat hingga sekarang. Saya belum memahami dunia orang dewasa masa itu, yang di kemudian hari saya ketahui penuh ketegangan dan meninggalkan jejak-jejak traumatis yang sukar dihapus sepenuhnya. Saya masih ingat, misalnya, ketika mengungsi ke tempat lain dan sempat melihat adegan dari balik jendela kaca seseorang dikejar-kejar orang lain yang bersenjatakan sabit.

Di sekolah, saya punya banyak teman keturunan Tionghoa. Ada yang kaya, seperti Anwar. Saat jam istirahat, ia kerap mengajak saya bertandang ke rumahnya yang berjarak kira-kira 50 meter dari sekolah. Untuk apa? Makan es lilin produksi orangtuanya. Di rumahnya yang besar terdapat satu ruangan khusus untuk menyimpan alat pendingin. Orang tuanya menerima saya dan beberapa teman lain dengan senang hati.

Ada pula teman berambut lurus berponi. Namanya Joni—rumahnya tak jauh dari rumah sewa kami. Sehabis sekolah, kami kerap bermain bersama: bermain bola, mencari buah mangga, jambu, atau buah lagi yang sedang musim, atau menangkap burung—tapi seringkali tidak berhasil. Jika bulan tengah purnama, kami bersama kawan-kawan lainnya ramai bermain di tengah jalan. Bebas dan aman. Mobil dan motor sangat jarang lewat. Paling-paling sepeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya juga punya teman Tionghoa lain, lupa-lupa ingat namanya. Tapi, yang tidak hilang dari ingatan ialah kebiasaan kami bermain di halaman sekolah, menirukan gerak aktor kung fu Bruce Lee yang ketika itu sangat terkenal filmnya. Saya tidak tahu apakah teman saya memang benar-benar bisa berolahraga karate atau tidak, yang jelas gayanya menirukan Bruce Lee begitu meyakinkan—terbang dengan tangan dan kaki kanan mengarah ke depan. Dan saya ikut-ikutan. Halaman sekolah yang luas membuat kami bebas bermain.  

Kami menyukai film-film beladiri asing dengan pemain seperti Yasuaki Kurata, David Chiang, Ti Lung, dan Chen Kuan Tai. Tapi gaya bermain Bruce Lee memang paling banyak ditiru. Barangkali karena kegemaran menonton film kung fu ini, saya lantas ingin belajar karater di sebuah gang. Gurunya seorang prajurit KKO (Marinir sekarang), bersabuk hitam, berbadan besar. Guru ini dibantu beberapa murid senior, salah seorang di antaranya keturunan Tionghoa pemegang ban hijau atau mungkin biru, yang kelihatannya paling sibuk mengurus ini dan itu. Ia mungkin berusia 10 tahun lebih tua dari saya. Di sela-sela kesibukannya mengelola toko alat tulis orangtuanya, ia tekun melatih kami, anak-anak usia SD dan SMP, berlatih karate.

Ada pula tetangga yang kerap dipanggil Koh Yun. Saya tak ingat persis berapa usianya ketika saya masih bersekolah dasar. Profesinya tukang potret keliling, dan jika sore sampai malam ia bekerja di studio kecilnya yang berdinding kayu. Banyak foto hitam putih berbagai ukuran digantung di dinding studionya. Saya kerap melihatnya bekerja, mencuci film di ruang gelap lalu mencetaknya. Kami bertetangga baik, saling membantu bila ada kesulitan. Orangtuanya menjadi teman orang tua saya.

Pertemanan dengan anak-anak berdarah Tionghoa itu melintas kembali dalam benak saya belakangan ini. Teman-teman itu, begitu pula keluarga dan orang tua mereka, bergaul dengan kami tanpa sekat maupun prasangka. Tetangga Tionghoa kami ikut ngobrol jika sore hari tiba. Tak ada saling curiga dan takut sebab kami hidup berbaur dan saling menyapa. Yang kaya tidak pamer, yang miskin tidak minder.

Semua itu ingatan tentang kehidupan sehari-hari yang berlangsung antara 40 sampai 50 tahun yang lampau ketika ekonomi belum lagi maju, ketika banyak orang merasa sama-sama berjuang untuk dapat hidup, ketika orang-orang belum berebut kekayaan. Kami saling melayat bila ada tetangga yang meninggal dunia, saling membantu bila ada yang menghadapi kesulitan. Tak ada perselisihan, tak ada pertengkaran, sebab masing-masing mampu menjaga lisan dan tahu batas. (Foto barisan peserta karnaval 17 Agustusan di awal 1970an, di sebelah kiri dinding rumah Koh Yun; rumah di belakang barisan adalah rumah sewaan orang tua tempat kami tinggal) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler