x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semakin Berempati, Semakin Sukses

Semakin diyakini, perusahaan yang berempati kepada karyawan dan pelanggan semakin berpeluang meraih sukses.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di tengah situasi sulit, tak mudah bagi banyak orang mendapatkan pekerjaan. Mereka yang sudah bekerja akan berusaha keras untuk tidak kehilangan pekerjaan, betapapun lingkungan kerja begitu menekan. Banyak pemilik perusahaan yang mengerti benar bahwa dalam situasi pelik seperti itu, posisi mereka di hadapan karyawan jauh lebih baik. Oleh sebab itu, sebagian perusahaan menawarkan pilihan-pilihan yang sukar bagi karyawannya. “Di luar sana, banyak orang mengantri panjang untuk dapat bekerja di sini,” begitu ucapan yang sering terlontar dari manajer atau direksi.

Kendati begitu, banyak pula para manajer yang bersikap empatetik kepada karyawan. Para pemimpin bisnis ini berusaha membangun dan mempertahankan lingkungan kerja yang manusiawi dan berempati kepada siapapun yang bekerja di dalam lingkungan ini, khususnya karyawan di jenjang bawah. Nasihat lama tentang cara menjalankan perusahaan mulai bergeser. Dulu, agar perusahaan meraih sukses, Anda harus bersikap keras tanpa belas kasihan. “Karyawanmu bukanlah temanmu,” begitu nasihat yang tak berempati. Sesama karyawan pun bersaing dengan cara yang tidak sportif—menjegal dengan menjalankan ‘politik kantor’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, riset mutakhir memberi saran sebaliknya dan mengajak para manajer maupun pemilik perusahaan untuk memikirkan ulang pendekatan ‘tangan besi’. Para pelaku bisnis diajak untuk menempatkan karyawannya sebagi mitra dalam mencapai tujuan bersama: keberhasilan perusahaan maupun keberhasilan individu. Saran baru ini menawarkan pendekatan berempati dalam mengelola organisasi dan karyawan. Empati dimaknai sebagai kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain.

Menarik apa yang dilakukan oleh Empathy Lab, sebuah organisasi di AS, yang membuat semacam indeks empati untuk mengukur tingkat empati perusahaan terhadap karyawan dan pelanggannya. Hasil pengukuran yang dipublikasikan dalam 2016 Empathy Index memperlihatkan bahwa pergeseran pendekatan dalam mengelola karyawan dan pelanggan itu membuahkan hasil positif bagi perusahaan—dari ukuran pertumbuhan, laba, produktivitas, maupun pendapatan per karyawan. Indeks empati diurai ke dalam kategori etika, kepemimpinan, budaya perusahaan, persepsi merek, dan pesan publik melalui media sosial.

Dari lima perusahaan yang menempati peringkat teratas indeks tersebut, empat di antaranya perusahaan teknologi yang dikenal ‘ramah karyawan’: Facebook di urutan pertama, disusul kemudian oleh Alphabet (Google), LinkedIn, Netflix, dan yang kelima Unilever yang bergerak di bidang consumer goods. Empat perusahaan teknologi tersebut dikenal mengembangkan lingkungan kerja yang menyenangkan dan nyaman bagi karyawan untuk mengambil risiko dan melahirkan gagasan kreatif. Namun, Microsoft (didirikan tahun 1975) menempati urutan ke-7 dan Apple di urutan ke-15 (didirikan tahun 1976)—apakah karena kedua perusahaan ini ‘lebih jadul’ dibandingkan Facebook, Alphabet, LinkedIn, dan Netflix yang dibangun oleh generasi yang lebih muda? Sementara, meskipun tergolong tua, Unilever lebih adaptif terhadap perubahan?

Bukan berarti perusahaan-perusahaan ini tidak tegas, melainkan bersikap fleksibel dalam menerima keunggulan dan kelemahan individu karyawannya. Mereka melakukan pendekatan bisnis yang lebih berempati ke dalam maupun ke luar. Mereka mendengar apa yang dikeluhkan, diinginkan, dan diharapkan oleh karyawan maupun pelanggan. Mereka lebih ‘memanusiakan’ karyawan. Para manajernya berusaha ‘memakai sepatu’ karyawannya—“Oh, aturan ini rupanya menyulitkan karyawan dalam mengurus keluarganya,” misalnya. Maka, aturan pun diubah untuk menemukan jalan keluar yang saling menguntungkan perusahaan maupun karyawan dan keluarganya.

Perusahaan juga mendengar masukan pelanggan, misalnya dengan menampung saran mereka dalam desain suatu produk atau jasa. Perusahaan menyerap pengalaman konsumen dalam memakai produk atau jasa mereka. Jika ada yang tidak menyenangkan, maka perubahan segera dilakukan untuk menemukan solusi terbaik. Perusahaan memasukkan ‘perasaan tidak nyaman konsumen’ ke dalam   perubahan desain produk atau jasa. Ini berarti, perbaikan akan semakin mendekati harapan pelanggan. Pendeknya, semakin berempati sebuah perusahaan, semakin terbuka peluang bagi perusahaan untuk meraih sukses—bagi organisasi maupun karyawannya. (Foto: salah satu kantor facebook; sumber: mobilesyrup.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler