x

Iklan

Kang Nasir Rosyid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memaknai Gerakan Keagamaan

Gambaran tentang Protes Sosial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam catatan sejarah di Indonesia, utamanya sebelum Abad 20, Gerakan Keagamaan selalu mewarnai perlawanan terhadap kekuasaan asing yang dianggap telah banyak menyengsarakan rakyat dan melakukan ketidakadilan baik politik, social maupun ekonomi. Satu hal yang perlu mendapat sorotan dalam berbagai gerakan itu adalah peran Kyai/Ulama sebagai  pemantik atau tokoh yang memimpin gerakan social.

Kedudukan Kyai dalam struktur masyarakat dianggap punya status yang tinggi, bahkan oleh banyak kalangan Kyai dipandang sebagai simbul Prestise social. Dalam konteks relasi sosial, Kyai punya jaringan atau hubungan yang amat luas, tidak terbatas pada geografis dimana kyai itu bertempat tinggal. Ini bisa dipelajari melalui  organisasi Tarekat yang tumbuh subur sejak sebelum abad 20. Para kyai bisa dilacak dari adanya hubungan yang sangat erat (nasab). Hubungan ini bisa karena factor geneologis maupun hubungan keilmuan. Kedua factor ini kadang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Sudah menjadi hal yang sangat lumrah, hubungan geneologis  atau karena factor kekerabatan akibat adanya perkawinan, terjadi manakala seorang kiyai kemudian berbesan dengan Kyai yang lain, baik didaerahnya sendiri maupun dengan kyai yang diluar daerah. Inipun bisa terjadi karena factor hubungan keilmuan dimana kyai yang berbesan itu dulunya adalah teman karib dalam menimba ilmu Agama kepada seorang guru. Hubungan geneologis ini, bisa juga karena factor guru dan murid, tidak sedikit seorang murid kemudian dijadikan menantu oleh gurunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hubungan keilmuan, sebagaimana saya maksud adalah dipengaruhi oleh satu nasab yang sama dalam mempelajari Ilmu Agama, misalnya beberapa kyai dalam mempelajari Ilmu Agama, berguru kepada seorang Ulama yang  sama. Jika ini yang terjadi, meski kyai itu tersebar di beberapa daerah, tetap mempunyai hubungan yang erat dan dijadikan sebagai nasab hingga turun temurun kepada murid murid dari para kyai itu. Hubungan antara guru dan murid ini,  telah menunjukkan sebuah model kepempinan yakni kepemimpinan Kharismatik. Seorang guru ditempatkan sebagai seorang yang punya kharisma yang luar biasa, bahkan bisa dianggap sebagai seorang Wali yang punya kekuatan lebih  baik  penguasaan Ilmu Agamanya maupun yang berkaitan dengan Karomah (kesaktian), oleh karena itu, seorang murid atau masyarakat akan selalu taat dan tunduk terhadap ajaran yang diberikan oleh gurunya ( Kyai).  

Oleh karena itu, apa yang dapat kita pelajari dari gerakan gerakan yang berlatar belakang keagamaan dalam bentuk Gerakan Sosial yang salah satunya  adalah protes social, gampang sekali diletupkan. Menjadi hal yang tidak sulit, jika kemudian gerakan gerakan social yang dimotori oleh elit agama, mendapat tempat dikalangan masyarakat, sebabnya tak lain karena factor nasab tadi, padahal jika dilihat dari aspek komunikasi, tidak ada telnologi yang bisa merekatkan dengan cepat, tetapi karena adanya jalinan yang kuat tadi, maka sangatlah mudah untuk mengerakkan.

Salah satu contoh yang bisa dikemukakan disini adalah Protes social yang terjadi di Banten sepanjang abad 19. Protes social yang dimanifestasikan dalam bentuk pemberontakan terjadi dimana mana, baik yang bersekala kecil maupun yang bersekala besar pasca kekuatan struktur kekuasaan di Banten dihancurkan Belanda yakni di hapuskannya Kesultanan Banten pada awal abad 19. Salah satu Protes social yang bisa dikatagorikan berskala besar adalah pemberontakan yang terjadi di Cilegon dipenghujung abad 19 yang oleh Prof. Sartono Kartodirjo disebut Pemberontakan Petani Banten 1888. Pemberontakan ini dimotori oleh para kyai besar di Banten dan elite agama lainnya seperti orang orang yang bergelar ‘’haji”.

Pemantik dari pemberontakan itu antara lain Kyai. (Ki) Wasid, Ki.H Tubagus Ismail, Ki H. Marjuki. Ki Arsyad Thowil, Ki Arsyad Qoshir dan lainnya termasuk melibatkan hampir seluruh para kyai yang tersebar diseluruh Banten. Keterlibatan para kyai dalam pemberontakan di Cilegon ini, tak lepas dari factor yang saya sebutkan diatas, bahkan bukan hanya dari relasi antar kyai saat itu saja, ternyata aktor dari gerakan pemberontakan Cilegon 1888, secara geneologis mempunyai hubungan erat dengan pemberontakan sebelumnya, yakni kebanyakan sebagai keturunan dari tokoh tokoh pemberontakan sebelumnya seperti Pemberontakan Ki Wakhia, Pemberontakan Roh jambu dan lainnya.

Husus yang terjadi pada tahun 1888, bisa dikatakan hampir seluruh Kyai yang terlibat dalam pemberontakan itu, punya hubungan yang tidak dipisahkan dari aspek keilmuan dimana hampir seluruhnya adalah pengikut Tariqat Qadiriyah Naqsabandiah. Kebetulan saat itu, Kiyai terkemuka dari Banten yakni Ki Abdul Karim yang bermukim di Mekkah menjadi Pimpinan sedunia Tariqat Qadiriyah Naqsabandiah sedunia menggantikan pendahulunya Ki Khatib Sambas. Hampir seluruh pemantik Pemberontakan Cilegon berguru langsung kepada Ki Abdul Karim termasuk juga berguru kepada Syeich. Nawawi Albantani.

Ki Abdul Karim sendiri, sebelum tahun 1888, pulang ke Banten dan memompakan semangat Jihad fi Sabillah memerangi kolonial Belanda, semangat jihad memerangi penjajah itu kemudian mengkristal  menjadi Idiologi perjuangan karena di Banten memang telah tumbuh kebencian yang mendalam terhadap kekuasaan asing yang telah memporak porandakan sendi sendi kehidupan social politik ekonomi di Banten.

Pemberontakan ini terjadi bukan hanya dilatar belakangi oleh kondisi geo politik semata, tetapi ada factor lain yang melingkupinya yakni Idiologi Agama (Islam) yang saat itu penguasa telah dianggap menghina dan melecehkan Ajaran Islam yang dianut oleh penduduk Cilegon.  Ada kalanya penguasa melarang penduduk Cilegon untuk menyuarakan Azan dari atas Menara, ada juga ucapan yang mengatakan mengapa sembahyang harus memakai suara dan lain sebagainya. Perasaan dan tindakan penguasa saat itu telah memicu adanya ketersinggungan dan kemarahan ummat Islam hingga kemudian meletupkan protes social berupa gerakan keagamaan yang dimanifestasikan dalam bentuk pemberotkan dan membunuh para pejabat kolonial termasuk pejabat pribumi yang menjadi antek antek kekuasaan kolonial.

Mengaca pada apa  yang terjadi pada abad 19 diatas, nampaknya bisa di ambil pelajaran untuk melihat apa yang terjadi pada saat ini, hususnya tentang gerakan gerakan yang dilakukan oleh sebagian ummat Islam hususnya aksi aksi yang terjadi di Jakarta dengan sebutan Bela Islam.

Bela Islam yang berjilid jilid itu, menurut pandangan saya dengan memakai kacamata sosiologis, termasuk juga dalam katagori gerakan social dalam bentuk gerakan keagamaan sebagai bentuk protes social. Gerakan ini meletup begitu massif setelah adanya peristiwa perkataan Ahok di Pulau Seribu yang dianggap/diduga telah menghina atau menista Ajaran Islam/Alqu’an.

Kita juga bisa melihat benang merah antara gerakan keagamaan pada abad 19 dengan yang sekarang terjadi, yakni dominannya peran elite agama,  dalam hal ini adalah para Ulama, Habaib dan tokoh tokoh agama lainnya yang mengambil peran dalam gerakan itu. Ini menandakan bahwa begitu kuatnya hubungan antar kyai dan ummat Islam, apalagi ditunjang oleh kemajuan teknologi, dengan membaca media social saja, sebagian ummat Islam sudah merasa terpanggil untuk sama sama membela ajaran Agamanya.

Awalnya, mungkin saja protes protes terhadap Ahok terjadi lantaran dipengaruhi oleh persolan politik mengingat Ahok punya Jabatan Gubernur yang akan mencalonkan diri sebagai Gubernur yang akan datang dalam Pilkada. Saya tidak bisa menafikkan masalah ini, tetapi ketika sampai pada persoalan perkataan Ahok tentang ‘’dibohongi pakai Surat Almaidah 51’’ itu, maka ummat Islam tidak lagi berpikir soal ‘’bungkusan” politik itu, apalagi setelah MUI kemudian membuat sikap Keagamaan yang  menyatakan bahwa perkataan Ahok itu bisa dikatagorikan sebagai penistaan terhadap Agama, maka munculah solidaritas keagamaan yang luar biasa, bukan hanya ummat Islam di Jakarta, tetapi muncul dari berbagai penjuru tanah air.

Namun perlu di ingat bahwa lepas dari persoalan politik, sepanjang sejarah peradilan yang menyangkut masalah penistaan Agama, tidak akan lepas dari adanya protes social, hal ini terjadi lantaran terkait dengan suatu keyakinan keagamaan yang disebut Aqidah. Tentu kita masih ingat tentang kasus Arswendo Atmowiloto, ia bukan siapa siapa dalam kontek politik, tetapi ketika ia melakukan perbuatan yang dianggap menista Ajaran Agama/Islam, maka demontrasi juga ada dimana mana, bahkan kantornyapun hancur lebur berantakan karena datangnya hujan batu.

Apa yang terjadi pada 411 atau 212, pada dasarnya adalah bentuk protes social, hanya saja manifestasinya yang berbeda, kalau dulu dijalankan melalui pemberontakan fisik, bahkan membunuhpun dianggap hal yang biasa, namun untuk sekarang, dijalankan melalui saluran tatanan social dan hukum yang berlaku di negara Indonesia yakni dalam bentuk demonstrasi yang memang telah diatur undang undang.

Sayangnya, oleh beberapa kalangan,  demontrasi ini kemudian dimaknai sebagai bentuk tekanan terhadap kekuasaan, padahal sejatinya adalah sebagai bentuk penyaluran aspirasi ummat atas adanya ucapan seseorang yang dianggap telah melakukan tindak pidana sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, dan itu sudah dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Adapun aspirasi itu kalau mau diterjemahkan dengan perkataan kira kira begini “Pak, itu ada seseorang yang telah dilaporkan diduga melakukan tindakan pidana berupa penistaan Agama, tolong segera diproses melalui Pengadilan”.

Kini posisi Ahok yang ucapannya di protes oleh sebagian ummat Islam, oleh pihak yang berwajib telah diproses sesuai dengan hukum yang berlaku sesuai dengan laporan ummat Islam, sudah sampai ke tingkat  Pengadilan. Endingnya seperti apa, tentu pengadilanlah yang bisa memutuskan, harapannya tak lain adalah adanya penegakan hukum.

Hanya saja, dalam konteks peradilan terhadap Ahok ini, Penegakan hukum bagaikan dua sisi mata pisau, dimana orang yang dibelakang Ahok, berharap adanya penegakan hukum berupa dibebaskannya Ahok dari dakwaan, sementara dari ummat Islam yang melaporkan, berharap penegakan hukum berdasarkan keadilan masyarakat sesuai dengan KUHP dengan menyatakan Ahok  terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan Jaksa dan dihukum sesuai dengan KUHP.

Mari kita tunggu……..

 #Catatan; Disarikan dari Buku; Pemberontakan Petani Banten 1888, karya Prof.DR. Sartono Kartodirjo dan beberapa Sumber lain.

 

Ikuti tulisan menarik Kang Nasir Rosyid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu