x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Resensi Film Sicario: Operasi Intelijen Kotor CIA di Meksiko

Daya pikat film Sicario yang direlease 2015 dan disutradarai Denis Villeneuve terletak pada plotnya yang dibuat “senatural” mungkin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam rapat persiapan untuk melakukan sebuah operasi gabungan DOD-CIA, penonton disuguhi tayangan unik, ketika kamera fokus mengarah ke Matt Graver, sang komandan Satgas, yang hanya mengenakan alas kaki berupa sandal jepit. Rapat berakhir, dengan keputusan antara lain melibatkan seorang agen lapangan wanita Kate Macer dalam operasi.

Lalu, kamera dari udara beralih menyorot iring-iringan mobil SUV berwarna hitam, melaju cepat, semua penumpangnya diperintahkan untuk siaga dan senjata sudah terkokang, kemudian menyeberang perbatasan dari Amerika ke Mexico, tanpa melalui pemeriksaan imigrasi. Konvoi terus bergerak menuju kota Juarez dengan pengawalan ketat kendaraan Rantis Policia Mexico diiringi sirene yang meraung-raung.

Setelah konvoi tiba di tujuan, penonton mengetahui konvoi itu menjemput seorang tahanan bernama Guillermo, untuk “diekstradisi” ke Amerika. Pesannya: sebuah operasi intelijen yang genuine memang harus dilakukan secara powerful, melibatkan para penguasa lokal secara terbatas, bergerak cepat, nyaris mengabaikan semua prosedur normal, dan menghitung semua tahapan: step by step.

Setelah “diekstradisi” dan berada di wilayah Amerika, dan melewati proses interogasi brutal (ditayangkan dengan layar hitam), Satgas gabungan DOD-CIA akhirnya mendapatkan dua informasi penting dari Guillermo: kartel narkoba Meksiko yang dipimpin Alarcón mengoperasikan sebuah terowongan lintas perbatasan untuk menyelundupkan narkoba ke Amerika; juga tentang Diaz, salah satu orang dekat Alarcón.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Film Sicario – dalam bahasa Spanyol bermakna pembunuh bayaran – akhirnya mengalir lancar, dengan tiga aktor/aktris utama: (1) agen lapangan wanita CIA, Kate Macer, yang diperankan kurang maksimal oleh Emily Blunt; (2) pembunuh bayaran berdarah dingin bernama Alejandro Gillick dengan ekspresi wajah tanpa mercy, yang dimainkan dengan penjiwaan maksimal oleh Benicio del Toro; dan Matt Graver, seorang perwira CIA yang bertindak sebagai komandan Satgas gabungan, dimainkan oleh Josh Brolin.

Kartel narkoba, operasi rahasia, pembunuh bayaran, aparat yang korup, dan selalu ada aparat yang taat hukum. Tapi realitas kehidupan mafia narkoba tentu memiliki aturannya sendiri.

Film ini, salah satunya, ingin menunjukkan bahwa tidak mudah membunuh seorang bos mafia kartel. Sebab untuk bisa mengakses sang bos tertinggi, operasi dijalankan dengan cara memancing beberapa jenjang akses, yang harus dikorbankan satu per satu, guna menghindari kemungkinan bocornya operasi.

Untuk mengetahui kepastian posisi Alarcon yang menjadi target opersi, Alejandro harus melewati setidaknya tiga jenjang akses: menginterogasi Guillermo secara brutal untuk mendapatkan dua informasi penting: tentang Diaz (orang terdekat Alarcon) dan terowongan jalur penyelundupan narkoba. Tapi untuk sampai ke Diaz, Alejandro harus melewati dan membunuh seorang polisi Mexico bernama Silvio, yang korup dan bekerja sebagai kurir narkoba dan uang hasil penjualan narkoba; setelah memojokkan Diaz, akhirnya Alejandro mengetahui tempat domisili Alarcon.

Dari Guillermo, lalu Silvio, kemudian Diaz, akhirnya Alejandro dapat membunuh Alarcon. Semua proses ini dilakukan melalui dirty operation. Kehadiran agen lapangan wanita CIA, Kate Macer, yang dikesankan taat prosedur lebih sebagai trik untuk menciptakan ketegangan internal di Satgas Gabungan.

Tapi bagi Alejandro, operasi intelijen yang taat prosedur hanya mungkin dijalankan di kota kecil yang taat hukum. Kepada Kate Macer, Alejandro berkata, “kau pergi saja ke kota kecil, di mana hukum masih dijalankan”. Pesannya, jangan berharap hukum bisa diterapkan maksimal di kota-kota besar metropolitan. Menghadapi mafia narkoba, “penegakan hukum” kadang harus  diterapkan dengan menggunakan modus kartel juga.

Komandan Satgas Matt Graver, yang dari CIA, memanfaatkan Alejandro untuk membunuh Alarcon, juga dilatarbelakangi oleh kasus lama: Alarcon pernah memerintahkan anak buahnya untuk membunuh putri Alejandro. Namun konflik antara Alarcon-Alejandro tidak divisualkan, hanya melalui dialog saja. Artinya, selain sebagai pembunuh bayaran yang siap membunuh tanpa belas kasih dan semata untuk bayaran, ambisi Alejandro untuk mengeksekusi Alarcon juga dipicu oleh dendam pribadinya terhadap Alarcon. Pesanya: mata dibayar mata. Sebelum membunuh Alarcon, Alejandro lebih dulu menghabisi anggota keluarganya (istri dan dua putranya) di meja makan.

Sementara bagi Matt Graver, seperti layaknya seorang perwira CIA, dia punya skenario lebih besar yang lebih strategis. Membunuh Alarcon sebenarnya untuk memberikan peluang bagi kartel lain bernama Medellin. Sebab dalam dunia perdagangan narkoba, mengontrol dan mengendalikan satu kartel jauh lebih gampang dibanding mengontrol dua atau lebih dari dua kartel.

Daya pikat film Sicario yang direlease 2015 dan disutradarai Denis Villeneuve terletak terutama pada plotnya yang dibuat “senatural” mungkin. Tidak meloncat-loncat. Rangkaian cerita dan adegan action-nya relatif masih masuk akal. Brilian.

Syarifuddin Abdullah  | Kamis, 06 April 2017 / 09 Rajab 1438H.

Sumber foto-1: en.wikipedia.org.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB