x

Suryan Widati, istri Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Harris Iskandar, Direktur Jenderal PAUD dan Dikmas, Ella Yulaelawati, Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, menerima penghargaan sebagai penyelenggara kegiatan pembacaa

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jas Merit, Kids Zaman Now

Di tengah ikhtiar memelihara bahasa ibu, masyarakat butuh hiburan, lahirlah: kids zaman now.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Berbahasa yang baik patut dipelihara, oleh sebab itu kita menaruh hormat kepada sosok-sosok penjaga bahasa yang tidak kenal lelah mengingatkan kita ihwal berbahasa yang baik. Di dalamnya ada almarhum Pak Yus Badudu, juga penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia Bung Eko Endarmoko, serta figur-figur lain seperti para redaktur dan editor buku. Mereka telah beriktiar begitu keras untuk memelihara bahasa kita agar tidak tercabik-cabik oleh perubahan zaman yang serba cepat.

Teknologi, terutama, telah memasukkan banyak kosakata baru ke dalam pergaulan umat manusia. Jangkauannya bukan hanya di antara mereka yang sehari-hari berbahasa Inggris di belahan Eropa dan Amerika, tapi juga yang bahasa Jawanya medok di pedalaman Nganjuk. Kata-kata seperti internet, website, social media, twitter, facebook, sampai meme sudah menjadi bahasa global yang dipahami bersama tanpa perbedaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah ikhtiar menjaga bahasa dalam menghadapi gempuran ‘kosakata teknologi’, ternyata masyarakat kita tetap butuh bahasa yang menghibur. “Zaman now, begitu loh.” Dari sudut kaidah apapun, memang susah membenarkan frasa zaman now, tapi kata-kata sejenis ini diserap begitu cepat oleh masyarakat.

Masyarakat kita begitu adaptif terhadap bahasa yang menghibur, yang menandakan betapa bahasa itu dinamis, begitu pula masyarakat kita lentur. Dalam percakapan sehari-hari, banyak kaidah bahasa yang diterjang meskipun bukan dengan niat disengaja, melainkan sekedar mencari hiburan di tengah kepenatan hidup.

Kita akhirnya memang mesti mengakui kenyataan bahwa di samping bahasa baku yang diajarkan bertahun-tahun di bangku-bangku sekolah dan kuliah terdapat bahasa sehari-hari yang cenderung lebih hidup. Bahasa ini lebih dinamis oleh karena sebagai bahasa komunikasi lebih sering digunakan ketimbang bahasa baku.

Fenomena seperti itu sesungguhnya bukan khas zaman now, sebab tiap-tiap generasi punya bahasa gaul yang berbeda-beda. Misalnya, nyokap dan bokap yang populer sebelum pergantian milenium, tapi anak sekarang mungkin samar-samar pernah mendengarnya. Generasi berikutnya melahirkan alay, lebay, sampai garing.

Bahasa seperti itu tidak ada yang abadi (walau tetap dikenang), setiap generasi punya cara masing-masing menemukan bahasa ungkapnya sendiri. Ungkapan baru lahir begitu saja, lalu menyebar dan diamplifikasi lewat jejaring komunikasi. Media sosial sangat membantu percepatan penyebaran ungkapan seperti kekinian dan zaman now.

Tentu saja, semua itu tidak perlu terlampau dicemaskan, sebab akhirnya akan berganti seiring aliran waktu. Bahasa baku niscaya akan tetap terpelihara dan tidak tergerus oleh fenomena ini. Anggaplah semua ini hiburan agar hidup tidak monoton.

Karena itu, kita tak perlu heran bila ada yang menggelar pernikahan dan memajang spanduk berukuran besar agar terlihat dari jauh. Tulisannya: ‘Jas Merit X dan Y, kids zaman now!’. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler