Banyak kepala lebih bagus ketimbang satu kepala. Memang tidak selalu begitu, tapi umumnya memang demikian. Sebuah gagasan mungkin lahir dari satu orang, tapi eksplorasi dan pengembangannya hingga siap dieksekusi umumnya dimatangkan oleh diskusi, tukar pikiran, bahkan perdebatan dari banyak orang. Kolaborasi antar rekan kerja memang cenderung positif bilang berlangsung dalam suasana menyenangkan dan saling menghargai.
Kolaborasi akan produktif apabila sekat-sekat departemental tidak kaku. Pembagian tugas bisa saja diatur, tapi ide-ide dibuat bebas mengalir tanpa sekat. Orang pemasaran boleh memberi masukan ke bagian produksi bahkan sebelum produk selesai dibuat. Begitu pula, perancang produk bersikap terbuka terhadap masukan dari bagian manapun, sebab ia percaya ‘banyak kepala lebih bagus ketimbang satu kepal’.
Dari mana kita dapat melenturkan sekat-sekat antar bagian itu agar lalu lintas gagasan tidak tersendat-sendat? Para inovator bisnis kian menyadari bahwa tempat kerja merupakan unsur yang sangat berperan bagi lahirnya ide-ide cemerlang. Tempat kerja seperti zaman dulu tak lagi bisa dipertahankan, sebab akan membosankan karyawan, apa lagi jika mayoritas karyawan lahir di era internet dan besar di era media sosial.
Ruang kerja adalah tempat karyawan dan para manajer mengembangbiakkan gagasan. Bila ruang kerja tersekat-sekat atau tersusun kotak-kotak atau kubis,alangkah membosankan. Desain ruang kerja seperti ini lebih cocok bagi kerja individual ketimbang kolaborasi. Bagaimana gagasan bagus bisa lahir dari ruang seperti ini?
Untuk menampung para pekerja generasi medsos, diperlukan ruang kerja yang tidak serius: meja dan kursi yang tidak seragam, tersedia sofa (bukan buat tidur tapi juga untuk bekerja), ada meja pingpong tempat karyawan mengendorkan saraf, dan ruang jeda (break) tempat karyawan menyeduh kopi dan menyantap kudapan sembari ngobrol dengan karyawan laun.Ruang kerja yang menawarkan ‘pengalaman bekerja’ yang unik berpotensi memantik lahirnya ide-ide kreatif karyawan.
Ruang kerja dapat diibaratkan sebagai kanvas, tempat para karyawan menuangkan gagasannya tentang bentuk, warna, goresan, penataan, dan sebagainya. Ruang kerja yang non-kubis dan ditata fleksibel dengan keragaman perangkat meja dan kursi (ada sofa, misalnya) membuat karyawan leluasa berpindah-pindah apabila bosan atau ‘gagasannya mampet’ dan memerlukan stimulan baru.
Ruang yang fleksibel juga memungkinkan orang-orang dari bagian atau departemen lain bergabung tanpa rasa canggung untuk mengobrol. Dari diskusi informal semacam seringkali visi mengenai sesuatu (produk, ide pemasaran, atau yang lain) lebih mudah disamakan. Rintangan-rintangan yang dijumpai saat rapat di ruang tertutup dapat dicarikan jalan keluar dengan jauh lebih mudah. Mengapa? Karena komunikasi berlangsung tanpa ketegangan. Banyak orang memasuki ruang rapat dengan rasa tegang dan sikap waspada yang sudah merayapi.
Ruang kerja yang kolaboratif akan memfasilitasi perubahan perilaku karyawan. Di dalam ruang yang penataannya terbuka, tanpa sekat, mudah ditata ulang, dan transparan akan mendorong karyawan untuk berperilaku seperti itu. Ruang kerja seperti ini tidak ubahnya kanvas bagi pemikiran kreatif karyawan. Siapapun berani berkontribusi tanpa rasa takut dan cemas, sehingga kolaborasi berjalan alamiah tanpa paksaan.***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.