x

Sejumlah peserta mengibarkan bendera merah putih saat mengikuti apel Gelar Nasional Bela Negara di Silang Monas, Jakarta, 23 Agustus 2016. Kegiatan Apel Gelar Nasional Bela Negara yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. TEMPO/Subekt

Iklan

Sabartain Simatupang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Unhan dan Bela Negara

Selama 18 tahun Orde Reformasi, reformasi politik dan hukum justru menunjukkan tendensi negatif

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Salah satu hal yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini adalah bagaimana kesadaran Bela Negara kembali diterapkan sebagai bagian dari pendidikan nasional. Di tengah maraknya terjadi dekadensi moralitas dan rasa kebangsaan di sebagian generasi muda di berbagai daerah dan khususnya di ibukota Jakarta, maka program Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang diinisiasi oleh Pemerintah sejak 2015 perlu disikapi secara arif dan konstruktif.

Universitas Pertahanan yang memperingati Dies Natalisnya yang ke-8 pada 11 Maret 2017 juga telah berupaya secara akademis untuk memformulasi urgensi PKBN tersebut sebagai model aplikatif bagi program pembelajaran yang terintegrasi di internal Unhan. Lewat Seminar Nasional tentang “Kurikulum Pertahanan dan Bela Negara” yang dihadiri Forum Rektor PT se Indonesia di Kemhan pada tanggal 29 Maret 2016 yang lalu, Unhan juga sudah menawarkan agar program ini dapat diterapkan pada kurikulum pendidikan tinggi di seluruh Indonesia.

Ancaman Ideologis

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semenjak lengsernya mantan Presiden Suharto pada tahun 1998 (berarti berakhirnya pemerintahan Orde Baru), tampak muncul suatu ironi kecenderungan yang kontra produktif dengan ide awal gagasan Reformasi Total pemerintahan baru. Pemerintahan Orde Baru yang tadinya dianggap gagal mempertahankan eksistensi ideologi negara dan kesejahteraan masyarakat, akhirnya semua kebijakan politiknya (termasuk PKBN) ditolak oleh penggagas Orde Reformasi.

Ironisnya setelah 18 tahun Orde Reformasi sudah berjalan, faktanya pembaharuan (reformasi) politik dan hukum bukannya menunjukkan tendensi positif dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Malahan sebaliknya muncul tendensi negatif yang menunjukkan terjadinya dekadensi moral (sosial budaya), ideologis, politik dan hukum di kalangan masyarakat luas, khususnya generasi muda. Hal ini bisa diamati dengan semakin masifnya pelibatan generasi muda di berbagai kasus narkoba, korupsi, terorisme, kriminalitas, dan tindak pidana lainnya.

Bila kita memetakan secara ideologis kecenderungan pola pikir dan sikap masyarakat saat ini, maka ada beberapa ancaman yang semakin intensif terjadi. Pertama, ancaman reradikalisasi nilai-nilai dasar keagamaan di kalangan generasi muda khususnya mahasiswa (lihat berbagai hasil penelitian yang dilakukan LIPI, UI, Balitbangdiklat Kemenag). Fenomena ini jelas sangat dikuatirkan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku generasi penerus terutama anak-anak dan remaja (tingkat pendidikan dasar, menengah dan atas).

Indikasi fenomena dan keterpengaruhan ini antara lain dapat dilihat dari berbagai fakta keterlibatan beberapa mantan aktifis keagamaan kampus menjadi pelaku teror dan relawan pengikut ISIS (terakhir kasus ditangkapnya mahasiswa Indonesia di Turki), munculnya sikap intoleran antar ormas kemahasiswaan, memudarnya kesadaran ideologis Pancasila di kalangan anak sekolah dan artis muda, kurangnya minat mahasiswa/pelajar terhadap aktifitas yang bertemakan nasionalisme/patriotisme, dan sebagainya.

Ke dua, ancaman neo-liberalisme sebagai anti tesa bagi deideologisasi Pancasila di kalangan masyarakat. Pesatnya kemajuan Ilpengtek (modernisasi), selain dapat berdampak positif, dikuatirkan berimplikasi negatif bagi kalangan generasi muda. Indikasi maraknya dekadensi moral (kasus korupsi, penyalahgunaan narkoba, pornografi) sebagai akibat (side efect) dari kemajuan teknologi informatika di kalangan pemimpin politik saat ini, ternyata secara psikologis dapat berakibat fatal dan menyimpang bagi alam pikir dan sikap generasi muda.

Ke tiga, meskipun hal ini dianggap “debatable” di kalangan penolak rezim Suharto, sadar tidak sadar kecenderungan kembalinya pengaruh faham (reideologisasi) Komunsime bisa saja terjadi pada situasi kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Sebagai alternatif bagi efek negatif dari dampak penguruh Neo-liberalisme, kemunculan pengaruh faham tersebut mendapat tempat di kelompok masyarakat tertentu.

Ke empat, walaupun ancaman Fasisme, Totaliterisme dan Otoriterisme saat ini belum menimbulkan kondisi nyata pada kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tetapi tantangannya bisa terjadi pada perilaku di kalangan pemimpin politik negeri ini. Dialektika perdebatan ideologis menyangkut hal ini tentunya secara akademis perlu dikaji kembali oleh para civitas akademika PT, agar generasi muda/mahasiswa tidak terjebak pada sikap pragmatisme kekuasaan dan individualisme otoriter.

Revitalisasi PKBN

Universitas Pertahanan (Unhan) saat ini merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan program pendidikan bidang Ilmu Pertahanan di Indonesia. Dengan motto “Identitas, Nasionalisme dan Integritas”, Unhan sedang berusaha memposisikan eksistensinya sebagai perguruan tinggi yang menghasilkan calon pemimpin bangsa (baik dari TNI maupun sipil) sebagai kader “Intelektual Bela Negara dan Pancasila”. Sementara ini Unhan baru menyelenggarakan program pendidikan beasiswa pada tingkat Magister (S2) Ilmu Pertahanan dan Kajian Bela Negara. Dan pada tahun 2016 yang lalu Unhan telah mendapat akreditasi A dari pemerintah (BAN PT).

Relevan dengan perkembangan ancaman yang berdimensi ideologis di atas, yang pada faktanya semakin masif pengaruhnya terhadap kondisi generasi muda saat ini, Unhan menganggap perlu dilakukan upaya revitalisasi konsepsi PKBN ini melalui model kajian aplikatif akademis. Untuk tidak terjebak pada kendala yuridis formal yang sengaja digantung DPR selama ini dan sikap resistensi sebagian aktifis LSM, maka pilihan simpatik yang dilakukan Unhan adalah penawaran konsep program PKBN (terutama materi Keyakinan Pancasila sebagai Ideologi Negara) agar dapat diterapkan secara berjenjang dan proporsional di setiap perguruan tinggi.

Tantangan berikutnya adalah perlu adanya pembahasan yang khusus, komprehensif dan berlanjut bersama Kemhan dan Kemenristek Dikti untuk menyempurnakan program kurikulum PKBN ini. Program ini hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan yang dilaksanakan pada setiap PT dan relevan dengan ancaman yang sedang kita hadapi. Semoga!***

Oleh: Sabartain Simatupang

Penulis adalah Alumnus Magister KSKN UI dan dosen pada Universitas Pertahanan, tulisan ini bersifat pribadi.

 

Ikuti tulisan menarik Sabartain Simatupang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu