x

Iklan

Aziz Zulhakim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

ARENA PILPRES 2019: ANTARA MILENIAL DAN MEDIA SOSIAL

Milenial merupakan cara dalam berpikir dan bersikap, bukan sekedar tampilan (fashion) melainkan gairah (passion).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan Presiden tahun 2019, mengisahkan banyak tragedi yang dramatis, ntah cerita yang disugguhkan adalah kebenaran atau hoax, namun semuanya terjadi dan memunculkan antusiasme publik yang berlebihan. Selain itu, banyak politisi atau hampir keseluruhannya mengklaim diri yang paling Milenial. Sepertinya Milenial menjadi citra dagangan yang bakal laris manis, mengingat generasi ini miliki potensi suara yang cukup signifikan apabila dikelola dengan baik.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih Milenial mencapai 70-80 juta jiwa dari total 193 juta pemilih. Artinya, ada sekitar 35-40 persen memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu dan sikap dalam menentukan pemimpin masa depan bangsa ini. begitu halnya dengan data Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada Desember 2017, bahwa jumlah Milenial dengan rentang usia 17-34 tahun mencapai 34,4 persen dari jumlah masyarakat Indonesia yang sebanyak 265 juta jiwa. Kedua data ini lah yang meyakinkan kita, bagaimana politisi bermbisi besar untuk dapat menguasai pangsa pasar yang begitu menggiurkan ini.

Ada dua elemen penting yang menarik dan mempengaruhi diperhelatan Pemilu mendatang, termasuk didalamnya adalah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Yaitu Milenial dan Media Sosial (Medsos), mengapa? Karena era digital mengantarkan arus informasi yang begitu cepat, melalui berbagai kanal yang ada, termasuk media sosial yang didalamnya beraneka ragam platform. Disamping itu, media sosial yang diyakni sebagai arus informasi kekinian, menjadi ruang informasi yang banyak dimanfaatkan oleh generasi Milenial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Generasi Milenial dalam Pusaran Arus Politik

Howe dan Strauss (2007) menyatakan bahwa gelombang pertama generasi Milenial adalah sangat tergantung pada komunitas daring (online), untuk membantu hidup mereka. Hal ini ditandai oleh generasi Milenial dengan menggunakan kemampuan digitalnya dalam membangun dan menjaga jaringan pertemanan. Dipertengahan tahun 2000-an, terjadi sebuah pergeseran cara anak muda dalam memanfaatkan jaringan online, satu contoh adanya aktivitas distribusi karya yang memanfatkan jaringan pertemanan melalui platform media sosial.      

Menurut Ali (2016), seperti yang dikutip oleh Isnaini bahwa pemilih generasi Milenial merupakan pemilih yang lahir di tahun 1981-1999, dengan karakteristik cenderung bukan pemilih ideologis, memiliki sikap politik yang cenderung apatis dan banyak diantara mereka adalah swing voters, dan cenderung tidak memiliki tingkat loyalitas yang tinggi terhadap partai.

Sikap politik yang dijelaskan diatas sebenarnya lebih jauh beradab dari apa yang dinyatakan sebagai partai politik Milenial hari ini. Terbukti, banyak generasi Milenial yang mengambil peran dan partisipasi politiknya, bukan melalui arus utama, seperti partai politik. Namun, gerakan mereka lebih spontan dan terorganisir secara egaliter.

Sikap politik yang unik dan pandai dalam memanfaatkan arus digital, sudah seharusnya menjadi perhatian penting bagi setiap politisi, untuk tidak terlalu mengada-ada, harus menjadi Milenial dalam bentuk tampilan. Karena Milenial merupakan cara dalam berpikir dan bersikap, bukan sekedar tampilan (fashion) melainkan gairah (passion). Merujuk hasil penelitian Ella S. Prihatini, kandidat Doktor dari University of Western Australia. Hasilnya dalam artikel yang berjudul “Mapping the Political Preferences of Indonesia’s Youth”, yang dikutip melalui Tirto.id, bahwa kebanyakan generasi Milenial yang kesadarannya tumbuh di era Reformasi ini sangat terbuka terhadap nilai-nilai kesetaraan gender, independen secara politik, serta berani mengambil pilihan ideologi politik yang berbeda dari lingkungan keluarga mereka.

Intinya generasi Milineial adalah generasi yang rasional, mereka memiliki gairah yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Karena generasi ini tumbuh didalam lingkungan yang lebih terbuka, dengan sedikit pengetahuan tentang rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Jokowi yang berumur 57 tahun, Prabowo berumur 66 tahun, Sandiaga berumur 49 tahun dan Haji Ma’ruf Amin yang berumur 75 tahun, adalah orang lampau yang memulai pertaruhan hidupnya di masa kini, sehingga mempertaruhkan diri atas nama Milenial menjadi labil dilakukan seperti politikus lainnya, mengingat jargon politik hari ini adalah “Semua Menjadi Sama Atas Nama Milenial”.

Media Sosial: Ruang Informasi Publik yang Dipertaruhkan

Media sosial sebagai arus informasi modern, mengalami degradasi dalam pemanfaatannya. Berbagai cara buruk dilakukan untuk meraih simpati dan kekuasaan, hal ini memunculkan istilah populer, yaitu hoax. Hoax menurut cambridge dictionary, berarti tipuan atau lelucon. Secara sadar kita mafhum, dimana jagad dunia maya menjadi media bersebarannya berita sampah dan fitnah, yang melahirkan opini tanpa fakta maupun data. Namun sayangnya pembaca (netizen) tidak melalukan filterisasi terhadap berita atau artikel yang kosong makna tersebut. Kadangkala pembaca hanya akan menyetujui jika itu sependapat dengan ideologinya dan menerimanya secara mentah-mentah, serta diperparah dengan disebarkannya kembali berita tersebut hingga tak bertanggungjawab di dalam kegaduhan publik di dunia nyata.

Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE sendiri mengatur hoax di dalam pasal 28 ayat (1), yang berbunyi “Setiap orang sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”. Seperti mengkutip pendapat Theo Sembiring, bahwa makna di dalam Pasal 28 ayat (1) mengenai kata bohong dan menyesatkan memiliki arti yang berbeda, dimana pengertian bohong merupakan suatu perubuatan dimana informasi yang disebarkan baik berupa berita atapun informasi lain adalah informasi yang tidak benar adanya. Sementara kata menyesatkan merupakan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan menyebarkan berita bohong tersebut.

Dunia maya yang dihuni para netizen terlalu berisik dalam menyikapi masalah yang terjadi. Banyak konten yang sengaja dibuat untuk menjelek-jelekkan atau menyerang seseorang. Biasanya topik-topik yang sedang hangat di dunia nyata menjadi refrensi untuk membuatnya menjadi berisikan ujaran kebencian, guna memanfaatkan momen untuk menyerang atau menjatuhkan siapa saja yang dipandang lawan politiknya. Sejalan dengan data Asosiasi Internet Seluruh Indonesia, bahwa sebanyak 94,2 persen hoax dan fitnah tersebar melalui media sosial.

Berangkat dari tulisan Noveliyati Sabani, yang melihat dua hasil penelitian, yaitu penelitian survey APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia) memperlihatkan bahwa Indonesia pada tahun 2016 terdapat sekitar 132,7 juta pengguna internet (+ 51,5% dari total jumlah penduduk). Sedangkan survey lainnya yang dilakukan oleh Global Web Index (2010), dikutip melalui Morissan (2016) bahwa pengguna internet di Indonesia, di antara negara-negara Asia lainnya, adalah yang paling banyak menggunakan media sosial (79,72%), dibandingkan dengan Jepang (30,1%), Australia (48,8%) dan Singapura (63%). Maka dengan berkaca pada data tersebut, sudah seharusnya pemerintah dapat melakukan sosialisasi mengenai berbagai peraturan, termasuk UU tentang kebencian dan hoax di media sosial. Sehingga dengan cara demikian akan memberikan pengaruh yang positif bagi generasi Milenial dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan, serta bentuk pencegehan dini agar tidak terlibat di dalam aktivitas penyebaran ujaran kebencian/ hoax di media sosial.

Pertanyaan hari ini, apakah generasi Milenial adalah kelompok yang aktif menyalahgunakan fungsi media sosial? Ternyata tidak terbukti sepenuhnya. Perlu diingat pelaku penyebar hoax yang telah berurusan dengan aparat penegak hukum, rata-rata dengan refrensi umur diatas 35 tahun. Sebut saja Ratna Sarumpet dan banyak lagi tokoh-tokoh yang semuanya dapat disebut generasi diatas usia Milenial. Sehingga apatisme politik Milenial dibangun oleh generasi diatasnya, dengan menyebarkan informasi masa lalu, yang sebenarnya belum terbukti kebenarannya, atau hal-hal yang sesungguhnya tak patut disebar luaskan tanpa memperhatikan sisi etika jurnalistik.

Sebagian dari Generasi Milenial banyak menghadirkan konten positif dan kreatif, ketimbang surut dalam hal-hal yang diluar faedah bagi perjalanan seusianya. Contoh yang hangat baru-baru ini dengan hadirnya tokoh publik imajiner yang secara elektabilitas dapat mengungguli pasanga Presiden dan Wakil Presiden yang nyata. Atau banyak anak-anak muda yang mengkreasikan segala kemampuannya untuk menciptakan dunia yang lebih berwarna, karena Milenial membangun peradaban bangsa ini melalui cara-cara yang visioner. Sehingga semua berkeyakinan kalau media sosial jangan ditempatkan sebagai tempat pertarungan dalam menyebarkan kebencian. Namun media sosial sejatinya adalah ruang pengikat pertemanan yang lebih luas.

Penutup

Milenial yang dianggap apatis dalam sikap politiknya, nyatanya tidak benar. Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya gerakan positif yang dilakukan Milenial, tidak berafiliasi pada salah satu partai politik, namun dampaknya dapat memberikan warna dalam keberlangsungannya demokrasi bangsa ini.

Begitu pula dengan media sosial, yang menjadi ruang informasi dan interaksi masyarakat modern hari ini, terkhusus adalah Generasi Milenial, tidak sepenuhnya mempengaruhi mereka untuk menjadi apolitis. Namun sebaliknya, banyak anak muda kreatif yang memanfaatkan media sosial sebagai ruang interaksi yang lebih bermakna dan bernilai, hal ini dapat dilihat dengan hadirnya konten-konten positif yang menyejukkan dengan sentuhan kreasi yang baik.

Selanjutnya, politisi yang mencitrakan diri dengan mengobral ke-Milenial-annya, seharusnya berupaya membantu generasi ini untuk keluar dari permasalahan yang melilit dengan sarat nilai yang solutif. Gagasan dan ide yang kreatif lebih mengikat hati, seperti bagaimana pemerintah ke dapan dalam menyiapkan lapangan kerja potensial, atau membantu mereka (Milenial) untuk mendapatkan rumah dengan cicilan KPR yang sejalan dengan rekeningnya selama ini yang sudah kosong dipertengahan bulan! Jadi perlu diingat bersama bahwa  “Milenial bukanlah tampilan (fashion) melainkan gairah (passion)”.

Ikuti tulisan menarik Aziz Zulhakim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu