x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika MK Dicabik-cabik Partai Politik

Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi sudah saatnya ditinjau ulang kembali. Terbukti hakim yang berlatar belakang parpol malah menodainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hakim Mahkamah Konstitusi, Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H, diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT), di Grand Indonesia pada Kamis (25/1) malam, terkait suap ‘jual-beli’ putusan Mahkamah dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Dalam perkara ini, politikus Partai Amanat Nasional (PAN), ini diduga menerima suap sebesar Sin 200 ribu, atawa setara Rp 2,15 miliar dari seorang pengusaha impor daging - yang kemudian diketahui bernama Basuki Hariman, melalui perantara orang dekat Patrialis bernama Kamaludin.

Bukan kali ini saja memang lembaga yang mengawal segala ketentuan dan peraturan ketatanegraan ini tercoreng oleh perilaku hakimnya yang memiliki mental bobrok, melainkan  untuk kedua kalinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelumnya, dalam kasus yang sama, Akil Mochtar, bekas Ketua MK, divonis pengadilan dengan hukuman seumur hidup. divonis seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa Pilkada di MK, dan tindak pidana pencucian uang.

Dengan kecolongan oleh dua kasus yang sangat memalukan itu, tak syak lagi wibawa dan marwah lembaga yang menjaga segala ketentuan dan peraturan ketatanegaraan di Republik Indonesia sudah jatuh ke titik paling bawah. Bisa jadi publik saat ini memandangnya dengan perasaan risi, baik itu risi yang berarti merasa jijik, atawa bisa juga bemakna khawatir – sebagaimana termaktub dalam KBBI.

Dalam hal ini, sudah pasti dalam UU Mahkamah Konstitusi masih memiliki kelemahan, salah satunya dalam seleksi pengangkatan hakimnya itu sendiri. Dalam kenyataannya, campur tangan demi kepentingan politik tampak jelas masih demikian kuat. Begitu juga dengan latar belakang calon hakim pun harus ditinjau ulang kembali.

Betapa tidak. Sebagaimana diketahui, dua hakim MK yang sudah menodai kesucian lembaga tersebut, masing-masing merupakan kader partai politik. Patrialis Akbar dari PAN, dan Akil Mochtar dari partai Golkar. Suka atawa tidak, selama ini stigma partai politik sudah demikian memprihatinkannya. KPK sudah banyak menjebloskan orang parpol ke dalam penjara karena kasus korupsi.

Apalagi kita ingat dengan proses pengangkatan Patrialis Akbar yang kontroversial. Meskipun mendapat banyak penolakan, dan diwakili oleh YLBHI dan ICW yang menggugat Surat Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar, tetapi ketika itu Presiden SBY keukeuh ngotot untuk mendudukan mantan Menteri Hukum dan HAM di kabinetnya itu di kursi hakim MK.

Sebagai pengawal utama konstitusi yang merupakan 'fundamental dan higher law' sistem perundang-undangan kita, tidak semestinya demikian mudah disusupi setiap usaha siapa pun yang ingin menodai asas-asas demokrasi yang terkandung dalam UUD sebagaimana termaktub dalam pembukaan konstitusi RI yang merupakan filosofische grondslag bangsa.

Meskipun memang masih ada hakim pada Mahkamah Konstitusi ini masih memiliki integritas, tidak tercela, dan bersifat negarawan, namun peribahasa: Karena nila setitik, rusak susu sebelanga, bisa jadi masih tetap berlaku. Sebaiknya seluruh hakim di MK mengundurkan diri, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada bangsa dan negara, dan untuk mengembalikan wibawa dan marwahnya, tentu saja, ke tempat yang dijunjung tinggi, setelah dicabik-cabik oleh Akil dan Patrialis.

Selanjutnya untuk mengangkat lagi hakim MK, karena memang keadaannya mendesak, selain menggodok dan mengkaji ulang UU MK, terlebih dahulu Presiden menerbitkan Perppu terkait, untuk menyeleksi dan mengangkat calon hakim pada lembaga tersebut.

Hanya saja perlu dingat, Presiden Joko Widodo jangan pernah mengikuti jejak SBY dalam pengangkatan hakim di MK ini. Alangkah baiknya jika Presiden membentuk panitia seleksi dengan melibatkan berbagai pihak berkompenten, serta memiliki integritas tinggi. Selain itu, publik pun wanti-wanti agar tidak lagi mengangkat calon hakim MK yang berlatar belakang partai politik. Sebaiknya,  yang berlatar belakang hakim karier, dan profesional dijadikan prioritas utama.***

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler