x

10.2_jateng_JOGJApancasila

Iklan

Wida Semito

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jampi-jampi 'Saya Pancasila' Oleh: Budiarto Shambazy

saya pancasila

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Istilah “republik hamil tua” menunjukkan ketegangan dalam hubungan PKI – TNI AD – Bung Karno. PKI merasa paling berkuasa, membuat khawatir TNI AD dan kekuatan-kekuatan antikomunis lainnya. Bung Karno yang utopis ingin “berdiri di atas semua golongan” melalui Nasakom. Ia kerap menyebut dua putra mahkota: Menteri Panglima Angkatan Darat A.Yani dan Ketua Umum PKI D.N Aidit.

Mengapa Bung Karno disaat-saat akhir lebih condong pada PKI? Fakta menunjukkan ia penemu marhaenisme sebagai marxisme Indonesia. Tradisi marxisme berurat akar dalam pergerakan nasional sejak era radikalisasi Sarekat Islam (SI) tahun 1917. PKI sudah memberontak terhadap Belanda di Silungkang tahun 1927.

Tokoh-tokoh komunis/sosialis ikut berjuang melawan Belanda sejak era SI sampai Proklamasi 1945. Ada Semaun Prawiroatmodjo, Muso, Tan Malaka, Amir Syarifudin, sampai Sutan Sjahrir. Seperti tangan, ada yang “kiri” dan ada yang “kanan”. Kalangan kana menganggap PKI berkhianat sejak pemberontakan Madiun tahun 1948.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertentangan ideologi domestik itu proxy war antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sejak Revolusi Rusia 1917. RI terjebak Perang Dingin sampai Bung Karno menggagas Konferensi Asia Afrika (KAA). Bung Karno dalam periode 1955-1965 lelah mengurusi bangsa ini. Ia mencoba berbagai resep konsensus nasional, termasuk konsepsi, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Manipol-Usdek, Nasakom, dan sebagainya.

Ia digangu subversi AS, ditarik ke pusar persaingan Soviet-China, dan memperjuangkan Conefo. Ia diganduli pemberontakan PRRI/Permesta, operasi pembebasan Irian Barat, dan konfrontasi. Sebagai negara besar dan strategis, RI menjadi ajang pertempuran antar intelijen. Yang ikut bermain tidak cuma CIA, tetapi juga dinas intelijen Barat, komunis, Jepang bahkan Malaysia dan Singapura.

Sejak 1960 fitnah yang diembuskan dinas-dinas intelijen jadi sarapan harian. Soal kudeta-lah, Dewan Jendral-lah, dan yang teramat menarik, fitnah Bung Karno sakit keras. Wajar setiap tokokh, parpol, dan kekuatan politik ambil ancang-ancang seandainya Bung karno tutup usia. Wajar juga konflik PKI-TNI AS semakin memanas.

Samapi kini, Gerakan 30 September (G30S) sebuah enigma yang misterius. Namun, konstelasi politik berubah total akibar dari G30S yang berlangsung hanya dalam hitungan jam. G30S peristiwa yang terpisah dengan pembunuhan massal warga tak bersalah, apalagi dengan penangkapan tanpa prosedur hukum. Hak-hak, harta benda, dan mertabat para korban dilenyapkan, dicuri, dan diinjak-injak.

Amuk terhadap saudara sebangsa itu ditanggapi kemarahan pemerintah, pers, serta masyarakat AS dan negara-negara Barat. Mereka geleng-geleng kepala melihat perlakukan terhadap tapol di Pulau Buru. Itu sebabnya, Presiden AS Jimmy Carter ogah ke sini. Ratu Elizabeth turun tangan agar eksekusi mati terhadap mantan Menlu Soebandrio dibatalkan.

G30S melahirkan Orde Baru yang mengintroduksi budaya keras. Sikap enggan bertanggung jawab pemerintah tercermin dari kebiasaan mengoknumkan atau mengambinghitamkan siapa saja. Selain oknum dan kambing hitam, masih ada “ekstrem kanan”, “ektrem kiri”, “setan gundul”, bahkan “OTB” (Organisasi Tanpa Bentuk). Jika sudah kepepet, masih ada “sisa-sisa PKI” atau “PKI gaya baru”.

Budaya keras lainnya bersiasat meletuskan kerusuhan dalam persaingan kekuasaaan. Ada peristiwa Bandung ’73, Malari ’74, Lapangan Banteng ’82, Tanjung Priok ’84, Petrus 27 Juli ’96, Kerusuhan Mei ’98 atau Tragedi Semanggi I ‘98/Semanggi II ’99. Dan, seperti biasa, tak ada tersangka karena semua merasa above the law. Anda dengan mudah menemukan mereka yang above the law cukup dengan mengikuti pemberitaan sehari-hari.

Kesimpulannya, Orde Baru tak lebih baik dari Orde Lama. Mereka penelikung sejati yang bertahan hidup di atas bahasa politik eufimistis. Kenaikan harga diplesetkan jadi “penyesuaian harga”, warga miskin menjadi “pra-sejahtera”, atau penyebab banjir sebagai bencana buatan manusia adalah ‘fenomena alam”.

Ada sebuah perumpaan dalam bahasa Inggris,  We’ve learnt that people don’t actually change very much.  Oleh sebab  itu, Orde Reformasi tak ubahnya “Neo-ORBA”; Orde Baru baru.  Nyaris tak ada kultur yang berubah, hanya struktur yang berganti. Jika Orde Baru menerapkan demokrasi setengah hati, Orde Reformasi mempraktikkan demokrasi setengah jadi.

Seperti biasa, Pancasila kembali jadi korban. Telah lama Pancasila jadi status simbol seperti benda keramat, mobil SUV, ikan arwana, atau smartphone paling anyar. Pelecehan terbesar terhadap Pancasila terjadi ketika Pak Harto bilang menyerang dirinya sama dengan menyerang Pancasila. Semoga slogan “Saya Pancasila” yang Anda ucapkan dengan lantang bukan jampi-jampi belaka.

(sumber: Koran Kompas, Sabtu, 3 Juni 2017)

Ikuti tulisan menarik Wida Semito lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu