x

Penyidik KPK memperlihatkan bukti transfer bank dan buku tabungan disaksikan Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) saat melakukan jumpa pers terkait operasi tangkap tangan (OTT) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di gedung KPK, Jakarta, 22 Agustus 2017.

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pansus Angket: Pertarungan Elit dan Eksistensi KPK

Petinggi negeri mampu mempermainkan mekanisme politik dan hukum demi keselamatan dirinya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pertarungan elit bangsa yang berlangsung satu tahun belakangan ini telah mempertontonkan ironi politik hukum yang begitu memilukan. Kalau dilihat dari subtansi pertarungan dan banyaknya benturan kepentingan, mungkin ini pertarungan tersengit setelah reformasi hampir 20 tahun berjalan.    

Bagaimana mungkin pertarungan antar elit yang ada dapat menjadi miniatur jati diri bangsa yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang bermartabat ? Tidak dapat diragukan lagi, kondisi seperti ini dapat memunculkan percikan konflik baru dalam percaturan politik dinegeri ini.           

Justru aksi yang muncul berikutnya malah kontra produktif bagi penguatan sistem politik dan hukum yang ada, bahwa siapapun manusia yang ada dinegeri ini harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Maka ujungnya akan mudah diketahui bahwa ini semua adalah demi kepentingan diri para elit dan kelompoknya semata, bukan rakyat. Kemudian akan muncul pro dan kontra ditengah masyarakat, mengapa perlu ada pertarungan dan benturan antar elit politik yang sedemikian hebatnya dan diluar kebiasaan yang berlaku di Bumi Pertiwi ini, tidak mendapatkan perhatian yang mendalam dari petinggi negeri khususnya pihak istana.    

Terlebih, beberapa bulan belakangan ini pihak istana dan petinggi POLRI lebih sibuk untuk mengkriminalisasi lawan politik, jawab menjawab di media dan memenangkan pertarungan melawan GNPF (Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa) MUI, sementara eksistensi KPK mulai terabaikan. Secara rasional, mestinya pansus angket KPK lebih menjadi sorotan utama yang harus diprioritaskan daripada program andalan lainnya.        

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak faktor yang melatarbelakangi kurangnya perhatian istana terhadap eksistensi KPK. Satu yang terpenting hampir semua petinggi negeri ini berlatarbelakang partai politik, sehingga sistem yang dibangun setelah reformasi bergulir adalah yang notabene membela kepentingan partai politik.      

Keributan dan keruhnya suasana politik hukum dinegeri ini sebagian besar juga dipengaruhi gesekan antar elit partai politik itu sendiri. Keributan itu sengaja diciptakan agar konsentrasi rakyat terpecah dan semakin tidak fokus dengan berbagai permasalahan bangsa yang ada. Realita ini harus segera dimengerti agar rakyat mampu kembali mengkonsolidasikan diri.  

Menkopolhukam dan pemerintah bersama POLRI (pada masa Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian) merasa kebebasan yang kini ada merupakan batu penghalang sehingga melahirkan PERPPU Ormas menjadi program prioritas dalam menghadapi oposisi atau kelompok masyarakat yang kontra pemerintah. Peraturan ini muncul ditengah sengitnya perang terbuka antara DPR dan KPK di jantung pusat negara. 

Dewan Perwakilan Rakyat merasa tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam wilayah tugasnya selama ini telah melampaui kewenangan yang ada sehingga pantas untuk dikoreksi. Sejumlah Fraksi di DPR kemudian bersepakat membentuk panitia khusus atas berbagai tindakan KPK yang diluar batas itu. Lebih serius lagi, para anggota dewan dari lintas fraksi itu beramai-ramai mendatangi Lapas Sukamiskin untuk mendapatkan masukan dari para koruptor atas pengalaman mereka disidik KPK selama ini, sebagaimana yang dialami Rudi Rubiandini, Akil Mochtar, ataupun OC. Kaligis dan Anas Urbaningrum, ketika hampir semua napi koruptor sepakat bahwa KPK sewenang-wenang.           

Angket, atau penghakiman terhadap lembaga rasuah adalah tindakan anggota dewan melalui fraksi dan panitia khusus yang melakukan perlawanan karena posisi mereka yang terjepit atas tindakan komisi anti korupsi dan menolak atas proses hukum yang ada. Kejahatan luar biasa atau “extra ordinary crime”, seperti korupsi, narkotika, ataupun terorisme, pembunuhan diluar proses hukum, perdagangan orang, kejahatan terhadap anak, pelarangan rapat umum dan berserikat, pemaksaan kehendak kepada rakyat untuk patuh dengan cara-cara kekerasan, dan seterusnya.

Sedangkan tindakan main hakim sendiri atau yang kemudian disebut “Persekusi”, adalah tindakan melawan prosedural hukum dalam menyelesaikan suatu masalah nasional, seperti pembubaran organisasi masyarakat secara serampangan, presidential threshold 20% (UU Pemilu) ataupun tindakan yang bermaksud membuat lawan politik merasa tertekan secara tidak gentle melalui pembelokan terhadap kebenaran yang sedang ditelusuri.

Kalaupun kemudian akan dilakukan penghakiman oleh Pansus Angket dibawah DPR terhadap berbagai tindakan KPK yang mengganggu zona nyaman para politisi yang menjadi wakil rakyat. Merupakan suatu tindakan serius bagi pembuktian telah terjadinya berbagai penyimpangan kewenangan yang dilakukan oleh KPK. Alhasil situasi ini menyiratkan adanya kebutuhan untuk menghindarkan diri dari jerat hukum maka para politisi senayan itu berupaya berlindung dengan membentuk Panitia Khusus Hak Angket terhadap KPK.         

Disinilah kemudian Hak Angket dijadikan alat tawar para politisi disenayan. Meskipun dalam prakteknya muncul fraksi yang tidak dapat dikendalikan dan merasa telah dijadikan alat kompromi politik, atau hanya dijadikan alasan pembenar untuk menghindarkan diri dari proses hukum yang kini sedang berlangsung di KPK, dilengkapi juga dengan berbagai alasan seperti praduga tak bersalah, belum memiliki kekuatan hukum tetap bahkan belum cukup bukti pun mulai dimasukkan sebagai alasan tambahan.       

Hal yang penting digarisbawahi dari peristiwa itu adalah para petinggi negeri mampu mempermainkan mekanisme politik dan hukum demi keselamatan dirinya dan kerja sistem tidak menjadi prioritas bahkan dimanipulasi. Mungkin peristiwa ini dapat dilihat dari fenomena penyerangan ahli IT dan penyidik KPK di Jakarta dan Bagaimana tindakan itu masih akan terus berlangsung.

Manuver Elit, Kejahatan dan Komitmen Politik

Praktek bermanuver dalam politik adalah suatu realitas yang tidak dapat dihindarkan. Peristiwa dimasa lalu masih sangat jelas diingat bagaimana asas tunggal, kasus 27 Juli 1996, runtuhnya orde baru dan terpilihnya Gus Dur, kasus Antasari dan seterusnya.

Penyimpangan Politik seperti itu memang sejauh ini masih luput dari proses pertanggungjawaban. Seolah sudah menjadi tradisi, politik nasional masih dominan dikuasai persoalan naik dan turunnya kekuasaan. Para elit politik belum mampu hadir ditengah masyarakat untuk menyelesaikan masalah bangsa.

Bahkan pertarungan antar elit politik akan berujung pada pertarungan di tingkat akar rumput. Contoh paling nyata para elit politik telah menjadikan energi rakyat untuk memperoleh dukungan bagi upaya konsolidasi politik menjelang pemilu yang akan datang. Kecenderungan itu jelas merupakan bagian dari upaya mempertontonkan secara vulgar kesombongan kekuasaan sekaligus ketidakberdayaan rakyat. Jelas kemudian mengapa praktek bermanuver dalam politik itu dibiarkan begitu saja dan luput dari pertanggungjawaban.

Maksud dan tujuan mempersoalkan penyimpangan politik itu adalah justru untuk meluruskan kembali arah gerak para politisi sebagai kepanjangan tangan dari rakyat kebanyakan. Benar atau tidaknya orientasi berpolitik suatu partai itu terlihat dari kader-kadernya sebagai barometer apakah negeri ini telah tumbuh dewasa dalam berdemokrasi atau kemunduran itu semakin nampak dengan cara – cara tidak beradab dalam membungkam lawan-lawan politik, esensi rakyat sebagai yang utama, tidak lagi dipandang sebagai manusia melainkan sekedar komoditas dan angka-angka sehingga sejarah akan kembali terulang dan bangsa ini akan jatuh dilubang yang sama menuju kehancuran. Karena elit tidak lagi bertarung pada bingkai kemanusiaan melainkan berada disisi kekuasaan yang lalim dan menghalalkan segala cara.

Sudah menjadi pengetahuan bersama, politisi partai politik, utamanya setelah reformasi, begitu kecil sumbangsihnya untuk membangun masyarakat yang berkeadaban. Betapa kepercayaan yang begitu besar yang diberikan masyarakat malah dibayar dengan berbagai manuver politik kacangan yang justru semakin menjauhkan diri mereka dari masyarakat pemilih yang notabene sudah cerdas dan tidak mudah lagi untuk dibohongi.

Banyak hal yang menjadikan kinerja para wakil rakyat pantas untuk diberikan raport merah. Berbagai perilaku yang melanggar kode etik seperti seperti minimnya angka kehadiran diberbagai sidang paripurna, pembuatan undang-undang yang tidak pernah memenuhi target, tidak mundur walau sudah berstatus sebagai tersangka, kasus e-ktp, Pansus Hak Angket KPK, Plesiran yang dibungkus studi banding, dan seterusnya. Dan kemudian dipertunjukkan kepada khalayak tanpa rasa malu, membodohi dan membangun citra seolah tidak akan pernah dikritisi dan dimintai pertanggungjawabannya. Lebih serius lagi, ketika mantan anggota dewan yang telah berstatus narapidana tanpa rasa bersalah kembali memangku jabatan publik dan berusaha melepas stigma negatif yang telah melekat dialam bawah sadar masyarakat, lalu merasa nyaman dan melenggang dengan tenang.

Maraknya perilaku main hakim sendiri ditengah masyarakat tak luput dari apa yang dilihat dan dipraktekkan para elit politik. Praktek kekeliruan seperti itu akan menjadi lingkaran setan yang tidak akan pernah berkesudahan seperti banyaknya praktek politik yang memilukan yang terjadi belakangan ini, justru semestinya para elit politik yang sedang bertarung berkaca diri dan segera berbenah. Harga diri Bangsa ini sedang dipertaruhkan bukankah perilaku elit politik merupakan cerminan dan gambaran yang akan ditiru oleh rakyat pemilihnya. Oleh karenanya, sudah semestinya Pansus Hak Angket KPK yang disokong oleh koalisi partai politik pemerintah tidak meninggalkan prioritas utamanya membuat regulasi yang mampu menyelamatkan kehidupan rakyat dari jerat kemiskinan dan pembodohan yang kini sedang berlangsung.               

Oleh: Anthomi Kusairi, SH., MH.

Pendiri Roda Indonesia Institute, Panitera Pengganti Pada Pengadilan Negeri Bekasi

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu