x

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jumat yang tak Seperti Dulu

Khutbah Jumat mestinya mengandung motivasi dan peringatan bagi manusia. Tapi banyak khatib hari-hari ini menjadikannya sebagai media agitasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah beberapa lama saya merasakan betapa Jumat adalah hari yang juga mencemaskan. Sebagai pengikut Nabi Muhammad, saya punya kewajiban seperti muslim pada umumnya, yang taat maupun tidak, bahwa pada hari itu saya harus menjalankan salat Jumat. Tapi salat Jumat inilah justru yang membuat saya seakan-akan berat melangkahkan kaki ke masjid--tempat salat biasanya diselenggarakan.

Bukan salatnya yang menjadi masalah. Khutbah sebelum salatnyalah yang menggelisahkan: bahwa sejak Islam (lagi-lagi) dipolitisasi, dijadikan “amunisi” untuk menggalang dukungan politik dan menyingkirkan orang yang tak disukai, isi khutbah lebih sering tak menenteramkan, tak menyejukkan hati, tak menimbulkan semangat untuk selalu menyegarkan wawasan tentang Islam dan semakin menguatkan tekad menjadi muslim sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad. Pendeknya, banyak khutbah hari-hari ini yang tak mengecas jemaah secara batiniah.

Khutbah, bila merujuk syariatnya dan memperhatikan dengan cermat ajaran dan praktek Nabi, adalah nasihat yang mestinya mengandung motivasi dan peringatan bagi jemaah yang menyimaknya (atau yang mendengarkan sambil terkantuk-kantuk). Khutbah dengan “ruh” semacam ini memberi jemaah salat Jumat yang hari-harinya sarat kesibukan waktu yang cukup, sehari saja dalam sepekan, untuk membersihkan kembali batinnya, membuka pikirannya demi menerima pengetahuan baru dalam agama, dan meneguhkan semangat mewujudkan semua hal baik yang bertalian dengan karakter dan akhlak yang diperintahkan Tuhan dan diwasiatkan Nabi, seperti terlihat dalam gambar di bawah ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjumpai khutbah yang menggugah tapi adem serupa itu kini tak mudah. Saya tahu ada teman, kenalan, juga orang lain yang merasakan hal yang sama.

Pengalaman saya setiap Jumat hampir selalu seperti ini: sebelum beranjak menuju masjid hingga khatib memulai isi khutbahnya, saya merasa seolah-olah sedang menonton film horor dan menebak-nebak kapan dan apa adegan seram yang bakal muncul. Suasana hati begini berlaku di masjid dekat kantor dulu, masjid di tempat-tempat yang bisa diakses publik, bahkan masjid di perumahan tempat saya tinggal. Pada banyak kesempatan, khatib bisa tiba-tiba melipir, menyisipkan topik yang terkesan hanya kontroversial di lingkungan Islam, misalnya perihal khilafah, atau malah terang-terangan sejak awal memasuki wilayah sensitif intoleransi antarumat agama, seperti menyebutkan ada gesekan antara Islam dan agama lain.

Ketika khatib naik ke mimbar pada salat Jumat di hari libur pekan lalu, di kompleks perumahan tak jauh dari rumah saya, sebetulnya saya sudah merasa tak enak. Saya hanya tak mengira dia akan mengangkat topik sensitif tersebut. Dengan nada yang perlahan-lahan meninggi, dia berusaha mempersuasi jemaah, meyakinkan mereka betapa teraniayanya umat Islam di masa pemerintahan sekarang dibandingkan dengan umat agama lain. Tapi dia membangun argumentasinya berdasarkan kondisi yang tak bersifat umum dan informasi dari media yang sebetulnya tak ada faktanya atau kebenarannya telah dibantah.

Anggota jemaah yang naif atau tak waspada, karena wawasan yang terbatas mencegahnya punya kemampuan mendeteksi motif khatib, atau memang hanya mau mendengarkan isi ceramah semacam itu mungkin ibarat penonton film silat, yang merasa mendapatkan suntikan nyali berlipat-lipat dan keluar dari gedung bioskop bagaikan Ip Man yang mau menyingkirkan siapa saja yang menghalangi jalan. Saya, sebaliknya, justru kegerahan. Tak tahan, saya memutuskan keluar dari masjid; sebisa mungkin saya bergegas menuju ke masjid lain.

Di masa Orde Baru dulu, Nurcholish Madjid menyebut khutbah “panas” sejenis itu hanya berbobot nahi munkar. Cendekiawan Islam pendiri Yayasan Wakaf Paramadina yang biasa dipanggil Cak Nur ini menyampaikan penilaiannya dalam tulisan berjudul “Tema-tema Khutbah di Masjid-masjid”, yang menyambut baik seruan Presiden Soeharto kala itu agar para khatib memperbanyak ceramah berisi pesan positif. Dia menjelaskan khutbah demikian ini cenderung mendekati persoalan dalam masyarakat dengan nada negatif--melarang, mencegah, membantah, mencela, mengutuk, dan seterusnya.

Tanpa berniat mendegradasikan pentingnya nahi munkar--yaitu mencegah, melarang, melawan sesuatu yang tak bisa dibenarkan di tengah masyarakat--dia berpendapat khutbah akan lebih afdal kalau mengandung pula seruan amar makruf dan prinsip al-khayr. Jika nahi munkar berpotensi menggelincirkan khatib ke dalam tindak cela-mencela dan kutuk-mengutuk belaka, amar makruf--yakni anjuran atau ajakan melakukan kemaslahatan yang dikenal, diakui, atau diterima dalam masyarakat--bersifat operasional, lebih praktis. Prinsip al-khayr, yang hierarkinya paling tinggi, mengarahkan keduanya ke tujuan-tujuan ideal.

Menurut Cak Nur, supaya khutbah benar-benar berguna, orang tak bisa mengambil hanya satu dari ketiganya. Menganjurkan nahi munkar saja, seperti dilakukan kebanyakan khatib hari-hari ini ke derajat yang berlebihan, memang pilihan yang paling mudah, sebab, dalam kata-kata Cak Nur, “membutuhkan pengetahuan yang relatif sedikit saja”. Yang gampang tersentuh adalah emosi jemaah. Masalahnya, jika demikian halnya, khutbah jadi tak ada bedanya dengan pidato politik, atau bahkan agitasi. Yang begini lebih berpeluang memecah belah.

Saya tak benar-benar yakin keadaan bisa dengan mudah diatasi. Tapi, bagaimanapun, tindakan sungguh-sungguh untuk menangkal khatib-khatib yang menjadikan mimbar dalam salat Jumat sebagai sarana menyebarkan prasangka buruk, hasutan, dan kebencian mesti digencarkan. Tanpa ini, bukan saja saya dan orang-orang seperti saya bakal terus-menerus merasa harus menghindari jumat, meski mustahil, melainkan juga gesekan antarkelompok masyarakat bakal bertambah keras, menyakitkan, dan merapuhkan, jika bukan merontokkan, fondasi sosial di negeri ini.

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler