x

Seorang umat muslim membaca Al Quran di Masjid Istiqlal, Jakarta, 3 Juni 2017. Pada bulan Ramadan 1438 H umat muslim banyak membaca Alquran (tadarus), berdoa dan dzikir di masjid. TEMPO/Fajar Januarta

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Refleksi Ramadan: Tradisi 'Pasaran' Kajian Kitab Kuning

Tradisi Pasaran, mengingatkan saya pada ingatan beberapa puluh tahun yang lalu, sewaktu saya masih aktif belajar di lingkungan pesantren

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bulan Ramadan memang selalu istimewa, tidak hanya bagi umat muslim di pusat-pusat perkotaan yang walaupun terkungkung dalam nuansa kemodernan, geliat memburu ibadah di bulan ini masih tetap bisa dirasakan. Hampir dipastikan, para pekerja kantoran di setiap ba’da Dzuhur selalu memenuhi masjid-masjid arena perkantoran dalam suasan lebih khidmat, membaca al-Quran, I’tikaf atau terkadang digelar kajian-kajian keagamaan selama mengisi masa kekosongan. Terlebih di lingkungan pesantren tradisional, Ramadan seringkali di meriahkan oleh tradisi Pasaran dimana setiap santri bebas menentukan pilihannya untuk mendalami kajian kitab kuning yang diminatinya. Kajian Pasaran Kitab Kuning di lingkungan pesantren sangat bervariasi, dari mulai kajian Fiqh, Tasawwuf, Akhlaq bahkan yang paling banyak diminati adalah pendidikan seks yang terambil dari berbagai kitab mu’tabarah (yang biasa dikaji oleh ulama-ulama salaf).

Tradisi Pasaran, mengingatkan saya pada ingatan beberapa puluh tahun yang lalu, sewaktu saya masih aktif belajar di lingkungan pesantren tradisional. Entah kapan tradisi ini dimulai, yang jelas hingga saat ini, Tradisi Pasaran masih tetap lestari sebagai bagian dari budaya Ramadan yang ada di setiap pesantren di seluruh Indonesia. Dengan menggunakan istilah “Pasaran”, kajian kitab kuning terasa berbeda dari hari-hari biasanya selain Ramadan, karena setiap santri diberi kebebasan untuk mengaji dan memilih guru siapa saja dengan kecenderungan kajian disiplin keagamaan yang beragam. Tradisi Pasaran, juga tidak terikat untuk santri yang bermukim di dalam pesantren, tetapi siapa saja diperbolehkan selama bulan Ramadan mengikuti tradisi Pasaran yang disediakan pihak pesantren selama satu bulan penuh.

Bervariasinya kajian kitab-kitab kuning yang ditawarkan, membuat suasana tradisi Pasaran tampak meriah, layaknya “pasar” dimana setiap orang berlalu-lalang melakukan “transaksi” kajian dari satu guru ke guru yang lain sesuai dengan kecenderungan disiplin keilmuan yang diminatinya. Umumnya, kajian-kajian yang membahas pendidikan seksualitas, baik menyoal bagaimana menghadapi suasana pra-pernikahan termasuk soal reproduksi yang harus diketahui sejak dini, selalu paling ramai diminati para santri. Kitab mu’tabarah yang dikaji biasanya Uqudullujain atau Qurrotul ‘Uyun yang mengupas secara seksama soal bagaimana membangun rumah tangga Islami secara benar. Untuk kajian-kajian kitab lainnya yang mengupas masalah fiqh, akhlaq dan tasawwuf juga tak kalah peminatnya, bahkan lebih banyak diminati oleh para santri senior bahkan kalangan terpelajar yang memang sengaja memanfaatkan Tradisi Pasaran yang hanya digelar setiap Ramadan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tradisi Pasaran di pesantren tradisional selalu saja dirindukan oleh mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, karena memang suasananya yang unik dan berbeda. Varian kitab-kitab kuning yang ditawarkan jelas lebih banyak dan para pengajarnya adalah para ahli dalam bidang kajiannya masing-masing. Sebut saja, ketika saya pernah belajar kitab fiqh Fathul Mu’in yang dianggap oleh para santri sebagai kitab “horor” karena sulitnya membedah keterkaitan bahasa di dalamnya. Mengkaji kitab ini, mungkin perlu bertahun-tahun lamanya agar benar-benar dapat memahami dan mengerti apa yang dimaksud sang penulisnya terkait soal-soal ibadah sehari-hari. Namun dengan kepiawaian kiai yang mengajarkannya, kitab serumit ini bisa khatam hanya dalam waktu satu bulan melalui bahasa-bahasa penyampaian yang lebih logis, mengalir dan mudah dipahami.

Tradisi inilah barangkali yang kemudian menginspirasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta untuk meliburkan seluruh kegiatan sekolah secara formal dan digantikan oleh kajian keagamaan memperlajari kitab kuning yang biasa dipergunakan di lingkungan pesantren. Tak tanggung-tanggung Pemkab Purwakarta menyediakan 650 guru khusus yang berlatarbelakang pesantren untuk disebar di sekolah-sekolah di seluruh wilayah Kabupaten Purwakarta untuk melakukan bimbingan kajian kitab kuning kepada murid-murid sekolah dasar dan sekolah menengah pertama atau sederajat.

Terlepas dari adanya upaya pencitraan melalui agama, Bupati Purwakarta patut diapresiasi karena memberikan kekhususan bulan Ramadan sebagai bulan kajian agama. Tidak hanya bagi umat muslim saja, Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi juga memberikan keleluasaan kepada siswa non-muslim untuk menekuni kajian keagamaan mereka masing-masing. Para siswa non-muslim juga sama, diliburkan dari kurikulum reguler dan mereka diwajibkan mempelajari dan memperdalam isi kitab suci dari agama masing-masing. Menjadikan Ramadan sebagai “bulan agama” paling tidak akan memberikan dampak penyadaran atas pentingnya memahami agama yang terkadang luput atau tak dianggap penting dalam kurikulum reguler. Agama jelas akan mendorong sisi moralitas yang lebih baik, karena nilai-nilainya yang luhur mampu diserap oleh anak-anak yang telah dimulai sejak dini.

Tradisi Pasaran di pesantren, seakan memberikan sebuah spirit akan kebersamaan dan kebebasan untuk mengeksplorasi kecenderungan setiap orang lebih banyak memperoleh wawasan keagamaan dari sumber-sumber keagamaan yang tentu saja otentik. Kitab kuning yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional tidak hanya sebagai upaya transmisi keilmuan agama yang ditularkan melalui “sanad” (matarantai tradisi keilmuan) yang menjadi tradisi para ulama terdahulu. Kajian yang intensif melalui kitab kuning yang diajarkan secara variatif, selain memberikan wawasan keagamaan yang luas, juga mampu membentuk karakter seseorang untuk lebih “terbuka” dan “kritis” terhadap setiap perbedaan pendapat, tanpa harus mempertentangkannya. Inilah sebabnya, kenapa kemudian para santri yang berhasil mempelajari banyak kitab kuning yang variatif, justru cenderung moderat dan tidak gampang menuduh atau menyalahkan pihak lain.

Merefleksikan kembali Tradisi Pasaran di bulan Ramadan adalah meneladani karya-karya ulama terdahulu yang penuh dengan nilai-nilai humanisme di setiap guratan tintanya pada setiap kitab yang mereka susun. Kita serasa diajak pada nuansa klasik yang penuh harmonisasi pemikiran yang sarat nilai-nilai kebajikan yang mampu mencerdaskan kehidupan setiap anak bangsa. Pemahaman yang rumit dan bahkan bisa saja salah jika merujuk langsung kepada sumber-sumber ajaran Islam, seperti al-Quran dan Hadits justru dimudahkan pemahamannya melalui karya-karya ulama yang ada dalam kitab kuning. Kitab Safinatunnaja, misalnya, adalah karya ulama klasik paling fenomenal dan sangat dasar yang sungguh begitu mudah dipahami bagi setiap muslim yang ingin mempelajari soal-soal ibadah, tanpa harus susah-susah merujuk pada sumber aslinya yang belum tentu kita pahami. Sebagai mantan santri, tentu akan selalu merindukan Tradisi Pasaran yang penuh keakraban dan kehangatan, jauh dari nuansa pertentangan terlebih perbedaan.

Wallahu a’lam bisshawab  

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu