x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 22 Juli 2019 10:47 WIB

Aktivis Dalam dan Luar Istana

Kiprah para aktivis sosial di lingkaran kekuasaan belakangan ini mendapat sorotan. Menariknya, sorotan itu datang dari ‘sejawat’ mereka, yakni para aktivis juga tapi yang berada di luar lingkaran kekuasaan. Para aktivis ‘luar Istana’ kecewa karena kehadiran sejawat mereka di lingkaran kekuasaan dinilai tidak cukup mendatangkan kabar baik bagi masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kiprah para aktivis sosial di lingkaran kekuasaan belakangan ini mendapat sorotan. Menariknya, sorotan itu datang dari ‘sejawat’ mereka, yakni para aktivis juga tapi yang berada di luar lingkaran kekuasaan. Para aktivis ‘luar Istana’ kecewa karena kehadiran sejawat mereka di lingkaran kekuasaan dinilai tidak cukup mendatangkan kabar baik bagi masyarakat.

Ada dua isu yang menjadi sorotan para aktivis luar kekuasaan. Pertama, pembentukan panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK]. Kedua, kinerja dan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta [TGPF] tentang kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika susunan panitia seleksi calon pimpinan KPK diumumkan, Mei lalu, banyak aktivis—khususnya yang bergiat dalam aktivitas antikorupsi—merasa kecewa pada keputusan Presiden Jokowi. Menurut para aktivis ini, susunan pansel tersebut menunjukkan adanya kompromi dengan pihak-pihak tertentu. Mereka kemudian mengusulkan agar susunan pansel dirombak, tapi Presiden bergeming dan tidak bersedia mengganti nama-nama anggota pansel karena, menurut Presiden, mereka figur yang kredibel.

Pandangan yang diutarakan Donal Fariz, pegiat dari Indonesia Corruption Watch [ICW], menggambarkan kekecewaan terhadap keputusan Presiden maupun sejawat mereka yang berada dalam lingkaran Istana. Para aktivis lingkaran Istana dianggap tidak mampu meyakinkan Presiden untuk menyusun komposisi pansel yang terbaik agar menghasilkan pimpinan KPK yang terbaik pula. “Padahal Jokowi dikelilingi para aktivis antikorupsi dan HAM dengan nama besar dan record mentereng,” kata Donal seperti dikutip media.

Para aktivis luar Istana berpandangan pesimistis terhadap pansel, barangkali karena di dalam tim pansel ini terdapat potensi yang akomodatif terhadap pihak dan institusi yang tidak cukup kompak dengan KPK. Langkah pansel yang mendatangi Polri dan Kejaksaan serta mengajak kedua institusi ini untuk mengirim calonnya untuk diseleksi telah dikritik oleh para aktivis.

Di dalam pansel capim KPK sebenarnya terdapat beberapa nama aktivis, antara lain Hendardi dari Setara Institute—yang juga penasihat ahli Kapolri—dan Al Araf dari Imparsial. Bagi kedua aktivis ini, keikutsertaan dalam pansel capim KPK merupakan tanggung jawab besar, seperti diakui oleh Al Araf, karena adanya harapan besar dari masyarakat terhadap pimpinan KPK terpilih nanti. Namun, sekaligus ini merupakan tantangan dan ujian bagi integritas dan independensi kedua aktivis. Pansel dapat menjawab keraguan masyarakat dengan bersikap independen dalam meloloskan calon-calon pimpinan KPK.

Dalam kasus Novel Baswedan dari KPK, para aktivis luar Istana juga merasa kecewa dengan hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta [TGPF] bentukan Kapolri. Setelah bekerja selama enam bulan, TGPF tidak berhasil mengungkap siapa pelaku penyiraman terhadap Novel. Para aktivis, serta pimpinan KPK, merasa kecewa TGPF malah menyimpulkan bahwa aksi penyiraman itu bermotif dendam karena penggunaan kewenangan yang berlebihan oleh Novel. Seperti diberitakan tempo.co, Nur Kholis, anggota TGPF, mengatakan penggunaan wewenang yang berlebihan membuat Novel menjadi musuh sejumlah pihak yang berperkara di KPK.

Kesimpulan TGPF tersebut mengejutkan dan memicu reaksi keras dari para aktivis lainnya sebab dianggap telah menyudutkan Novel. Mereka heran bagaimana TGPF bisa mengambil kesimpulan mengenai motif sedangkan pelakunya belum ditangkap. Seperti halnya di Pansel Capim KPK, di TGPF terdapat sejumlah aktivis sebagai anggotanya, yakni Nur Kholis, mantan Ketua Komnas HAM periode Maret 2015-Maret 2016. Lalu Ifdhal Kasim, mantan Ketua Komnas HAM periode 2007-2012 yang kini menjadi tenaga ahli utama di Kantor Staf Presiden. Aktivis lainnya adalah Hendardi dari Setara Institute dan Poengky Indarti yang juga anggota Kompolnas.

Mengetahui hasil kerja TGPF bentukan Kapolri tersebut, para aktivis meminta Presiden Jokowi agar membentuk TGPF independen. Namun, permintaan para aktivis luar Istana ini kandas, karena Presiden mengembalikan kelanjutan penanganan kasus ini kepada Kapolri dan memberi waktu kerja tiga bulan lagi.

Tampaknya ada ketidakpuasan dari para aktivis terhadap rekan-rekannya yang sudah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Boleh jadi ada harapan bersama di antara para aktivis bahwa perubahan menuju masyarakat yang lebih baik semestinya dapat dilakukan dengan terjun ke dalam lingkaran kekuasaan. Sayangnya, kedua contoh kasus tadi—pansel capim KPK dan TGPF Novel—memperlihatkan betapa harapan itu tidak mudah dipenuhi secara memuaskan. Kekuasaan memiliki karakter dan logika kerja tersendiri, yang membuat banyak orang tidak mudah mewujudkan cita-cita baik yang pernah mereka bayangkan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu