x

Iklan

Rinsan Tobing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perilaku Korupsi yang Tak Kunjung Punah | Rinsan Tobing

Korupsi tidak akan pernah punah di Indonesia. Sangat banyak factor 'enabling'-nya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Operasi tangkap tangan yang melibatkan pejabat negara sudah berulang kali terjadi. Terakhir, Patrialis Akbar sebagai ‘aktornya’. Patrialis saat itu menjabat sebagai Hakim Agung di Makamah Konstitusi Indonesia. Makamah yang seharusnya menjadi tempat teragung di Republik ini. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya lagi, makamah ini tercoreng.

Prestasi tidak ‘agung’ sebelumya terkait kasus Akil Mukhtar, yang hobi menjajakan pengaruh untuk kepentingan politik di daerah. Jika Akil Mukhtar urusan berurusan dengan dunia politik, kasus Patrialis ‘berbau sapi’. Di Rabu malam 25 Januari 2017 lalu, waktu tampaknya berhenti bagi Patrialis.

Belum lama, Sri Hartini tertangkap KPK melakukan perbuatan melawan hukum. Ibu Sri, mantan Bupati di Klaten, memperlakukan birokrasi di wilayahnya layaknya sebuah usaha ritel. Untuk setiap jabatan di Klaten ada price tag-nya. Untuk memuluskan langkah-langkahnya, Ibu Sri memobilisasi keluarga, suami dan anak. Ibu Sri tega menjadi ‘penjaja jabatan’. Kemungkinan sebabnya, Ibu Sri sudah lebih dari 20 tahun di lingkungan K-1 alias Klaten 1. Terbiasa melihat dan melakukan praktek culas itu. Kenikmatannya berakhir di Jumat 30 Desember 2016.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ke belakang, ada kasus penangkapan Yon Anton Ferdian, mantan Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan. Anton ini adalah anak mantan bupati sebelumnya. Dinasti politik sepertinya sudah hal yang lumrah. Kasusnya terkait suap Dinas Pendidikan di daerahnya dengan praktek ijon proyek. Mantan Bupati yang masih sangat muda ini pun dicokok KPK pada Minggu, 4 September 2016, di rumah dinasnya.

Praktek korupsi terjadi dimana-mana di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah. KPK telah menangkap pejabat di berbagai tingkatan. Menteri, Bupati, Gubernur, Anggota DPR, DPRD, Bupati/Walikota. Bahkan pihak swasta terkait kasus juga merasakan hantaman KPK. Tetap, korupsi tidak hilang dari bumi Indonesia.  

Menurut laman KPK, total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2016 terdiri dari penyelidikan 838 perkara, penyidikan 557 perkara, penuntutan 460 perkara, inkracht 383 perkara, dan eksekusi 404 perkara. Di tahap penyidikan, Kasus Tindak Pidana Korupsi ini didominasi oleh Kementerian Lembaga sebanyak 239 kasus. Peringkat kedua di Pemerintah Kabupaten/Kota sebanyak 122.

Pertanyaan yang kemudian muncul ke permukaan, apa kira-kira yang menjadi faktor ‘enabling’ dari laku korupsi yang tidak kunjung padam ini?

 

Struktur Lengkap tapi Lemah di Komitmen

Tindak Pidana Korupsi ini adalah kejahatan luar biasa. Banyak lembaga yang menanganinya. Lembaga-lembaga itu yakni Polisi, Kejaksaaan Agung, Makamah Agung, yang sayangnya dianggap tidak berhasil. Ujungnya Komisi Pemberantasn Korupsi pun dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang No. 30 Tahun 2002.

Di tingkat internal ada Inspektorat Jenderal dan Wilayah, yang mengawasi tindak-tanduk para birokrat, baik di pusat maupun daerah. Ditambah lagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Semuanya dibentuk untuk memastikan tujuan pembangunan tercapai dan laku menyimpang dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.

Dari kelompok civil society, ada banyak organisasi yang bekerja memelototi program-program pemerintah. Perilaku pejabat diawasi untuk memastikan uang rakyat digunakan sebagai mestinya. Seperti visi dan misi yang dijabarkan dengan tinta tebal.

Tidak kurang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi pun diformulasikan untuk memastikan langkah-langkah yang harus dilakukan dan capaian-capaian yang hendak diwujudkan serta juga peta jalan untuk memastikan tindakan korupsi ini bisa dihilangkan. Setidaknya begitu cita-citanya.

Regulasi tidak kurang tebal dan lengkap secara hirarkis. Mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Mentri dirancang untuk tujuan terkait pemberantansa korupsi ini. Nasib berkata lain, korupsi tetap meraja lela. Struktur yang lengkap ini tidak menjamin lenyapnya laku korupsi ini, ditenggarai karena lemahnya komitmen pelaksanaannya.

 

Yang ‘Terdampak’ Melawan

Perilaku sebagian anggota dewan juga menunjukkan ketidaknyamanan dengan penindakan korupsi yang dilakukan KPK. Upaya-upaya pelemahan KPK terjadi berulang. Meskipun dalam narasinya, anggota dewan menyatakan bahwa upaya tersebut untuk memperbaiki KPK. Narasi ini dicurigai untuk mengurangi ‘kesaktian’ KPK, termasuk kewenangan melakukan penyadapan yang berujung pada operasi tangkap tangan.

Masih ada pihak-pihak yang berkreasi untuk ‘mendukung’ laku korupsi ini. Ada beberapa pihak yang melakuan judicial review atas Tindak Pidana Pencucian Uang. Para pihak ini hanya ingin bahwa penindakan dilakukan pada kasus terkait saja. Tidak memasukkan unsur potensial lost yang diakibatkan suatu laku korupsi. Padahal, Hakim Agung Artijo Alkostar selalu memasukkan faktor daya rusak korupsi sebagai acuan untuk menambah hukuman bagi koruptor.

Melihat penjelasan di atas, sepertinya celah untuk tindakan korupsi sangat sempit. Tetapi melihat angka-angka statistik yang disajikan KPK saja membutktikan laku korupsi masih masif. Bisa dibayangkan betapa runyamnya pelayanan publik di negara ini. Sebabnya, statistik KPK menunjukkan jumlah terbanyak tindak pidana korupsi ada di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta di peringkat ketiga DPR/DPRD.  

Bahkan yang paling gres, anggota DPR bahkan mendorong pelaksanaan hak angket untuk melemahkan KPK. Hak angket yang selalu digadang-gadang ketika DPR merasa ‘terancam’ oleh keberadaan KPK. Dari perspektif DPR, mereka telah menjadi korban dari tindakan KPK yang sewenang-wenang. Anggota DPR yang harus dipanggil mulia ini, ingin beberapa kewenangan KPK dicopot. Kewenangan yang menciptakan KPK menjadi sebuah lembaga superbody. Presiden pun tidak boleh mengusik KPK.  

Di samping itu, KPK tidak mengenal namanya SP3. Lengkaplah sudah, keinginan anggota DPR ini ditenggarai karena rencana melaksanakan ‘rencana-rencana curang’ akan terganggu. Setidaknya, rencana-rencana curang itu tercermin dari Korupsi KTP-el, yang baru-baru ini mencuat ke permukaan, yang melibatkan banyak figure nasional di DPR. Laku curang yang dianggap korupsi nyaris sempurna.

Perlawanan dari para terdampak ini malah ‘menyuburkan’ kepercayaan bahwa jika mereka bersatu maka akan lancar jayalah urusan pencolengan uang negara ini.

 

Masyarakat Permisif

Di masyarakat Indonesia, laku korupsi ini sepertinya mendapatkan tempat. Masyarakat cenderung tidak perduli dengan ‘keanehan’ yang ditunjukkan para pejabat. Dengan pendapatan yang terbatas, gaya hidup para pejabat ini sepertinya ‘tidak terbatas’. Materialisme menjadi penuntun dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan ada kecenderungan di masyarakat yang mengatakan bahwa pejabat itu tidak boleh miskin. Miskinnya seorang pejabat akan menjadi pertanyaan besar. Masyarakat pasti tidak percaya dengan kondisi ini. Pejabat miskin adalah sebuah keanehan.

Dengan demikian, para pejabat di Indonesia tampil kinclong. Kekinclongan ini diwakili oleh mobil-mobil mewah, rumah-rumah seperti istana hingga biaya sewanya setahun saja mencapai 1 milyar. Belum lagi liburan-liburan yang privat dan pelayanan-pelayanan kelas terbaik, serta wanita simpanan yang diakui keponakan. Anak-anak para pejabat ini juga harus mendapatkan fasilitas yang baik. Khawatirnya nanti dipertanyakan lagi. Masa anak pejabat kelihatan lusuh? Muaranya, anak-anak pejabat ini pun harus dikinclongkan.

Masyarakat maklum saja. Namanya juga pejabat. Padahal, jika dijumlahkan semua pendapatan dan manfaat yang diterima oleh seorang pejabat, tidak akan cukup untuk membiayai hidup mewahnya dan harta-hartanya yang bertebaran dimana-mana. Lihatlah Sanusi itu di Jakarta.

Dengan berbagai upaya ‘kreatif, para penjabat ini berupaya memenuhi kebutuhan kenikmatan yang menggoda. Kenikmatan yang hanya bisa didapatkan dengan uang dalam jumlah besar. Jadilah dagangan posisi jabatan di Klaten. Terbitlah ijon proyek di Banyuasin. Masuklah tawaran masalah persapian di Makamah Konstitusi.

Ketika ini terjadi, masyarakat hanya terkejut sebentar dan selanjutnya maklum lagi. Jika seorang pejabat menyumbang secara pribadi dalam jumlah besar misalnya di suatu pesta atau acara, masyarakat akan bertepuk tangan lagi.  

 

Hukuman Ringan

Hal lain yang disangkakan menjadi biang kerok giatnya para koruptor adalah hukuman yang ringan. Jaksa KPK sering sekali harus melakukan banding untuk menambah hukuman sesuai tuntutan. Alasan memberikan hukuman yang ringan tentunya dapat dijabarkan dengan mudah. Tetapi, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Ini tidak menjadi pertimbangan. Kerugian negara hanya sebatas jumlah uang yang dikorupsi. Sering itu alasan hakim pengadil.

Hakim sering tidak memasukkan dampak negatifnya yang luar biasa bagi pelayanan publik. Dengan adanya uang yang dikorupsi, maka pembangunan akan mengalamai penurunan kualitas, yang bisa mengancam kehidupan pemangku kepentingannya. Lihatlah sekolah-sekolah yang ambruk. Berita mengabarkan runtuhnya jembatan yang baru dibangun. Karena korupsi, program menjadi terhenti.

Perlu perencanaan dari awal lagi untuk bisa dimasukkan ke dalam APBN/APBD. Lihatlah, Hambalang berhenti begitu saja. Pengembangan olah raga Indonesia terbengkalai. Untuk membangun lagi, perlu audit finansial dan audit engineering untuk memastikan kekuatan bangunan. Biayanya bisa jauh lebih besar sekarang dibandingkan pada tahun proyek itu dianggarkan. Dan, hukumannya hanya ringan. Hukumannnya hanya diberikan kepada beberapa orang saja, sementara katanya mastermind-nya melenggang kangkung.

 

Niat Jahat

Terlepas dari semua hal di atas, korupsi adalah masalah pribadi. Pengambilan keputusan untuk melakukan korupsi adalah keputusan pribadi. Hal-hal diluar dirinya adalah faktor pendorong atau penolak. Kedua-duanya muncul dalam lingkungannya. Bisa jadi faktor pendorong karena banyak yang melakukan maka dianggap sesuatu hal yang lumrah. Di sisi lain, melihat orang miskin, mungkin, memunculkan rasa enggan untuk melakukan korupsi. Pada intinya, ini soal diri sendiri.

Jadi, seseorang melakukan korupsi karena ada niat jahat di dalam dirinya. Tidak ada yang terpaksa melakukan korupsi. Sebabnya adalah sang pelaku korupsi sadar bahwa laku korupsi adalah perbuatan yang salah. Tetapi, karena ada niat jahat yang ingin menguasai yang bukan miliknya, maka korupsi dilakukan.

Niat jahat ini bisa muncul jauh sebelum si pejabat memegang jabatannya. Bisa jadi karena sebelum menjabat sudah ada transasksi. Bisa jadi niat jahat itu sudah memang muncul melihat kemewahan yang ditampilkan para pejabat lainnya.

Niat jahat ini atau yang dalam bahasa latinnya disebut mens rea bisa disebut sebagai maksud atau keinginan untuk melakukan kejahatan korupsi. Bukankah Bang Napi pernah mengatakan bahwa kejahatan terjadi jika ada niat dan kesempatan.

Kesempatan sudah ada dengan menjadi pejabat. Niatnya bisa timbul setelah menjabat atau malah sudah dibawa sebelum menjabat. Niat jahat ini benar-benar sesuatu yang sangat personal. Niat jahat ini mendorong koruptor untuk memelintir hukum. Niat jahat ini ‘mencerdaskan’ koruptor untuk mencari celah korupsi. Niat jahat ini berkelindan dan menjelmalah hukuman yang ringan. Para koruptor adalah para pemilik niat jahat.

Niat jahat ini menjadi bahan bakar tidak kunjung padamnya laku korupsi di Indonesia. Disuburkan dengan faktor-faktor enabling yang dijabarkan sebelumnya.

Ikuti tulisan menarik Rinsan Tobing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu