x

Iklan

RIBUT LUPIYANTO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Catatan Mudik & Eksistensi Bahasa Daerah

Bahasa daerah merupakan bahasa ibu para perantau. Mudik menjadi pembuktian darma bakti perantau terhadap pelestarian bahasa daerah.....

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kang, pelan-pelan lah jalannya nggronjal nih....” gerutu mbak-mbak berdandan menor di sebuah angkot pedesaan. Di hari berikutnya, si mbak itu kembali dibuat kesal, kali ini oleh dirinya sendiri. Menggunakan sandal high heels ia tersiksa memilih jalanan becek. Sesekali ujung sandalnya bahkan nyungsep ke lumpur dan mesti menariknya sekuat tenaga. Tatkala jalan menanjak dan berbatu ia kembali tertatih-tatih dan berjalan seperti berjoged ria, lantaran ujung sandalnya menginjak bebatuan tak beraturan.

Nah, keesokah harinya si Mbak masih saja belum berbahagia. Kali ini ia mondar mandir, naik ke bukit di belakang rumahnya dan sesekali bahkan mesti naik pohon jambu di halamannya. Semua dilakukannya sambil menempelkan iPhone seri terbaru di telinganya dan berteriak-teriak. Usut punya usut si Mbak ini sedang pusing tujuh keliling mencari sinyal.

Itulah gambaran tingkah polah seorang pemudik tiga hari pertama di kampungnya. Padahal jatah mudiknya hanya empat hari. Entahlah nasibnya di hari keempat....

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anda boleh percaya itu fiksi, tetapi jangan kaget jika itu nyata di depan mata anda. Siapapun boleh menilai apapun terhadap ketidakbahagiaan si Mbak itu. Mencibir itu logis, empati juga baik, tetapi saya justru pilih membanggakannya.

Mbak itu mungkin salah tempat dalam berkata, berbusana, atau bergaya. Tetapi sekali lagi bagi saya tetap membanggakan. Bagaimana tidak lebih dari lima tahun dia berjuang di ibu kota, namun konsisten dan ingat dengan kosakata “nggronjal”. Demi tetangganya melihat barang langka yang hanya bisa dilihat di TV yaitu high heels, ia rela sandalnya tertancap lumpur dan jatuh bangun berjalan di bebatuan. Ia rela tidak bahagia asal tetangganya bahagia. Bahagia akhirnya bisa melihat high heels di depan matanya, bahkan memegangnya.

Selanjutnya, si Mbak rela lari-lari bak sa’i hinga ke bukit dan naik pohon demi sebuah sinyal. Tahu tidak, dengan sinyal itu ia bisa menelpon agen bus untuk kembalinya dia ke ibu kota. Ia bisa mengontak dengan WA kepada teman-teman sekolahnya dulu terkait rencana acara reuninya. Nah, makanya jangan hanya melihat dari sudut pandang sempit sekitar kurang dari 10 derajad. Karena sudut itu ada 360 derajad.

Oke. Dari kesemuanya saya menilai yang paling membanggakan adalah fragmen di hari pertamanya. Ini subyektif, pembaca boleh memilih yang lain biar lengkap. Kenapa paling membanggakan??

Baik, alasannya akan saya awali dari informasi mencengangkan dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Katanya, sebanyak 139 bahasa daerah terancam punah dan 15 bahasa daerah sudah dinyatakan punah. Di Kalimantan satu bahasa terancam punah, di Maluku 22 bahasa daerah terancam punah dan 11 punah, Papua mencatat 67 bahasa terancam punah dan dua punah. Di Sulawesi 36 terancam punah dan satu punah. Di Sumatera dua terancam punah dan satu punah. Di Flores, Bima, Sumbawa ada 11 terancam punah. 

Bagaimana bisa berbagai bahasa daerah itu terancam punah? Tentu banyak sebabnya dan menurut Kang Dadang (2016) di antaranya adalah menyusutnya jumlah penutur, peperangan, bencana alam, pernikahan  antar suku, lokasi geografis daerahnya, hingga sikap bahasa penutur itu sendiri. Nah, saya jadi membayangkan seandainya Bahasa Jawa punah. Jelas tidak terima dalam hati kecil ini.

Menggunakan Bahasa Jawa, walaupun hanya kosakata atau bahkan logatnya saja mungkin akan membuat malu kita jika tinggal di Kota. Bisa dianggap udik, kampungan, ndeso, dan lain-lain. Tetapi mereka yang tidak malu tetap menggunakannya, tentu sangat membanggakan bukan?!

Kadang banyak yang  menertawakan jika ada yang bicara dengan logat medhok kedaerahan seperti orang Tegal atau Gunungkidul. Perantau Gunungkidul tidak jarang menyebut Jakarta dengan “Njakarta”, Bantul dengan “Mbantul”, dan sejenisnya. Atau seperti Mbak tadi secara sederhana menyebut jalan bergelombang dengan “nggronjal”.

Boleh jadi bukti-bukti itu masih minimalis. Hal yang lebih bagus lagi apabila para perantau masih suka menggunakan bahasa daerahnya ketika berjumpa dengan teman sekampung di kota. Atau bahkan masih bisa berbahasa krama inggil kepada orang yang lebih tua ketika mudik ke kampungnya. Semua ini tentu menjadi hal yang sangat dan paling membanggakan dari perantau terkhusus saat mudik.

Baik. Mulai detik ini semoga para pembaca tidak mencibir dan tertawa ketika menjumpai para pemudik yang tetap berlogat medhok. Justru merekalah para pelestari bahasa daerah, seperti bahasa Jawa. Mereka membanggakan, mereka layak diapresiasi dengan penghargaan. Penghargaan minimal adalah tidak mencibir dan menertawakan. Selamat kembali ke kota-kota dan selamat menempuh ujian konsistensi berlogat medhok. Semoga lulus seiring dengan kelulusan sebagai insan bertakwa setelah berpuasa di Bulan Ramadan.

Ikuti tulisan menarik RIBUT LUPIYANTO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler