x

Tank 2A4 Leopard buatan Jerman milik TNI AD di Surabaya, 4 Oktober 2014. Indonesia membeli 103 tank Leopard 2A4 dan 42 kendaraan infantri Marder 1A3 bekas dari Jerman, pada 2013. Sebanyak 61 tank di-upgrade menjadi Leopard 2RI (revolution). TEMPO/Ful

Iklan

Sabartain Simatupang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Netralitas TNI dan Pilkada

Seyogianya sikap TNI tetap sama dan konsisten untuk menjaga netralitasnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengantar

Spekulasi politik tentang “seakan-akan TNI kembali berpolitik” sempat disinyalir sebagian LSM.  Isu ini digulirkan semenjak Revisi UU Pilkada bergulir di DPR tahun lalu. Penggiat LSM secara tegas menolak usul DPR yang menawarkan “agar personel TNI tidak perlu mundur dalam pencalonan peserta pilkada”. Dikuatirkan klausal ini seolah-olah “pintu masuk’ bagi TNI kembali berpolitik.

Kekuatiran tersebut mencuat lagi setelah muncul beberapa perwira TNI yang ikut Pilkada 2017 (utamanya pencalonan Mayor Infanteri Agus HY dalam Pilkada DKI/Jakarta). Menyikapi kontreversi di atas Panglima TNI menegaskan sikap resmi institusinya.  Sesuai UU TNI ditandaskan “setiap prajurit TNI harus mundur sebelum pencalonan pilkada”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu bagaimana posisi TNI dalam pelaksanaan pilkada pada tahun 2017 yang berlangsung saat ini? Seyogianya sikap TNI tetap sama dan konsisten untuk menjaga netralitasnya dalam setiap pelaksanaan pilkada. Ulasan berikut ini ingin secara arif, obyektif dan proporsional membahasnya.  

 

Reformasi Kultural

Sudah menjadi komitmen semua pihak setelah pemerintahan Orde Baru digantikan bahwa “TNI seharusnya tidak berpolitik lagi”. Bagi TNI hal ini sudah menjadi bagian dari kebijakan internalnya  pada awal masa Reformasi. Sejak itu TNI secara kelembagaan melarang setiap prajurit TNI untuk kembali berpolitik. Kalaupun ada pelanggaran pada Pilkada 2015 lalu, TNI telah mengadakan evaluasi dan kajiannya terhadap implementasi kebijakan ini.

Reformasi internal TNI yang dilaksanakan hampir dua dasawarsa ini pada prinsipnya sudah banyak merespon dinamika tuntutan masyarakat. Saat ini pihak TNI terus berupaya melanjutkannya secara bertahap, meliputi baik aspek struktural maupun kultural. Upaya gradual ini bertujuan untuk mewujudkan postur TNI yang solid, handal dan profesional. Reformasi aspek struktural sudah dilaksanakan melalui pembenahan organisasi, doktrin, pendidikan dan latihan serta pemenuhan kesejahteraan. Sesungguhnya reformasi struktural sulit diwujudkan secara optimal, bila tidak didukung oleh reformasi kultural.

Membangun kultur TNI yang demokratis sudah merupakan keputusan dari UU RI No.34/2004 tentang TNI. Ditandaskan bahwa TNI harus mengikuti “kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil dan hak azasi manusia”. Dengan demikian tuntutan profesionalisme TNI hendaknya diwujudkan dalam suatu kultur yang demokratis. Komitmen inipun sebenarnya sudah diupayakan sejak awal reformasi internal TNI hingga sekarang. Hanya saja yang menjadi persoalannya adalah kelanjutan program penuntasan reformasi ini masih terkendala pada realisasi penataan kultur TNI.

Reformasi kultural dimaksudkan untuk mewujudkan karakter prajurit TNI yang profesional dan bermoral sesuai Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, Doktrin TNI serta ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini tidak mudah diwujudkan begitu saja, karena kendalanya terletak pada perubahan tingkah laku prajurit TNI. Dalam UU TNI tersebut,  ketentuan yang relevan menjadi ukuran bagi TNI untuk dapat membangun kultur yang demokratis adalah “prajurit TNI tidak boleh berpolitik praktis”. Implementasinya tidak sekadar sampai pada pemberlakuan normatif dalam kehidupan kedinasan semata. Tantangan berikutnya terletak pada konsistensi para perwira untuk dapat mempertahankan komitmen ini.

Banyak pendapat di kalangan sebagian penggiat LSM/akademisi/politisi yang masih meragukan kemungkinan ini. Mereka berdalih begitu mendalamnya karakter berpolitik menyimpang sebagian “oknum prajurit” selama rezim Orde Baru. Apalagi doktrin kepemimpinan internal TNI yang hierarkis dianggap mendukung sikap politik yang anomali  tersebut. Untuk mengubah karakter yang demikian, agar tidak lagi bersikap “menyimpang” terhadap lingkungan masyarakatnya, maka penanaman nilai-nilai dan prinsip demokrasi tersebut mutlak diberikan kepada prajurit TNI secara dini melalui pembinaan doktrin, organisasi dan pendidikan/latihan TNI.

 

Soal Netralitas TNI

Sebenarnya harapan TNI setelah menjalani  proses reformasi jelas menginginkan agar diposisikan sebagai TNI yang profesional. Implikasinya memang secara kelembagaan TNI tidak boleh lagi berpolitik praktis, tetapi fokus pada fungsi pertahanan. Politik TNI adalah politik negara dalam rangka mengamankan kewibawaan, kedaulatan dan konstitusi negara. Dengan demikian profesionalisme TNI harus diwujudkan oleh setiap prajurit TNI dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Komitmen dan konsistensi peran ini secara hierarkis berada pada pundak para perwiranya.

Oleh karena itulah penampilan keberhasilan reformasi internal TNI terletak pada perwiranya. Peran dan sepak terjang perwira TNI ini senantiasa disorot masyarakat. Harapan masyarakat agar TNI tidak berpolitik lagi, tercermin pada komitmen perwiranya untuk menjaga profesionalisme tersebut. Bila pada masa Orde Baru dikenal adanya “perwira politik”, mentalitas yang demikian hendak dirubah menjadi “perwira profesional”. Tantangan yang terberatnya untuk mewujudkan profesionalisme TNI ini terletak pada perubahan kultur ini. Seyogianya memang penampilan perwira produk reformasi tentunya harus berbeda dengan mentalitas perwira seniornya di masa Orde Baru.

Hal krusial bagi TNI untuk meningkatkan keseriusannya menghargai demokrasi, antara lain dengan pembuktian netralitas TNI dalam setiap pemilu dan pilkada. Keputusan pelaksanaan netralitas TNI ini jelas mendapat tantangan yang serius, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal jelas tantangannya menyangkut konsistensi sikap mental para perwira pimpinan TNI dalam menyikapinya.  Sedangkan secara eksternal, netralitas TNI mendapat tantangan dari sikap politik elite partai/aktifis LSM yang bertendensi menarik-narik TNI ke kancah politik demi kepentingannya (vested interes).  

Keinginan para penggiat LSM agar TNI tetap menegakkan prinsip netralitasnya dalam pelaksanaan pilkada serentak pada awal tahun 2017 ini patut dihargai. Seyogianya hal ini juga agar didukung oleh sikap obyektif dari para elite partai/aktifis LSM. Janganlah sikap-sikap yang selalu apriori sampai membuat opini masyarakat menjadi “bias” terhadap iktikad TNI dalam mereformasi dirinya. Respon politik seperti ini dikuatirkan akan terus membangun gap hubungan sipil-militer yang justru tidak demokratis dan selalu menyudutkan TNI. Implikasinya jelas pada kegagalan mewujudkan konsepsi “melting relationship between civilian and milatary in Indonesia”.

Sebagai akademisi kita menaruh atensi pada iktikad kontestasi Agus HY sebagai kandidat pilgub DKI. Secara personal sebagai mantan pamen TNI, Agus HY berhak secara politis setelah menanggalkan status keprajuritannya. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan, sebagai seorang mantan perwira profesional TNI, apakah Agus HY akan menunjukan “keberhasilannya” di dunia politik? Dan apakah nanti pencapaian ini menjadi “representasi” keberhasilan reformasi kultural perwira TNI pasca Orde Baru?

Sejujurnya yang dikuatirkan adalah sikap politik para pendukungnya dalam proses kampanye dan pemilihan nanti dapat (mungkin) saja memengaruhi  komitmen netralitas TNI. Mudah-mudahan kekuatiran ini tidak akan terjadi bila semua pihak menyadari posisinya masing-masing. Wait and see! ***

 

Oleh: Sabartain Simatupang

Penulis adalah akademisi Universitas Pertahanan Indonesia dan alumnus magister KSKN UI.

Ikuti tulisan menarik Sabartain Simatupang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu