x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teror

Efek dramatislah yang mereka kejar. Sensasionalitaslah yang mereka buru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Setiap yang hidup berhak atas kematian yang layak.”

Sebagai taktik untuk mencapai tujuan, di dalam teror terkandung unsur kekerasan, yang setidaknya mencakup dua aspek: fisik dan psikologis—walaupun kekerasan psikologis mungkin saja berdiri tanpa disertai kekerasan fisik. Kekerasan fisik akan memakan korban luka dan jiwa, pelaku teror maupun bukan pelaku. Yang bukan pelaku bisa jadi memang sasaran teror, tapi bisa pula orang-orang yang sedang berada di lokasi pada saat yang tidak tepat. Kekerasan psikologis akan menimbulkan ketakutan dan trauma—bagi korban maupun warga masyarakat. Mengikis ingatan akan peristiwa teror bukanlah perkara mudah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Surabaya, pelaku tampaknya tidak peduli lagi siapa yang menjadi sasaran bom: aparat atau bukan. Efek dramatislah yang mereka kejar. Sensasionalitaslah yang mereka buru. Seakan-akan, dengan semua drama ekspresif itu, mereka merasa dapat meraih tujuan. Inilah irasionalitasnya: cara bukanlah tujuan, betapapun sensasional cara tersebut. Meskipun, apa yang bagi kebanyakan orang dikategorikan irasional boleh jadi dianggap rasional bagi sebagian orang. Apa yang tampak absurd bagi banyak orang boleh jadi dipandang tidak absurd oleh sebagian orang.

Jika dengan efek dramatis dari teror itu mereka ingin memperoleh perhatian dari pemerintah, media, maupun masyarakat, mereka perlu bertanya ulang. Perhatian seperti apa? Ketika pelaku teror ikut menjadi korban tewas, maka perhatian itupun ikut terbawa ke kubur. Pemberitaan memang berlangsung masif, tapi dalam nuansa sangat negatif—tidak satupun media yang waras akan memuji aksi teror, sebab teror selalu menelan korban warga masyarakat.

Ketika teror dilakukan, kesukaran untuk mencapai tujuan pun semakin meningkat. Jika mereka ingin perjuangan mereka memperoleh simpati dan dukungan dari masyarakat, maka itu semakin jauh panggang dari api. Alih-alih bersimpati dan mendukung, masyarakat justru bersikap antipati. Teror dengan kekerasan fisik menciptakan korban-korban tak perlu yang menghalangi pelaku untuk meraih simpati atas perjuangannya—sayangnya, boleh jadi, mereka memang tidak memerlukan simpati masyarakat.

Para pelaku teror, sebagai kelompok, akan semakin teralienasi dari masyarakat. Jika teror semakin sering memakan korban warga masyarakat, semakin terasing pula kelompok pelakunya. Dan semakin jauh pula mereka dari tujuannya. Perjuangan mencapai tujuan hanya dapat dilakukan apabila semakin banyak orang berempati, memahami, dan memberi dukungan. Kecuali apabila teror ini justru dirancang dan ditujukan untuk mendiskreditkan sebagian masyarakat dan menciptakan stigma dan stereotyping yang buruk. Bahkan stereotyping yang buruk itu sudah beredar di media sosial dalam wujud kelakar tentang seseorang bergamis membawa ransel dan kemudian melemparkannya ke mana saja, membuat banyak orang lari terbirit-birit—kelakar stereotyping yang perlahan berpotensi mengeruhkan persepsi.

Masyarakat pun semakin sukar memahami apa sesungguhnya yang ingin dicapai dari aktivitas teror. Juga semakin sulit dimengerti mengapa aksi bunuh diri dipilih sebagai cara, bahkan dilakukan oleh satu keluarga dengan melibatkan anak-anak. Jarang terjadi, jika bukan belum pernah terjadi di muka bumi, bom bunuh diri satu keluarga yang melibatkan anak-anak sebagai pelakunya. Betapa sukar kita memahami hal ini dari sudut manapun. Bagaimana mungkin seorang ibu menyerahkan anak-anak yang ia kandung dan lahirkan dengan penuh perjuangan kepada tindakan yang berlawanan dengan kemanusiaan.

Teror adalah cara memaksakan kehendak karena ketidakmampuan menyampaikan argumentasi atau ketika argumentasi tidak lagi memperoleh tempat selayaknya dalam pertukaran pikiran antar berbagai pihak. Relasi kuasa yang asimetris kerap mendorong pihak tertentu memilih jalan teror. Sering terjadi, ketertindasan, tekanan, dan impitan mendorong seseorang untuk melawan, namun teror dengan bom bunuh diri bukanlah cara terbaik untuk melawan dan bukan pula cara yang dapat dibenarkan.

Sebagai taktik, teror sulit dilepaskan dari kekerasan. Untuk sesaat, teror mungkin berhasil menciptakan kegelisahan, kengerian, dan ketakutan warga masyarakat, namun gagal menarik empati, simpati, dan apa lagi dukungan atas apa yang diperjuangkan pelakunya. Melawan ketimpangan tanpa kebencian, melawan penindasan tanpa brutalitas, melawan ketidakadilan tanpa kehilangan rasa kemanusiaan memang hal yang sukar, tapi tetap harus diikhtiarkan. Inilah ikhtiar yang akan menjaga ke-manusia-an kita. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

18 jam lalu

Terpopuler