x

Ilustrasi Pendidikan berkarakter.TEMPO/iqbal Lubis

Iklan

M Khasbi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Juli 2019

Senin, 29 Juli 2019 08:56 WIB

Pendidikan Adalah Menyalakan Api

Bagaimana jika pendidikan ternyata hanya menyuguhi mulut makanan tanpa pernah mengerti makanan apa yang dimakan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Muhammad Khasbi M.

Praktik mengajar dalam bingkai microteaching dan PPL sudah berada di depan mata. Tinggal menghitung hari saja!

Perjalanan saya menjadi mahasiswa ternyata sudah mencapai titik nadhirnya. Hampir bisa dipastikan selama 7 semester (kecuali semester 1) saya tak pernah masuk kuliah. Yah, begitulah! Petualangan penuh resiko akhirnya menemukan tembok besar yang tak bisa ditembus juga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak disangka, ternyata saya sudah semester 7. Tak disangka juga, ternyata saya sudah tua. Di usia yang semakin senja, saya dipaksa (dan juga terpaksa) mengubah prinsip dari yang sebelumnya idealis menjadi realistis.

Iya, walaupun sejatinya saya masih bingung mana yang idealis dan mana yang realistis? Tapi, intinya saya disuruh merubah prinsip hidup.

Saya pun akhirnya menurut saja dengan paksaan takdir. Toh, itu hanya masalah prinsip kok. Iya, benar-benar masalah prinsip. Bukan masalah percintaan atau per-hijrah-an yang membuat pening kepala.

Berbicara soal prinsip jadi kepengen mengulas kembali tentang 'prinsip mengajar' yang selama ini tak pegang. Prinsip mengajar yang terinspirasi dari ucapan William Butler Yeats; "Pendidikan bukan mengisi ember, tetapi menyalakan api."

Kalimat itu benar-benar merobek tatanan berpikir saya yang waktu itu masih konservatif (kolot). Dulu, saya beranggapan bahwa seorang yang telah 'makan bangku sekolah' pasti akan menjadi orang sukses (red. matrealistik). Iya, pokoknya kalau sekolah itu bakalan jadi orang kaya. Bakalan jadi orang yang punya motor, mobil dan rumah!

Ternyata tak semudah itu, Ferguso!

Jika makan bangku sekolah mampu memastikan orang menjadi sukses, maka proposisi itu salah besar. Makan bangku sekolah tak sama sekali menjamin orang menjadi sukses (red. matrealistik). Paling pol, makan bangku sekolah akan menjadikan kita 'pernah dibohongi' oleh 'mereka'. Sebuah kebohongan yang terstruktur, sistematis dan massif!


Pendidikan Adalah Menyalakan Api

Institusi pendidikan manapun, tak akan mampu menjamin siswanya menjadi orang yang sukses. Bahkan sekelas institusi pendidikan milik luar negeri (yang katanya lebih maju) juga tak akan mampu menjamin.

Oke, jika kalian memaksa mengatakan; 'ada' institusi pendidikan yang menjamin orang menjadi sukses. Saya juga akan menjawab; suksesnya pun, paling banter hanya menjadi karyawan (pabrik, kantor dst.) Iya, kesuksesan yang sangat berbau matrealistik.

Kesuksesan palsu semacam itu tak terlepas dari adanya pengebirian akal manusia. Dalam arti lain, siswa harus menjadi seragam, teratur dan manut. Misalnya, siswa yang tak memakai sepatu berwarna hitam akan didenda. Atau, siswa yang 'kurang bisa matematika' dipaksa menelan (mentah-mentah) matematika. Abstraksi ini sangat cocok dengan penggalan kalimat William Butler Yeats; "Pendidikan bukan mengisi ember.."

Dari ucapan William Butler Yeats itulah kita bisa menemukan solusi yang tepat bagi masalah pendidikan di atas. Bahwa pendidikan bukan sekedar mengisi ember, melainkan menyalakan api. Pendidikan bukan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan saja (kemudian mengebiri kekreatifitasan), melainkan memberi motivasi dan prinsip yang kuat kepada para siswa (menumbuhkan kekreatifitasan).

Guru tak lagi menjadi dewa pengetahuan (yang memaksa). Guru harus berubah menjadi fasilitator. Mewadahi, mengarahkan, membimbing dst.. para siswa. Menjadikan dirinya sendiri sebagai pendamping, bukan penguasa siswa. Tapi tetap menjaga Marwah Guru; digugu lan ditiru-nya.

Iya, begitulah prinsip (pendidikan) yang saya pegang. Tapi itu dulu! Sekarang harus realistis. Tak boleh neko-neko. Kudu mengikuti arus--menjadikan siswa sebagai ember yang terus-terusan diisi.

Bahkan, yang aneh, ketika saya harus microteaching dengan sesama mahasiswa. Sementara, dalam RPP, yang menjadi objek pendidikan adalah siswa MTs kelas VII?

Bukankah seharusnya pendidikan adalah menyalakan api? Kenapa masih terus menyebut api adalah penyebab kerusakan?

Ikuti tulisan menarik M Khasbi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu