x

Iklan

Dondy Sentya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyoal Perayaan Natal di Indonesia dan Amerika Serikat

Perjalanan hukum di AS dalam dinamika penegakan relasi agama dan negara (sekularisme) terkait sikap dan kebijakan lembaga-lembaga pemerintah mengenai perayaan Natal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagaimana Indonesia yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara demokrasi berbentuk Republik yang mengusung keberagaman namun tetap relijius, Amerika Serikat bisa dikatakan merupakan satu-satunya negara maju dan kaya yang masih tetap dianggap relijius. Namun demikian, bagaimana kedua negara demokrasi terbesar di dunia ini menempatkan agama dalam relasi terhadap negara tentu tidak sama. Panjangnya sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat sejak kemerdekaan 1776 tidak dapat disamakan begitu saja dengan Republik Indonesia yang baru mendekati usia ke-100 tahunnya.

Menurut Pew Research Center, mayoritas orang AS dewasa menyatakan diri Kristen sementara seperempatnya menyatakan tidak terafiliasi dengan agama tertentu. Tercatat 9 dari 10 orang AS atau 95% Kristen Amerika merayakan Natal meskipun mereka yang merayakan Natal karena motivasi agama menurun menjadi 46% dari 51% pada tahun 2013. Sebagaimana pemetaan di Indonesia, para milenial cenderung merayakan Natal sebagai sesuatu yang bukan relijius dibandingkan orang dewasa lainnya.

Relasi Agama dan Negara

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan latar belakang kecenderungan relijiusitas yang mewarnai kehidupan kebangsaan namun berbeda gradasi dan pengalaman ketatanegaraan, baik di Indonesia maupun di AS, Natal tiap tahun juga ditandai dengan debat-debat seputar perayaannya. Perbedaannya, jika di Indonesia kehebohan dari tahun ke tahun adalah menggunjingkan haram dan halal mengucapkan selamat Natal, dan kehadiran media sosial makin menyemarakkan kontroversi di lini masa, di AS pertarungannya menjadi lebih nyata dan terukur karena menggunakan panggung resmi lembaga peradilan Federal. Jika di Indonesia konotasi kontroversi halal haram mengucapkan selamat Natal berputar pada kegamangan (sebagian) pengikut agama mayoritas untuk menjaga kadar keimanan, di AS kegamangan pada pengikut agama mayoritas yang merayakan justru pada apakah mereka akan melanggar Konstitusi/hukum atau tidak dalam merayakannya.

Berbeda dengan Indonesia, Konsitusi AS mengatur batasan relasi antara agama dan negara atau prinsip sekularisme. Amandemen Pertama Konsitusinya mengatur bahwa DPR selaku pembentuk Undang-Undang (UU) tidak akan membuat UU, baik untuk mendukung penyelenggaraan agama (yang dikenal sebagai "Establishment Clause") atau melarang kebebasan beragama (yang dikenal sebagai "Free Exercise Clause"). Prinsip pemisahan urusan keagamaan dan peran negara ini (sekularisme) sepertinya diatur dengan jelas, namun dalam penyelenggaraan fungsi kenegaraan kerap kali timbul kontroversi, umumnya terkait tindakan negara-negara bagian. Sejumlah perkara pengujian hukum pun masuk ke lembaga peradilan Federal AS. Pada tahun 1971 melalui perkara Lemon v. Kurtzman, Mahkamah Agung Federal AS memutuskan bahwa keterlibatan pemerintah dalam urusan keagamaan hanya dapat dilakukan melalui apa yang kemudian dikenal sebagai tes "Lemon", yaitu, pemerintah hanya dapat membantu penyelenggaraan keagamaan jika; (1) tujuan utama bantuan tersebut bersifat sekular (duniawi bukan relijius), (2) bantuan tersebut tidak boleh mempromosikan atau membatasi satu agama terhadap agama lainnya, dan (3) tidak boleh ada keterlibatan yang berlebihan ("excessive entanglement") antara gereja dan negara.

Gugatan uji materiil oleh Alton Toussaint Lemon dkk. ini mempermasalahkan Undang-Undang Pendidikan Dasar dan Menengah Swasta di Negara Bagian Pennsylvania yang memberikan kewenangan kepada pejabat pengawas Sekolah-Sekolah Negeri untuk memberikan penggantian biaya gaji para guru di sekolah-sekolah swasta yang mayoritas merupakan sekolah Katolik. Mahkamah Agung Federal AS melalui keputusan 8-1 memenangkan Lemon sekaligus menguatkan putusan pada pengadilan tingkat pertama. Lemon, seorang kulit hitam, dikenal sebagai aktivis hak-hak sipil dan pekerja sosial  yang kemudian dianugerahi penghargaan Pahlawan Amandemen Pertama.

Dari "Merry Christmas" ke "Happy Holidays"

Ucapan Merry Chirstmas merupakan ucapan kebahagiaan perayaan Natal yang umum di seluruh dunia. Namun demikian, di pertengahan dekade 90'an, ucapan "Happy Holidays" di AS mendapatkan popularitasnya dan dalam sejumlah kesempatan mulai menjadi alternatif yang dianggap "politically correct" atau lebih inklusif. Transformasi ini tidak semata karena perubahan kecenderungan relijiusitas, tetapi juga karena dinamika hukum akibat rentetan putusan lembaga peradilan AS karena aktivisme hukum masyarakatnya. Setidaknya ada 4 gugatan melalui lembaga peradilan Federal di mana dalam 2 kasus berakhir hingga pada Mahkamah Agung Federal AS yang sangat selektif dalam memilih perkara untuk diputuskan.

Creche (Nativity Scene)Pada tahun 1969, ACLU (American Civil Liberties Union) semacam koalisi masyarakat pembela kebebasan sipil, mewakili para pemuka agama, ateis dan pimpinan American Ethical society (Komunitas Etis Amerika), berupaya untuk menghentikan pemasangan dekorasi spesifik Natal dengan detil prosesi kelahiran Kristus lengkap dengan ranjang bayi Yesus (dikenal sebagai "crèche", "nativity scene", atau "manger scene") di Washington, D.C. ACLU menggungat karena menganggap pemerintah setempat ikut mensponsori pemasangan dekorasi tersebut sehingga melanggar prinsip sekularisme. Sementara pihak penyelenggara berargumen bahwa dekorasi tersebut merupakan bagian dari warisan spiritual Amerika. Pengadilan Banding Federal AS pada tahun 1969 memutuskan sementara bahwa pemasangan dekorasi tersebut diizinkan pada tahun tersebut. Namun demikian, gugatan tersebut dimenangkan pada tahun 1973 di mana Pengadilan menyatakan keterlibatan instansi pemerintah  Federal mengizinkan pemasangan dekorasi tersebut dalam wilayah taman publik dianggap sebagai dukungan pemerintah terhadap satu agama dan pemerintah harus menghindari keterlibatan terlalu jauh dalam relasi agama dan negara. Sejak putusan ini, dekorasi Natal berbentuk "crèche" dalam kawasan yang dikelola oleh pemerintah Federal pun menghilang.

Namun demikian, kontroversi pemasangan dekorasi perayaan Natal ini baru berkesempatan masuk ke Mahkamah Agung Federal AS pada tahun 1984 dalam perkara Lynch vs. Donnelly. Mahkamah harus memutuskan apakah tindakan taman swasta untuk memasang "crèche" yang disertai patung Sinterklas dan rusanya serta pohon Natal dengan menggunakan dana publik merupakan pelanggaran terhadap prinsip sekularisme dalam Amandemen Pertama Konstitusi AS. Ternyata, kontroversi dekorasi Natal ini pun memiliki dinamika tersendiri di dalam Mahkamah Agung AS. Mahkamah terbelah melalui putusan 5-4 dengan kemenangan untuk menigizinkan pemasangan dekorasi Natal berbentuk  "crèche" asalkan disertai simbol-simbol lain yang bersifat sekular semacam rusa. Putusan ini kemudian dikenal sebagai “Reindeer Rule” dalam menentukan apakah pemasangan dekorasi spesifik seperti "crèche" yang menghadirkan figur Yesus tersebut pada kawasan publik atau yang menggunakan dana public tersebut bersifat mempromosikan satu agama tertentu atau tidak.

Setahun kemudian, Mahkamah Agung Federal AS kembali berkesempatan untuk menentukan status dekorasi Natal dalam perkara antara ACLU vs. Scarsdale (Negara Bagian New York) tahun 1985. Perkara ini masih terkait pemasangan dekorasi detil prosesi kelahiran Yesus ("crèche"). Mahkamah Agung Federal memutuskan bahwa dekorasi semacam "crèche" pada kawasan publik merupakan pelanggaran terhadap prinsip sekularisme, kecuali dekorasi tersebut tidak berdiri sendiri dan dipasangkan dengan simbol-simbol non-relijius seperti rusa ("Reindeer Rule"). Kalau dalam konteks Indonesia, logika putusan ini dapat disebut aturan Ketupat. Ketupat merupakan representasi budaya kontemporer Indonesia yang tidak identik dengan manifestasi langsung agama.

Putusan Mahkamah Agung Federal tahun 1985 ini dikuatkan lebih lanjut pada tahun 1989 melalui putusan terhadap perkara County of Allegheny vs. ACLU. Kali ini ACLU menggugat pemerintah Kota Allegheny, Pittsburgh, terkait pemasangan dekorasi perayaan agama pada dua lokasi terpisah. Terhadap pemasangan dekorasi Natal berbentuk "crèche" di Allegheny County Courthose, Mahkamah Agung Federal secara mayoritas menyatakan sebagai pelanggaran prinsip sekularisme. Adapun terhadap pemasangan dekorasi Menorah (simbol perayaan Hanukkah, Yahudi), Mahkamah Agung Federal dalam komposisi mayoritas yang berbeda menyatakan tidak melanggar prinsip sekularisme mengingat tata letak pemasangan dekorasi tersbut tidak mengesankan promosi satu agama. Dekorasi Menorah tersebut bersandingan dengan pohon Natal dan simbol lainnya. Mahkamah Agung Federal berpendapat bahwa simbol perayaan Natal dan Hanukkah merupakan bagian dari liburan musim dingin yang dianggap telah menjadi perayaan sekuler masyarakat AS.

Pada tahun 2006, Alliance Defense Fund, organisasi Kristen konservatif, mengajukan gugatan hukum terhadap Negara Bagian Washington karena mengizinkan pemasangan pohon Natal dan Menorah Hanukkah Yahudi, tetapi tidak "crèche". Sebelum perkara hukum berlanjut, Pemerintah Negara Bagian Washington akhirnya menyetujui pemasangan "crèche" di Rotunda Capitol pemerintah sepanjang simbol-simbol perayaan libur musim dingin juga disertakan. Sehubungan dengan kompromi ini, kelompok masyarakat Ateis pun juga tidak ingin ketinggalan untuk merayakan sikap mereka dengan memasang spanduk mereka: "Reason's Greetings" sebagai tandingan "Season's Greetings" pada lokasi yang berdekatan di Gedung Pemerintah.

Dan, tentu, kontroversi dekorasi Natal ini tidak berakhir begitu saja. Kali ini tetapi dengan konteks yang berkebalikan, pada Oktober 2017, Hakim Pengadilan Federal Sam Sparks menyatakan bahwa Gubernur Texas telah melanggar Amandemen Pertama Konstitusi dengan memerintahkan pemindahan dekorasi "crèche" yang bersifat satir dari Gedung Pemerintah Negara Bagian Texas. Berbeda dengan dekorasi Natal "crèche" yang berisikan bayi Yesus, Bunda Maria dll., dekorasi satir "crèche" oleh kelompok Ateis di bawah naungan organisasi Freedom From Religion Foundation ini berisikan tiga Bapak Pendiri Negara AS sedang melihat ke Piagam HAM ("Bill of Rights"). Dekorasi "crèche" satir ini telah disetujui oleh Dewan Kota setempat dan diletakkan berdekatan dengan dekorasi perayaan libur Natal lainnya. Dalam perkara Freedom From Religion Foundation vs. Abbott ini, Hakim Sparks memutuskan tidak hanya berdasarkan prinsip sekularisme dalam "Establishment Clause", tetapi juga "Free Speech Clause", dan menganggap tindakan Gubernur bersifat diskriminatif.

Demikian, riuh rendah kontroversi seputar perayaan Natal di AS yang ditandai dengan tarik ulur dan adu argumen hukum di hadapan lembaga yudisial yang sejauh ini dianggap mampu menjaga independensinya sebagai pemutus sengketa masyarakat dan pemerintah. Survei Pew Research Center pada tahun 2015 menunjukkan bahwa jumlah populasi AS yang menolak pemasangan dekorasi keagamaan di lahan pemerintah berdasarkan pertimbangan apapun meningkat menjadi 26% dibandingkan dengan 20% pada 3 tahun lalu. Satu hal yang menarik untuk pembelajaran di Indonesia adalah bagaimana semua elemen masyarakat apakah mayoritas atau minoritas dapat menyampaikan sikapnya secara aman, nyaman dan terbuka serta keleluasaan lembaga peradilan yang mulia untuk memutuskan tanpa paksaan dan tekanan sebagai cerminan nomokrasi (negara berdasarkan hukum) bukan mobokrasi (negara  berdasarkan tekanan massa).

Creche (Nativity Scene)

Survei global oleh Gallup Poll pada tahun 2009 yang menanyakan apakah agama berperan penting dalam hidup keseharian, menunjukkan bawa 65% populasi di AS menganggap agama berperan penting dalam hidup mereka, terlepas dari seketat apa mereka menjalankan agamanya. Situasi relijiusitas di AS merupakan pengecualian dari negara-negara maju berpendapatan tinggi yang relijiusitasnya cenderung menurun. Tidak lebih dari 34% populasi di negara-negara maju dengan pendapatan per kapita di atas US$25.000 yang menganggap agama berperan penting dalam hidup mereka. Meski dianggap masuk dalam kategori negara relijius, relijiusitas Indonesia melampaui AS. Bersama negara-negara miskin dengan PDB per kapita di bawah US$5.000 dan pendapatan per kapita di kisaran US$2.000 atau lebih rendah, 99% populasi Indonesia menganggap penting agama dalam hidup mereka.

Selamat merayakan Natal, dan libur panjang akhir tahun!

Ikuti tulisan menarik Dondy Sentya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu