x

Iklan

sabiqcarebesth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Film AADC dan Ingatan Pada Kemajuan Kebudayaan Kita

Film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) kini menjadi dokumen dari sejarah dunia kita sebagai bangsa. Setelah AADC film kita seperti kehilangan haluan sejarah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sabtu malam kemarin sepulang kerja, saya menonton film AADC (Ada Apa Dengan Cinta). Niatnya hanya mendengarkan bagian saat Dian Sastrowardoyo (Cinta) membaca puisi di kafe. Tapi film itu terlalu menarik untuk tidak ditonton dengan utuh.

Saya pun menonton, tentu kali ini dengan pikiran yang berjalan melompat-lompat mengingat dunia kita pada tahun-tahun saat film ini tayang perdana dan dunia kita hari ini. Babak-demi babak, adegan demi adegan, gambar-gambar berjalan menuntun ingatan dan perbandingan.

Saya merasa dunia kita hari ini telah berubah begitu rupa dari sepuluh tahun lalu. Perubahan yang tidak hanya fisis, tapi juga mental, pemikiran dan pergulatan kepentingan—yang sayangnya justeru membuat saya khawatir dan merasa ada hal substansial dari kehidupan berbangsa yang malah mengalami degradasi dan dekaden selain dari kemajuan-kamuan pada infrastruktur dan teknologi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dunia dalam film AADC (2002) adalah dunia di mana preman masih memakai baju preman, kafe-kafe masih dihuni mereka yang memburu inspirasi bagi karya seninya, dan orang-orang termarginalkan oleh sistem masih tabah tanpa rasa takut untuk bisa mendapat mimpi dengan caranya sendiri, melanjutkan hidup dalam otonomi relatif tanpa mengusik negara dan tanpa berhenti mencintai bangsanya.  Di kota orang-orang masih membaca buku, bukan untuk intelektualisme belaka tapi upaya menikmati hidup dan mengapresiasi kemajuan pengetahuan. Anak-anak sekolah masih ke mal—sesekali—untuk mencari bahan penerbitan mading (Majalah Dinding). 

Dalam film yang disutradarai Roedy Sudjarwo itu, tampak bagaimana puisi masih dibaca untuk mencintai. Puisi adalah perkakas untuk menyelami kedalaman dan memungut mutiara batin, bukan untuk mengumpat dan membenci. Keindahan adalah jalan pembuka kedalaman, bukan hiasan penuntun melankolia belaka. Sekarang bagaimana pun semua itu telah terdistorsi oleh begitu rupa dan macam-macam kepentingan. Dan Jakarta masih tempat bagi para seniman dan pemikir menguji sekaligus menempa kematangan pemikirannya—bukan tempat di mana para politisi berlaku dan diperlakukan seperti artis yang dinominasikan menjadi pemeran populer dalam dunia mental kita.

Tak ada politik praktis dalam dunia AADC dan dunia sekolah, yang ada adal ah pengenalan pada fundamental dunia dan wacana politik yaitu: sejarah.

Dalam dunia AADC politik masih adalah sejarah; sejarah masih adalah bahasa puitik. Lagi pula, tanpa memahami itu politik tidak akan maju, dan para penyair akan jadi gelandangan dalam kesunyian. Akibatnya dunia kita disesaki propaganda dan tegaknya garis diametral setan-malaikat, kami dan kalian. Yang menang tentu saja budaya plutokrasi, sementara demokrasi berjuang sendiri sekedar agar mampu terhindar dari degradasi.

Lihat dunia kita sekarang di mana politik seakan menjadi tontonan fulgar yang abai ruang dan tempat—di mana-mana politik, di kafe, di rumah, di sekolah tak tekecuali! Berlangsung dalam bahasa sarkas penuh dengan ujaran kebencian ketimbang kedalaman tujuan dan kekayaan makna dalam relasinya dengan pendidikan politik bagi masyarakat.

Dalam dunia sekarang politik seakan telah menjadi monolog dengan tafsirnya yang tunggal dan seragam; kekuasaan! Kita telah lupa bahwa membaca buku, membaca puisi, membuat film, adalah juga tindakan politik dan bagian dari upaya dan bentuk mencintai negeri ini dengan semua kemungkinan kemajuan sejarahnya.

Lalu ke mana puisi dan film kita hari ini sebagai wahana politik dan gambar-gambar yang mengartikulasi kepentingan kultural kita?

Semenjak politik dihimpit oleh begitu rupa hal-hal praktis menyangkut kekuasaan, figur-figur, politik yang sepenuhnya menyebabkan banjir wacana dari elit ke dunia sosial kita, rasanya dunia seni baik puisi, novel, teater dan terutama film, gagal merekam dan menunjukkan gambaran yang melapangkan jalan kita keluar dari kemelut degradasi sosio kultual seperti kita alami sekarang.

Film-film kita masih sesak dengan hantu-hantu, komedi yang sepenuhnya lucu, gadis-gadis cantik—dipenuhi pelakon utama ketimbang gagasan utama. Dunia film kita seakan berhianat pada kondisi sosial kita. Tampaknya terlalu sibuk mengejar kecanggihan teknologi barat, sibuk mengejar hiburan yang idenya nyaris selalu dibelakang film-film Hollywood.

Tentu ada film-film kita yang berkualitas, menghibur sudah hal pasti, tapi kita mesti berani memajukan dunia film sebagai sarana menggambar dunia ideal dari perkembangan sejarang sosial kita sebagai bangsa.

Lebih-lebih kita bagaimana pun dalam dunia yang lebih baik dari segi kebebasan berekspresi, kecanggihan teknologi dan juga minat penonton.

Kembali ke AADC, film yang tidak mengambil tempat-tempat mewah atau pengambilan gambar di dunia yang jauh seperti Amerika dan Eropa, tapi berhasil menghadirkan ingatan dan kerinduan kita pada dunia indonesia yang kritis, damai, dan maju dalam tata sosialnya. Dengan buku lapuk bergambar Chairil Anwar, secarik puisi yang dibaca Dian Sastro, AADC berhasil menjadi sejarah yang terus menumbuhkan harapan kita pada banyak hal sebagai bangsa.

Harapan pada film indonesia adalah juga harapan pada kemajuan indonesia sebagai bangsa itu sendiri, sebab bagaimana pun film adalah wahana faktual yang merepresentasikan kesadaran kultural kita pada perkembangan sejarah juga politik bangsa ini. Dan saya pribadi percaya dunia film kita bisa tumbuh tanpa tercerabut dari akarnya. Asalkan ada kehendak dari insan perfilman indonesia untuk memahami tugas kultural dan kontribusi dunia film pada persoalan dan tantangan bangsa ini.

*) Sabiq Carebesth, Penyair.

 

Ikuti tulisan menarik sabiqcarebesth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu