x

Umar Patek bersama sejumlah rekannya yang menjadi petugas pengibar bendera merah putih, menaiki bendera dalam upacara memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) di Lapas Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, 20 Mei 2015. TEMPO/Edwin Fajerial Suko Pur

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mempertanyakan Nasionalisme Kita

rakyat sudah kehilangan kebebasan, terlalu banyak ditekan sehingga sulit memunculkan kembali “the human dignity” yang telah hilang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Jika melihat sejarahnya, Harkitnas lahir bersamaan dengan berdirinya organisasi pergerakan nasional Budi Utomo pada 1908, berarti Indonesia sudah memperingati Harkitnas lebih dari satu abad! Waktu yang cukup lama untuk selalu mengingatkan kita bahwa jangan sampai semangat nasionalisme bangsa ini luntur dihujani penjajahan dalam bentuk modernisasi dan kapitalisasi. Tapi apa benar nasionalisme kita tidak pernah luntur? Nasionalisme bisa saja diapresiasi melalui kecintaan kita kepada tanah air, baik melalui dukungan dan kepercayaan terhadap hasil-hasil bumi ataupun apa saja karya kreatif anak bangsa yang berasal dari negeri sendiri. Nasionalisme juga bisa berarti memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas hasil karya anak-anak bangsa, baik itu produk, hasil pemikiran, hasil pekerjaan, atau apapun bentuknya yang penting kita selalu menghargai hasil karya anak bangsa. Lalu bagaimana dengan masih dilakukannya impor pangan, impor barang? bahkan impor pekerja asing? Atau mungkin impor ideologi? Jangan-jangan kita saat ini sudah melupakan jati diri kita sendiri sebagai Bangsa Indonesia, bahkan seringkali terkadang bersikap malu menjadi Indonesia.

Dulu, kebangkitan nasional lahir ditengah kesewenang-wenangan praktek kolonialisme terhadap pribumi, dimana pribumi terus menerus mendapatkan tekanan dan penderitaan akibat dipaksa untuk menerima apapun yang diperintahkan pihak asing. Tanam paksa, kerja rodi, kooptasi atas produktifitas lahan-lahan subur milik pribumi dan banyak upaya-upaya paksa sehingga pribumi seperti pembantu di tanah airnya sendiri. Titik puncak nasionalisme Indonesia kemudian terwujud setelah Perang Dunia ke II dimana Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sentimen nasionalisme bangsa Indonesia bangkit akibat kesewenang-wenangan penjajah dan perlawanan atas kolonialisme. Istilah nasionalisme di Indonesia memang lahir dari sentimen anti-kolonialisme, berbeda dengan kebangkitan nasionalisme di Eropa yang ditandai oleh proses peralihan dari masyarakat feodal ke masyarakat industri. Di dunia Barat, nasionalisme sudah lebih dahulu hadir dengan apa yang kemudian dikenal dengan istilah “revolusi industri”.

Apa yang diistilahkan sebagai bentuk kolonialisme pada dasarnya merupakan dominasi penguasa pribumi dan memperalatnya untuk memperkaya diri sendiri. Dalam bentuk yang lebih baru, kolonialisme merupakan penguasaan asing atas model “indirect rule” dimana asing memperalat penguasa pribumi untuk tujuan-tujuan keuntungan tertentu. Masyarakat pribumi dijadikan objek pengurasan bahan dasar bagi industri asing yang sedang dijalankannya dan sebaliknya, barang-barang yang telah mereka buat dipasarkan di negeri kita sendiri. Kita pada akhirnya menjadi bangsa yang konsumtif, diberondong terus-menerus oleh barang-barang produksi asing sehingga kita-pun tidak sanggup membuat produksinya sendiri. Lalu dimana nasionalisme kita? 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sebuah majalah De Gids yang terbit pada 1908, Van Deventer menulis sebagai berikut: “Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir tak ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan, dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarnya, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak terlalu sengsara, memadailah”.  Kalimat-kalimat yang sudah ratusan tahun ini seakan menghentakkan kita, bahwa justru realitas kehidupan kita sekarang pun tetap demikian. Bangsa ini dihadapkan pada kondisi asal bisa makan, asal bisa kumpul, asal bisa kerja, asal kehidupan sehari-hari terpenuhi meskipun kurang sudahlah cukup. Tak perlu memikirkan bagaimana pendidikan karena memang mahal, tak perlu ngotot meningkatkan kualitas etos kerja karena memang tak mampu, tak penting bicara moralitas karena moralitas bukan urusannya apalagi jika harus dipaksa bersaing dalam banyak hal, pasti tidak akan pernah terpikirkan.

Saat ini yang terjadi tidak hanya terkikisnya sentimen nasionalisme kita, tetapi kita rela dijajah oleh kolonialisme gaya baru, kapitalisme! Modernisasi dalam berbagai bidang akibat arus globalisasi politik-ekonomi bahkan telah berhasil menjungkir-balikkan pola pikir, budaya, gaya hidup, norma, nilai yang ada dalam masyarakat kita. Sekarang, kita nampaknya biasa-biasa saja, meskipun banyak tanah milik kita yang dikuasai asing karena terpaksa dijual, produk-produk dalam negeri kita kalah bersaing dengan produk asing karena lebih murah, tenaga kerja kita-pun dibayar lebih murah dibanding tenaga kerja asing. Kita ini sebenarnya tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu dengan kondisi nasionalisme kita yang semakin terpuruk? Massa rakyat sudah kehilangan kebebasan, terlalu banyak ditekan sehingga sulit memunculkan kembali “the human dignity” yaitu harga diri manusia yang hilang akibat penguasaan asing atas kondisi bangsa ini. Akankah nasionalisme kita bangkit?

Bangsa ini sudah terlampau nyaman dengan kehidupan pribadinya sendiri-sendiri, sehingga tak pernah menyadari bahwa kolonialisme “gaya baru” itu sudah lahir, bahkan jauh sebelum mereka lahir. Kolonialisme “gaya baru” telah mengikis tradisi, budaya, norma dan juga gaya hidup bangsa kita. Kita tidak pernah menyadari bahwa kolonialisme saat ini telah mengganti bahasa “kooptasi” dengan “kerjasama”, istilah “penjajahan” diperhalus dengan “pembangunan ekonomi”, “pemaksaan” dianggap sebagai “gejala modernisasi dan demokratisasi, bahkan “keagamaan” digantikan dengan “kemanusiaan”. Saya yakin, pada tahap tertentu, kita ini sudah tidak lagi nasionalis, bahkan tidak tahu apa itu nasionalisme. Padahal, nasionalisme tidak hanya membuat ikatan suatu bangsa menjadi kuat untuk melawan sentimen anti-asing, anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tetapi juga menjadi lebih kuat dalam membangun bangsa dan negara ini sendiri. Bangsa yang memupuk rasa nasionalisme-nya secara terus menerus akan menjadi bangsa besar, bangsa yang kuat sehingga sulit untuk diatur atau dikendalikan oleh kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun!

Wallahu a’lam bisshawab     

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu