Persatuan ala Per-sate-an

Senin, 27 Mei 2019 18:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Persatuan yang kita sering serukan selama ini tidak lain dengan Per-sate-an.

Persatuan ditjari, Per-sate-an jang ada.” - Mohammad Hatta (Daulat Ra’jat, 1932).

Selama ini kita sering sekali menyebut diri kita sebagai Pancasila atau Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu). Bahkan kita juga sering melihat orang menyerukan tentang persatuan. Namun, tanpa kita sadari persatuan yang sering kita serukan selama ini tidak lain dari persatuan ala per-sate-an.

Pada tahun 1932, Mohammad Hatta yaitu mantan Wakil Presiden pertama kita, pernah mengkritik persatuan ala Soekarno yaitu menyatukan seluruh organisasi untuk melawan Belanda, tidak lain dengan per-sate-an. Persatuan yang seharusnya berasal dari kesadaran dan inisiatif diri sendiri, bukan persatuan yang dipaksakan sehingga mengorbankan asas masing-masing. Seperti menyatukan daging sapi, daging kerbau, daging ayam, dan daging kambing menjadi satu tusuk. 

Hatta melihat daging-daging sate itu bersatu secara tidak sukarela, melainkan dipaksa dengan tusuk sate. Persatuan yang dipaksakan adalah persatuan semu dan menipu. Dari luar mereka terlihat bersatu, padahal dari belakang mereka berseteru. Persatuan ini bukanlah persatuan sejati.

Hal ini bisa kita lihat dalam sejarah Indonesia, bahwa kita seringkali menghadapi pemberontakan seperti Pemberontakan DI-TII (Darul Islam atau Negara Islam), Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia), PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), OPM (Organisasi Papua Merdeka), dsb.

Lalu dalam kehidupan sehari-hari juga terdapat kasus isu SARA (Isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) hingga keinginan untuk mendirikan negara Khilafah. Saat menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga Piplres 2019, banyak istilah “kecebong” dan “kampret” bermunculan di media sosial hingga menjadi tren saat ini. 

Tidak hanya dalam kehidupan sosial, di kehidupan politik kita juga tidak kalah parahnya. Salah satu yang sekarang ini sedang terjadi adalah Capres Kubu 02 menolak hasil pemilu 2019 dan menuntut ke Mahkamah Konstitusi dengan tuduhan bahwa ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Tetapi ketika disuruh membuktikan, mereka tidak bisa membuktikannya. Skenario yang sama dengan 2014 lalu. Terlalu berambisi untuk menjadi Presiden dan sikap tidak sportif, sehingga menciptakan kegaduhan-kegaduhan seperti yang terjadi pada tanggal 21-22 Mei lalu.

Jika ini adalah persatuan yang sejati, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi. Sebab salah satu kunci persatuan yang sejati adalah kepentingan bersama, misalnya kepentingan bersama untuk membangun Indonesia.

Apabila persatuan ala per-sate-an terus dibiarkan, maka akan menghambat perkembangan bangsa kita untuk memasuki jenjang yang lebih baik. Ini adalah masalah yang sangat serius bagi negara kita.

Untuk mengatasi masalah seperti ini memang membutuhkan waktu. Sebab untuk menjadi persatuan yang sejati itu harus dimulai dari kesadaran diri sendiri. Untuk membentuk kesadaran diri sendiri juga harus dibantu dengan ajaran-ajaran yang diterima dari lingkungan sekitar seperti keluarga, pergaulan, media sosial, tempat pendidikan, dan tempat ibadah. Maka dari itu, kita harus lebih selektif dan berhati-hati terhadap lingkungan sekitar kita.

Pemerintah juga sebaiknya menindak lebih tegas para provokator tanpa melihat latar belakang mereka. Sebab belakangan ini banyak sekali para provokator yang menyusup ke tempat ibadah dan pendidikan untuk menghasut dan mengadu domba kita agar melakukan tindakan makar terhadap pemerintah atau menjadi diskriminatif SARA. Hal ini sangat berbahaya! Sebab sarana pendidikan dan tempat ibadah adalah transportasi terandal untuk membentuk suatu kepribadian seseorang.

Oleh karena itu, mulai dari sekarang mari kita renungkan betapa indahnya persatuan. Kita diciptakan berbeda bukan untuk saling menghakimi dan menyerang, tetapi untuk saling melengkapi. Ingatkah kita selama perang kemerdekaan, kita tidak pernah memandang ras, agama, suku dan golongan. Kita bersatu untuk melawan para penjajah dan berjuang untuk meraih cita-cita bersama yaitu kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya kita berhasil, bukan?

Pemilu sudah selesai. Tidak ada nomor 01 maupun nomor 02 lagi. Sekarang kita kembali ke nomor 03 yaitu “Persatuan Indonesia”. Tidak adalagi persatuan ala per-sate-an dengan daging kecebong, daging kampret, daging kura-kura, dan daging onta gurun. Mari bersatu untuk membangun Indonesia maju!

Bagikan Artikel Ini
img-content
Elnado Legowo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
Lihat semua