x

Iklan

Anwar Abbas

Statistisi di BPS Kota Palu, Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Tadullako.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Masyarakat Semakin Anti Korupsi, Bagaimana Pejabatnya?

Masyarakat yang semakin anti korupsi, seharusnya melahirkan pejabat-pejabat yang juga anit koupsi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada kabar yang cukup menggembirakan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Tepatnya pada tanggal 15 Juni 2017 yang lalu, BPS merilis Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Tahun 2017. Indeks ini bersumber dari Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) yang dilaksanakan pada bulan Februari 2017 di 33 Provinsi dengan jumlah sampel 10.000 rumah tangga.

Kabar gembiranya adalah naiknya Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia, dari 3,59 di tahun 2015 menjadi  3,71 di tahun 2017. Angka ini adalah yang tertinggi sejak pelaksanaan SPAK di tahun 2012. Skala IPAK adalah 0 sampai 5, artinya jika nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat semakin anti terhadap korupsi. Sebaliknya, nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.

IPAK sendiri disusun berdasarkan dua dimensi utama yakni dimensi persepsi yang berupa pendapat/penilaian terhadap kebiasaan perilaku koruptif di masyarakat, dan dimensi pengalaman yang berupa pengalaman perilaku koruptif. Indeks kedua dimensi tersebut juga mengalami kenaikan. Indeks Persepsi naik dari 3,73 di tahun 2015 menjadi 3,81 di tahun 2017, sedangkan Indeks Pengalaman naik 3,39 di tahun 2015 menjadi 3,60 di tahun 2017.

Perlu diketahui, Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) yang dilaksanakan setiap tahun sejak 2012 selain tahun 2016, hanya mengukur perilaku masyarakat yang termasuk tindakan korupsi skala kecil (petty corruption). Dengan kata lain, SPAK tidak mengukur korupsi skala besar (grand corruption). Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (nepotism).

Singkatnya, SPAK bertujuan untuk melihat tingkat permisifitas (penerimaan) masyarakat terhadap perilaku korupsi dengan menggunakan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). Jadi, pertanyaan besarnya adalah, jika masyarakatnya semakin anti korupsi, bagaimana dengan pejabat atau pemerintahannya?

Mahkamah Agung (MA) mencatat terjadi peningkatan signifikan jumlah perkara korupsi, dari 13.977 perkara di tahun 2015 menjadi 14.564 perkara di tahun 2016. Bertambah hampir seribu perkara.

Hal yang sama juga terjadi pada jumlah korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tahun 2015, KPK menangani 62 kasus korupsi dan bertambah menjadi 99 kasus pada 2016. Pada tahun ini, hingga bulan Juni KPK telah menangani 54 kasus korupsi.

Akhir-akhir ini kita juga semakin sering mendengar berita tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK. Tindakan OTT ini tidak hanya menimpa pejabat-pejabat yang ada di Jakarta, tetapi juga menimpa pejabat-pejabat yang ada di daerah-daerah. Bahkan terjadi disemua jenis kelembagaan, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.

Sedikit aneh, ketika data IPAK yang menunjukkan bahwa masyarakat semakin anti terhadap perilaku korupsi, disandingkan dengan jumlah kasus-kasus korupsi yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Bukankah para pejabat-pejabat itu, sebagiannya adalah pilihan masyarakat?

Untuk itu, kecerdasan masyarakat dalam memilih wakil atau pejabat yang akan menempati kursi legislatif maupun eksekutif sangat diperlukan. Masyarakat diharapkan semakin peka terhadap pilihannya. Sebelum memilih, perlu untuk mempelajari dan memahami dengan baik rekam jejak orang-orang yang menjadi calon.

Selain itu, partai politik juga diharapkan memberikan pilihan yang berkualitas pada masyarakat. Faktanya, sejak tahun 2004 hingga Juni 2017 ada sekitar 134 anggota dewan baik itu DPR maupun DPRD, 18 gubernur, dan 60 walikota/bupati atau wakilnya, yang harus berurusan dengan KPK karena tersandung masalah korupsi.

Jika masyarakatnya cerdas, sadar, dan peduli pada pilihan politiknya, maka seharusnya masyarakat yang semakin anti korupsi melahirkan pejabat atau penyelanggara negara yang juga anti korupsi. Oleh karena itu, dipandang perlu adanya pendidikan politik yang disandingkan dengan pendidikan anti korupsi kepada masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Anwar Abbas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu