x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik, Ladang Olok-olok

Bila politikus salah omong, maka ia tak ubahnya menyediakan amunisi bagi lawan untuk menyerang dirinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Politik tampaknya menjadi ladang olok-olok. Politikus yang salah omong akan mengalami nasib apes diolok-olok oleh politikus lain maupun oleh netizen. Politikus memang kerap menunggu kesempatan untuk mengritik pandangan politikus lain yang jadi ‘lawan’nya. Bila politikus salah omong, maka ia tak ubahnya menyediakan amunisi bagi lawan untuk menyerang dirinya, jika tidak bisa menyerang secara kritis terhadap pikirannya, ya setidaknya mengolok-olok. Netizen, dengan bersembunyi di balik anonimitas akunnya, juga gencar menertawakan siapapun yang tidak mereka sukai.

Ekosistem politik kita banyak diwarnai oleh olok-olok. Terkadang, olok-olok ini masih terlihat wajar, tapi lebih sering berlebihan seolah yang mengolok-olok jauh lebih baik ketimbang yang diolok-olok. Kritik sesungguhnya bisa disampaikan dengan cara yang santun, tapi kegatalan untuk mengolok-olok sepertinya sukar mereka hindari. Bahkan, jika bisa membuat obyek olok-olok jadi terlihat bodoh di hadapan masyarakat (termasuk masyarakat virtual) akan didapat kepuasan tersendiri. Ini bisa dilihat dari pilihan kata-kata yang mereka pakai untuk berekspresi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wacana mengenai hal ini barangkali tampak sepele. Namun, andai saja kita semua menyadari bahwa perkara olok-olok ini sesungguhnya terkait dan relevan dengan kultur politik yang sedang kita bangun. Kultur macam apa yang ingin kita semaikan di dalam ekosistem politik kita? Sekedar senang menyaksikan orang lain tampak bodoh di hadapan banyak orang? Ataukah ekosistem politik yang membicarakan isu-isu substansial masyarakat secara kritis dan argumentatif?

Olok-olok ataupun saling ledek yang menggelikan memang dapat menjadi indikator seberapa matang ekosistem politik kita—yang berarti pula jadi indikator kematangan para politikusnya, sebab merekalah yang berada di dalam ekosistem ini. Substansi isu sering tidak memperoleh tempat dalam wacana, sedangkan saling ledek dan olok telah jadi alat berkelit untuk menghindari perdebatan yang substansial. Orang-orang yang tengah berbeda jalan saling menunggu lawannya terpeleset untuk bisa menertawakannya dan menjadikannya terlihat tidak cerdas di mata banyak orang. Orang-orang ini merasa senang manakala para penonton bertepuk tangan, yang berarti olokan mereka pas mengenai sasaran dan memuaskan hasrat menertawakan banyak orang.

Di media sosial, kecebong, kampret, o**k ud**, bo**h, dan banyak lagi julukan serta kata-kata ekspresif sejenis menyertai olok-olok kepada orang lain. Saling ejek dan olok di media sosial seakan menjadi kelanjutan dari saling ejek dan olok yang dilakukan para politikus. Wacana berjalan di dalam ekosistem yang relatif keruh. Olok-olok dan ejekan menjadi ekspresi yang dianggap lebih menyenangkan ketimbang diskusi serius. Ibarat masakan, bumbu-bumbunya jauh lebih terasa ketimbang bahan intinya.

Apakah sebagian politikus dan masyarakat kita telah kehilangan rasa empatetiknya sebagai sesama manusia hanya karena perbedaan pilihan politik sehingga olok-olok, ejekan, bahkan caki dan maki diekspresikan dengan begitu antusias? Mungkin saja hati kita sudah kering dari rasa berempati kepada orang lain yang punya pilihan politik berbeda. Yang jelas, ekosistem politik kita akan sangat lamban mencapai kematangan apabila tidak terisi oleh wacana mengenai isu-isu yang substansial tapi lebih diramaikan oleh saling olok dan maki yang tak lain merupakan percakapan pinggiran. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler