Bisakah RUU Pesantren Berpihak Pada Santri Post Islamisme?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

RUU Pesantren harus berpihak kepada semua agama dan golongan

Istilah santri “Post Islamisme” dilontarkan oleh pendukung Sandiaga Uno (PKS), untuk mengindentikkan Sandiaga sebagai tokoh yang pro-Islam dan agar santri tidak didikotomi oleh NU. Sebagai pribadi, saya tentu keberatan jika santri hanya disematkan pada santri di Pondok Pesantren yang sebagaian besar berafiliasi dengan NU. Santri dengan definisinya yang luas, semestinya bisa disematkan pada siapa saja yang benar-benar paham dan memahami ilmu agama.

Misalnya, saya sebagai umat islam juga belajar Al-Quran bahkan menghafalkan surat-surat dalam Al-Quran, belajar Hadits, belajar bahasa Arab, belajar Fiqih, belajar Ahlaq lewat liqo dan halaqoh, juga aktif mengaji di gerakan tarbiyah di berbagai tempat masa tidak disebut santri? Apakah kita yang mengaji pada murobbi kita, tidak termasuk dalam sebutan santri? Naif jika santri hanya disematkan pada mereka yang ada di Pondok Pesantren semata, sementara pemahaman keagamaannya juga belum bisa diuji dan dibandingkan. Apakah santri hanya yang demikian?

Bahasan ini penting, karena isu yang berkembang, RUU pesantren akan diajukan sebagai salah satu RUU inisiatif DPR tahun ini. Kepentinganya mengakomodir pesantren dan pendidikan keagamaan. Namun apakah RUU ini juga mengakomodir pendidikan agama yang dilalukan di Rohis-rohis di Sekolah, atau Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Menurut hemat saya, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan harus menaungi pendidikan agama yang ada di luar Pondok Pesantren dan sekolah-sekolah dibawah naungan kementerian agama.

Terminologi pendidikan agama harusnya diperluas. Pendidikan agama tidak boleh dipersempit hanya pada institusi Pondok Pesantren dan Sekolah dibawah naungan Kemenag. Bagaimanapun liqo-liqo yang juga merupakan pendidikan agama yang tidak bisa dipungkiri ikut berperan dalam pendidikan keagamaan. Banyak kader-kader Liqo dan gerakan tarbiyah juga mengajarkan nilai-nilai Islam.

Santri “Post Islamisme” yang sudah saudara Sandiaga Uno gaungkan memang layak diperhitungkan dan masuk dalam kriteria santri, yang sedang diperjuangkan dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Training-training semacam ESQ juga mengajarkan nilai-nilai agama, apakah ini tidak masuk dalam terminologi pesantren atau lembaga yang ikut andil dalam mengembangkan pendidikan keagamaan. Ini juga layak diperhatikan.

Presiden Jokowi harus berpihak pula pada gerakan-gerakan dakwah yang mengajarkan Islam yang kaffah. Tidak hanya berpihak pada kelompok yang menggaungkan Islam dengan semangat nasionalis saja. Semua harus dirangkul untuk memastikan agama dapat menjadi landasan dalam mempercepat pembangunan. Wacana RUU pesantren saya kira, lepas dari perhatian tersebut. Tidak adil rasanya, jika terminologi pendidikan keagamaan hanya didominasi Pesantren. Ada banyak pendidikan keagamaan yang dijalankan dengan ikhlas oleh para murobbi dalam membina kader-kader Islami yang siap berjuang di jalan Allah. RUU Pesantren tidak ada urgensinya jika tidak menaungi semua kalangan dan golongan. 

 

Nur Sri Ayu Binti

Aktivis Lembaga Dakwah Kampus di Yogyakarta

Bagikan Artikel Ini
img-content
Nur Sri Ayu Binti

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler