x

Iklan

Rahmat Maulana Sidik

Writer, Blogger, Reseacher, Leader, Human Right Defender
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Otoritarianism Lahir Dalam Norma UU Perjanjian Internasional

Keterlibatan publik harus hadir dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional. Agar pemberlakuannya tidak merugikan rakyat luas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lahirnya regulasi dalam negara yang menganut sistem demokrasi, seharusnya dapat melibatkan publik pada setiap proses pembuatan sampai pengesahannya. Terlebih regulasi tersebut mengatur tentang urusan-urusan kepentingan hidup orang banyak. Semisal, Ekonomi, Pendidikan, Perdagangan, Kebudayaan, Pelayaran Niaga dan lain sebagainya.

Mengapa keterlibatan publik menjadi penting. Karena, agar penguasa dapat mengetahui dan mendengar apa yang dikehendaki oleh rakyat. Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan dapat meminimalisir adanya dampak kerugian bagi masyarakat luas.

Dalam hal ini, ungkapan Prof. Satjipto Rahardjo dirasa perlu disampaikan yang mengatakan bahwa “Hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum”. Adagium itu, sangat tepat ketika dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekaligus, mengisyaratkan bahwa dalam pembuatan hukum harus melibatkan manusia didalamnya.

Karena, hukum itu lahir dan berlaku untuk manusia itu juga. Hal ini, seharusnya ditemukan dalam norma Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Norma dalam beberapa pasal dalam Undang-undang tersebut, masih terdapat tembok yang memisahkan antara pengambil kebijakan dengan aspirasi rakyat. Seperti disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-undang Perjanjian Internasional.  

Norma Inkonstitusional

Sebagai contoh norma yang inkonstitusional dalam Pasal 2 Undang-undang Perjanjian Internasional, yang berbunyi :

“Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik”.

Yang perlu digarisbawahi pada Pasal 2 Undang-undang Perjanjian Internasional diatas adalah dalam hal “Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional” Menteri (Pemerintah) berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Bila demikian, maka Dewan Perwakilan Rakyat hanya dijadikan sebagai lembaga konsultasi bukan lembaga pengawasan dan legislasi sebagaimana lebih rinci fungsinya secara tegas disebutkan dalam Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945.

Dalam konteks ini Pasal 2 Undang-undang Perjanjian Internasional bukan saja melucuti fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (sebagai representasi rakyat) melainkan juga menghilangkan roh kedaulatan rakyat yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Sehingga partisipasi dan hak konstitusional rakyat dihalangi karena lahirnya Pasal 2 Undang-undang Perjanjian Internasional.

Tembok otoritarianisme telah dibangun oleh pemerintah melalui norma Perjanjian Internasional untuk membentengi aspirasi rakyat dalam proses pembuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional.

Karena nya, keputusan pemerintah dalam mengesahkan sebuah Perjanjian Internasional yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, justru tidak melibatkan rakyat dalam setiap tahapan proses pembuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional tersebut.

Hal ini sangat bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Konstitusi Indonesia telah memberikan rule yang seharusnya dilakukan dalam pembuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional yakni melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sehingga, bila Undang-undang Perjanjian Internasional menyebutkan dalam proses membuat dan mengesahkan Perjanjian Internasional Pemerintah menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat hanya sebagai rekan berkonsultasi.

Maka, inkonstitusional itu lahir di dalam Undang-undang Perjanjian Internasional. Tidak hanya itu, bahwa proses yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masukan dari pelaku usaha nasional, kalangan NGO (Non-Goverment Organization) dan elemen-elemen rakyat dalam negeri lainnya.

Berakibat setelah Perjanjian Internasional itu diberlakukan atau pasal-pasal dalam perjanjian masuk kedalam hukum nasional, banyak pihak yang merasa kaget dan dirugikan juga menolak adanya aturan-aturan tersebut.

Sebagai contoh, Indonesia menandatangani perjanjian ASEAN China FTA pada 2004 dan meratifikasinya melalui Keppres No. 40 Tahun 2004. Konsekuensi nya adalah adanya penurunan tarif impor hingga 0% terhadap produk dari China. Secara langsung, aturan  Menteri Keuangan mengenai bea masuk tarif impor 0% dari China harus disesuaikan setelah terikat dengan perjanjian ini. Dampaknya, kalau proteksi terhadap produk lokal masih rendah dan daya saing domestik tidak dibenahi, maka pasar Indonesia akan dibanjiri produk-produk dari China. 

Kekuasaan absolute bagi pemerintah untuk meratifikasi perjanjian internasional, sangat berbahaya disebabkan tanpa adanya pengawasan dan penerimaan masukan dari masyarakat. 

Jalan Keluar

Harus dilakukan perubahan dan atau diajukan Judicial Review terhadap Pasal-pasal dalam Undang-undang Perjanjian Internasional yang tidak mengadopsi aspirasi rakyat dan atau keterlibatan publik didalam proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional.

Pemerintah Indonesia harus segera membatalkan segala bentuk perjanjian Internasional yang merugikan rakyat. Dan yang tidak kalah penting adalah tetap adanya daya nalar kritis dari semua elemen masyarakat sebagai fungsi kontrol terhadap setiap perjanjian internasional.



[1] Bound tariff adalah tarif MFN (Most Favoured Nation) yang disepakati dalam negosiasi General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan diintegrasikan sebagai bagian integral dari jadwal konsesi atau komitmen negara kepada anggota WTO lainnya. Suatu negara tidak diperkenankan untuk menaikkan tarif perdagangan diatas level yang sudah disepakati sebelumnya.

[2] Ahmad Suryono, Dini Adiba Septanti, Salamuddin Daeng, Kolonialisasi Konstitusi Indonesia (Jakarta : Indonesia for Global Justice,  2011), Hal. 37.

Ikuti tulisan menarik Rahmat Maulana Sidik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu