x

Iklan

Abu Mubirah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merindu Ulama Pewaris Anbiya

Ulama adalah sosok yang akan senantiasa dibutuhkan umat dimana pun dan kapan pun juga. Sayagnya, tidak semua ulama terbilang baik. Bagaimana bisa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dewasa ini banyak sekali ulama yang berperan multifungsi. Sering ditemui, mereka berperan di luar dimensi tanggungjawab esensial yang sepatutnya diemban. Sehingga, banyak persoalan keumatan belakangan ini, entah menyangkut kemerosotan moral umat, perilaku kekerasan atas nama agama di kalangan umat, tingkat pendidikan umat yang rendah serta kungkungan lingkaran kemiskinan yang membelit umat masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai.

Sebagai agen perubahan sosial, ulama merupakan tumpuan paling terakhir di mana segala lapisan masyarakat mengadukan permasalahannya. Apalagi mereka punya otoritas yang dilegitimasi tuntunan doktrinal agama, baik yang tertulis dalam hadits berbunyi: “Ulama adalah pewaris anbiya (para Nabi)(HR. Abu Dawud dan Turmudzi). Juga, ayat al-Qur’an yang mengatakan bahwa mereka adalah diantara hamba yang paling takut (khasy) kepada Allah Swt (QS. Fathir (35): 28.

Ulama sebagaimana disitir QS. Fathir (35): 28 adalah sosok yang dalam dirinya terpenuhi tiga aspek pokok, yaitu secara kognitif punya kecerdasan dan mumpuni dalam bidang ilmu, mampu menghayati pengetahuannya itu dalam sikap dan keyakinan (afektif), serta membuktikannya dalam aktivitas (psikomotorik) keseharian dan punya dedikasi kuat untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya untuk kemaslahatan umat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ulama dengan gambaran seperti itu merupakan dambaan umat sepanjang zaman. Sosok yang akan senantiasa dibutuhkan dimana pun dan kapan pun juga. Sosok yang bisa menggantikan peran para Nabi dan mewarisi misinya di muka bumi ini.

Namun sayangnya, tak sedikit pula di tengah-tengah kita saat ini, yang dalam kacamata awam kita kenali sebagai ulama justru memperlihatkan sikap, ucapan, dan perbuatan yang samasekali tak mencerminkan apa yang dimaksudkan oleh QS. Fathir (35): 28, apalagi wasiat hadits Nabi Muhammad Saw.

Pada suatu kesempatan, ulama besar Islam dalam sejarah, Abu Hamid Al-Ghazali (Imam Al-Ghazali) pernah mengatakan dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulum ad-Din. Beliau katakan, bahwa tak selalu ulama menjadi inspirasi baik dan membawa manfaat besar bagi umatnya.

Imam Al-Ghazali membagi ulama kedalam dua jenis. Ada ulama yang sosoknya persis seperti apa yang disabdakan baginda Rasulullah Saw dalam haditsnya dan dalam QS. Fathir (35): 28, tapi banyak pula ulama yang kadang malah menjadi penyebab petaka dan menimpakan bencana bagi umatnya.

Beliau menyebut ulama jenis pertama sebagai al-ulama al-ahsan (ulama yang baik/ ulama akhirat), sementara ulama kategori kedua beliau sebut sebagai al-ulama as-su’ (ulama dunia/ ulama yang buruk).

Ulama yang buruk menurut Imam Al-Ghazali adalah ulama yang hanya memanfaatkan ke-ulama-an dan ilmunya untuk tujuan-tujuan pribadinya saja. Ulama semacam ini hanya hobi mencari harta, kehormatan, dan jabatan saja. Al-ulama as-su’ lebih mementingkan dan memikirkan kekuasaan (politik) dan kekayaan pribadinya sebagai tujuan utama. Sehingga akhirnya kewajiban mengayomi umat dan menjadi teladan yang baik bagi mereka pun terabaikan.

Sementara ulama akhirat (al-‘ulama al-hasanah) adalah mereka yang menjadikan segala hal duniawi sebagai pelengkap saja, bahkan ada yang menganggap hal- hal politik dan kekuasaan adalah "musuh" yang harus diwaspadai. Ulama akhirat percaya bahwa kekayaan dan jabatan akan datang dengan sendirinya. Keduanya dianggap sebagai fitnah (cobaan) yang diberikan Allah Swt.

Pemakluman Imam Al-Ghazali bahwa ulama yang lekat dengan kekuasaan dan suatu jabatan lebih dekat kepada sebutan ulama yang buruk memang tak terelakkan. Itu juga merupakan respons moral dan intelektual beliau ketika mendapati perilaku penguasa dan pejabat yang memang sudah tak pantas dilihat mata dan cenderung melenceng dari etika hidup dan kerja yang dianjurkan Islam dan diteladankan oleh Rasulullah Saw.

Namun, mengidentifikasi ulama yang buruk di zaman sekarang ini mungkin bisa dikatakan agak problematik dan sesuatu yang tak mudah. Tak seperti ulama di zaman Imam Al-Ghazali yang merupakan ilmuan semata, di masa kini mudah ditemui ulama yang juga menjadi penguasa atau menjabat suatu jabatan publik.

Dalam konstelasi keterlibatan ulama dalam pelbagai aspek kehidupan, kemusykilan untuk mengenali ulama yang buruk mengemuka. Namun hitam atau putihnya seorang ulama tetap saja bisa diketahui dari efek atau akibat yang diakibatkan dari ulah yang diperbuatnya. Dari itulah, apa yang dikhawatirkan dari ulama yang buruk tentu saja efek sosial yang akan lahir, menyangkut kapasitas mereka yang dianggap sebagai teladan dan ikutan.

Keburukan ulama yang tergambar dalam peran esensial mereka dalam hal memanajemeni masyarakat akan menjadi hal yang amat mengganggu. Meski keburukan dalam hal itu belum seberapa mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan keburukan mereka jika menyangkut kemampuan utama mereka, yakni bagaimana mereka menyebarkan pemahaman doktrin agama yang keliru, yang kemudian disebar dan diproyeksikan kepada umat.

Pikiran-pikiran dan tafsiran ulama yang keliru atas sumber-sumber Islam dapat mengakibatkan umat terjerumus dalam bencana. Dengan tulisan dan ucapannya seorang ulama yang buruk dapat saja memperlakukan doktrin agama terdistorsi sedemikian rupa, sehingga ulama menjauh dari esensinya sebagai pewaris agama itu sendiri. Agama yang pada awalnya hadir untuk kemaslahatan dan kebaikan, justru dapat jatuh pada harkatnya yang terendah sebagai penyebab segala petaka (fitnah).

Realitas objektif umat Islam kini banyak mengisahkan peristiwa tragis dan ironi, tragedi kemanusiaan, khususnya belakangan hari ini di pelbagai belahan bumi, dapat dikatakan merupakan hasil dari buah intelektual yang benihnya ditanamkan kaum ulama kepada umat, atau setidaknya pertanggungjawabannya itu dapat dialamatkan kepada mereka.

Kisah pilu di dunia Islam seperti keterbelakangan negeri-negeri Muslim, lingkar kekerasan yang tiada berujung, peran etika dan moral Islam yang makin memudar, antagonisme dan intoleransi hubungan antar aliran, kekerasan atas nama agama, hingga kekangan tradisi keagamaan yang liat dan membonsai misi profetik agama, dapat saja didiagnosa sebagai adanya penafsiran “keliru” ulama terhadap doktrin agama.

Pelbagai fakta memilukan itu dapat menegaskan betapa ulama yang buruk sesungguhnya ada di tengah-tengah umat. Dan kehadiran mereka berpotensi jauh lebih berbahaya dari simbol kejahatan yang ada. Ulama yang seperti itu dapat dengan mudah berkamuflase dalam jubah kebesarannya sebagai orang terdepan menegakkan agama. Akan tetapi, ambisi duniawinya dalam mengejar kehormatan, harta, dan jabatan tidak dapat ditutup-tutupi.

Celakanya, apa yang datang dari ulama yang tergolong buruk seringkali terpaksa ditelan bulat-bulat oleh umat. Hal ini pada satu segi merupakan buah dari lemahnya mekanisme filter umat dalam memilah mana pendapat yang memang benar-benar berujung kepada kemaslahatan, dan mana yang berselubung kepentingan duniawi di dalamnya. Apalagi, kreativitas umat untuk menggali pesan-pesan ilahi langsung dari kitab suci terkadang sering dianggap sebagai ekspresi keagamaan yang menyalahi tradisi.

Ulama sebagai otoritas ilmu agama tentu amat sangat diperlukan. Kendatipun di masa kini banyak orang dapat mempelajari agama secara mandiri. Namun begitu, transfer ilmu dari ulama adalah hal yang sampai kapan pun akan terus berlaku, sebab hal ini merupakan modus kerja ilmu itu sendiri.

Agama Islam sendiri ditopang oleh sanad, yakni mata rantai transmisi keilmuan dari guru ke murid, sejak Guru Pertama Baginda Nabi Muhammad Saw kepada Sahabat, Tabiin, Tabiut Tabiin, dan terus sampai dengan guru-guru di zaman kiwari. Memelihara sanad ini merupakan salah satu bagian dari disyariatkannya agama (hifzh ad-din).

Pemeliharaan atas agama itu hanya dapat dikatakan berhasil jika ulama menjadi sumber agama yang otoritatif, dalam artian umat mengikutinya dengan tanpa paksaan dan sekaligus pula mengalami pencerdasan. Sehingga fatwa, risalah, taushiyah, dan hal-hal lain yang berkaitan, misalnya, dengan dunia politik, hukum, sosial-kebudayaan, juga penilaian terhadap kemanusiaan harus berporos pada kemaslahatan umat, yang dalam terminologi ushul fiqh termasuk ke dalam tujuan-tujuan diturunkannya syariat (al-maqashid as-syari’ah), yang dirumuskan oleh Imam asy-Syathibi bertujuan untuk memelihara agama (hifzh ad-din), harta (hifzh al-mal), nyawa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-‘aql), dan menjamin kelangsungan generasi umat di masa-masa selanjutnya (hifzh an-nasl).

Sulit untuk dicecap dengan akal sehat menyikapi aksi teror dan aksi-aksi destruktif atas nama Islam yang menurut pengakuan langsung maupun tidak dikatakan terinspirasi langsung dari tafsiran dari kitab suci Al-Qur’an dan sumber Islam lainnya. Baik pelaku maupun ulama penafsirnya sejatinya dapat dianggap telah membajak Islam, dan mereka itu dapat digolongkan sebagai al-ulama as-su’, sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghazali.

Tidaklah masuk akal apabila hal-hal yang membawa petaka (fitnah) merupakan pelaksanaan dari kehendak Allah Swt yang Maha Rahman (Kasih) dan Rahim (Sayang) di muka bumi ini. Hanya agama dan kitab suci yang tafsirnya telah diselewengkan saja yang mampu menanggung beban itu. Kalaupun itu yang terjadi, harapan akan lahirnya ulama yang menjadi penyejuk dan pelita di tengah-tengah umat sudah selayaknya terus dilambungkan. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

Ikuti tulisan menarik Abu Mubirah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu