x

Iklan

Muhammad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Sekolah Membodohkan

Tulisan tentang bobroknya penanaman nilai-nilai pendidikan di sekolah dan solusi alternatif masalah tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bila diamati lebih jelas, ternyata sekolah tak hanya menjadikan muridnya pintar tetapi juga secara laten berpotensi menjadikannya “bodoh”. “Bodoh” yang dimaksud adalah ketidakcakapan anak dalam mengimplementasikan nilai pendidikan dalam dirinya.

Cerita tentang kepintaran siswa sudah tidak asing lagi bagi Indonesia. Indonesia menjadi langganan juara olimpiade sains tingkat internasional setiap tahunnya. Ini menandakan sekolah-sekolah di Indonesia mampu mencetak generasi yang pintar-pintar. Tapi cerita tentang siswa yang jadi “bodoh” gara-gara sekolah, tentu tidak lazim bagi rakyat Indonesia.

Belakangan ini, bukti bahwa sekolah “membodohkan” semakin tampak jelas. Penganiayaan guru oleh siswanya di SMAN 1 Torjun dan di Madrasah Darussalam Pontianak adalah bukti nyata kalau sekolah “membodohkan”. Selain itu, dalam seminggu, setidaknya siswa masuk sekolah 5 sampai 6 hari. Mereka sekolah agar mendapatkan pengajaran yang mengasah kemampuan akademis dan terdidik secara karakter. Banyaknya prestasi yang dicapai siswa-siswa Indonesia, menandakan bahwa pengajaran di sekolah sudah cukup baik meskipun hal tersebut tidak menggambarkan keadaan pengajaran di Indonesia secara menyeluruh. Lalu bagaimana dengan penanaman nilai pendidikan di Indonesia? Apakah sebaik kualitas pengajaran akademisnya? 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenyatannya, program pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia tidak banyak berkembang. Saat ini lembaga-lembaga pendidikan lebih fokus kepada kualitas pengajaran yang pencapaiannya tergambar di rapot daripada kualitas pendidikan yang pencapaiannya tergambar pada kepribadian siswa. Banyak sekolah yang takut jika nilai siswa-siswanya di bawah target minimal. Tetapi, agaknya pihak sekolah kurang peduli jika ada penurunan kualitas pendidikan, misalnya kepedulian terhadap pelanggaran disiplin. Kalaupun ada yang peduli, itu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Akhirnya timbul ketidakharmonisan dalam menegakkan nilai-nilai pendidikan.

 

Ketakselarasan

Ketidakharmonisan dalam menegakkan nilai-nilai pendidikan ini menimbulkan kesamaran batas antara perilaku yang dianggap benar dengan perilaku yang dianggap salah. Kesamaran batas ini menjadikan setiap warga sekolah memahami batas antara benar dengan salah secara berbeda. Hal ini dipicu karena tidak ada acuan utama yang dijalankan bersama. Kesamaran batas inilah yang menjadi pemicu konflik antar individu. 

Jadi sebenarnya, konflik yang terjadi belakangan ini antara guru dengan murid adalah akibat dari “kebodohan” yang secara tidak langsung ditanamkan oleh sekolah. Pendidikan di sekolah diisi dengan kesamaran batas antara benar dan salah. Saat seseorang melakukan sesuatu, menurutnya dia sudah melakukan hal yang benar. Tapi perilaku orang itu belum tentu dianggap benar dalam perspektif orang lain. Contohnya yang terjadi pada Budi Cahyo (guru SMAN 1 Torjun). Menurut Budi Cahyo, menegur dengan cara mencoret wajah siswa menggunakan cat air dapat dibenarkan. Tetapi bagi siswa tersebut, hal itu dianggap berlebihan. Begitupun dengan kasus yang terjadi di Madrasah Darussalam, bagi Nuzul Kurniawati (guru di Madrasah Darussalam) menegur siswa dengan cara mengambil handphone-nya adalah hal yang wajar, sebab siswa itu bermain game dengan suara dinyaringkan sehingga mengganggu pembelajaran. Tetapi bagi siswa yang ditegur, tindakan Nuzul dianggap berlebihan. Sehingga siswa tersebut melawan Nuzul dengan cara memukulnya menggunakan kursi. 

Sayangnya pemerintah gagal mengidentifikasi masalah ini. Hal ini dapat kita simpulkan dari pernyataan Jusuf Kalla (JK), “Mungkin (Budi Cahyo dianiaya—pen.) karena kurang berwibawa, karena gajinya rendah, pakaiannya, akhirnya dilawan muridnya”. Pernyataan ini disampaikan JK saat menanggapi meninggalnya Budi Cahyo. JK menilai, penyebab terjadinya penganiayaan adalah kurangnya wibawa dan gaji yang rendah. Sedikutpun tidak membahas tentang penegakan nilai-nilai pendidikan di sekolah yang semakin bobrok. 

Begitupun dengan pertanyaan Sri Mulyani, “Kenapa dengan anggaran yang naik terus per tahun, kita belum mengalami kenaikan yang signifikan di pendidikan dibandingkan dengan negara-negara lain?”. Pertanyaan itu menunjukkan bahwa Sri Mulyani tidak mengetahui masalah yang dialami dunia pendidikan Indonesia. Dia hanya melihat efek dari bobroknya penegakan nilai-nilai pendidikan di sekolah.

 

Sekolah Binaan

Ada baiknya, sebelum berkomentar secara sepihak, seharusnya pemerintah turun ke sekolah-sekolah untuk memantau pelaksanaan pendidikan karena pelaksanaan pendidikan sangat berbeda dengan pelaksanaan pengajaran. Kualitas pengajaran dapat diketahui dengan cara mengecek kelengkapan administrasi sekolah dan pencapaian nilai siswa. Sedangkan kualitas pendidikan, baru bisa diketahui dari pengamatan langsung. Karena kualitas pendidikan sebuah sekolah akan tercermin pada kepribadian orang-orang yang berada di dalamnya. Dan kepribadian seseorang sangat sulit dicek kualitasnya melalui nilai di atas kertas. 

Pemerintah juga sebetulnya dapat berkontribusi dalam memberikan contoh pelaksanaan pendidikan yang baik di sekolah secara struktural. Salah satunya adalah menunjuk satu atau dua sekolah menjadi sekolah binaan di bawah Dinas Pendidikan. Sistem yang dilaksanakan di sekolah binaan dirancang oleh Dinas Pendidikan setempat yang benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Kemudian, Dinas Pendidikan juga bertanggung jawab memantau dan menilai pelaksanaannya. Sistem yang sudah terbukti memiliki dampak positif, diterapkan di sekolah-sekolah lainnya. Lalu pelaksanaannya dipantau dan dinilai oleh perwakilan dari sekolah binaan. 

Sekolah binaan tidak hanya menjadi contoh dalam menerapkan kurikulum nasional semata, tetapi dapat difokuskan pada penerapan nilai-nilai pendidikan, sekali lagi sesuai dengan kearifan lokal setempat. 

Dalam mengembangkan sekolah binaan ini, pemerintah dapat mencontoh beberapa sekolah binaan yang dinaungi oleh instansi pendidikan. Seperti Madasah Pembangunan yang berada di bawah naungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah atau Labschool yang berada di bawah naungan Universitas Negeri Jakarta. Sekolah-sekolah tersebut terbukti sukses meningkatkan kualitas pendidikannya menggunakan teknik-teknik yang dikembangkan oleh instansi yang menaunginya. 

Dalam imaji penulis, sekolah binaan akan cukup potensial mengubah sistem tatanan pendidikan, minimal di tingkat lokal daerah sebagai salah satu counter action dari penyelenggaraan pengajaran sekolah yang monoton saat ini. Tentu solusi ini bukanlah solusi yang benar-benar baru, namun dengan sedikit inovasi dan kemauan untuk melakukan perubahan, sekolah binaan akan menjadi simbol integrasi baru dari para aktor pendidikan dari mulai pemerintah, dinas pendidikan, guru hingga murid untuk sama-sama mengentaskan problem ketidakselarasan seperti di atas. Sungguh, bila hal ini terlaksana, maka, termin “murid berkarakter” bukan lagi menjadi harapan tetapi akan menjadi realitas keseharian yang akan membuat kita tersenyum setiap harinya di kelas.

Ikuti tulisan menarik Muhammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu