x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 5 Juli 2019 14:56 WIB

Politik Kesehatan Kota yang Diabaikan

Penataan kota dan segala aktivitas yang berlangsung di dalamnya perlu dipikirkan sebagai bagian dari politik kesehatan jangka panjang. Jika kotanya sehat, penghuninya pun sehat, akan lebih produktif dan hidup bahagia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dibandingkan banyak isu lainnya, isu kualitas udara perkotaan selama ini terkesan kurang seksi untuk dibicarakan. Orang-orang sesekali membicarakan temuan bahwa tingkat pencemaran di kota-kota besar sudah di ambang batas yang dapat ditoleransi. Setelah itu, wacana sepi kembali. Kehidupan sehari-hari orang kota berjalan seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa.

Namun, beberapa hari terakhir ini, media cukup riuh membicarakan tentang pengajuan gugatan oleh sekelompok warga kepada gubernur DKI Jakarta. Mereka menggugat gubernur dan mantan gubernur karena dianggap sebagai orang-orang yang paling bertanggung jawab atas buruknya kualitas udara Ibukota.

Laporan Greenpeace Indonesia, 2019, yang banyak dikutip, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2018, Jakarta hanya memiliki kualitas udara baik selama 34 hari, udara berkualitas sedang 135 hari, dan udara tidak sehat 196 hari. Bahkan, udara pagi Jakarta tergolong yang terburuk di dunia dengan tingkat polusi tertinggi. Banyak orang Jakarta hidup sangat makmur, namun mereka mengirup udara yang amat polutif setiap hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana dengan Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya? Pada umumnya, kondisinya tidak menggembirakan—apa lagi membuat penduduknya bahagia. Kontribusi terbesar polutan di perkotaan tidak lain adalah alat transportasi, dalam hal ini kendaraan bermotor yang mesin-mesinya tak henti-henti mengepulkan asap polutan.

Setiap tahun terjadi peningkatan jumlah mobil dan sepeda motor yang terus meningkatkan volume polutan yang disemburkan ke udara. Ruang udara yang tidak bertambah tentu saja membuat oksigen semakin terdesak oleh gas-gas polutan, dan inilah yang setiap saat diirup oleh para penghuni kota.

Kalkulasi ekonomi lebih dikedepankan ketimbang kalkulasi kesehatan, bahwa peningkatan penjualan mobil dan motor berarti peningkatan pendapatan negara. Orang lupa bahwa biaya untuk kesehatan jadi meningkat lantaran semakin banyak orang sakit, dan orang sakit berarti tidak bisa berproduksi, yang berarti pula berpotensi mengurangi pendapatan negara.

Ketika menghitung pendapatan negara, pembuat kebijakan mestinya mempertimbangkan sirkulasi sistemik tersebut. Ini dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan apakah pendapatan negara yang diperoleh dari produksi mobil dan motor begitu berharga dibandingkan dengan biaya kesehatan yang harus ditanggung dan nilai produktif dari orang yang sehat? Jika kotanya sehat, penghuninya pun sehat, akan lebih produktif dan hidup bahagia.

Penataan kota, termasuk perubahan sarana transportasi secara drastis, berarti pula penataan gaya hidup penghuninya. Jika ini tidak dimulai sesegera mungkin, paru-paru penghuni kota akan semakin penuh terisi oleh material polutan yang dalam jangka panjang berdampak buruk. Berapa biaya kesehatan yang harus dikeluarkan dan berapa besar nilai produktif yang hilang? Penataan kota dan segala aktivitas yang berlangsung di dalamnya perlu dipikirkan sebagai bagian dari politik kesehatan jangka panjang, dan ini bukan hanya tanggung jawab seorang gubernur. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu