x

Iklan

Febrianto Edo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2019

Senin, 12 Agustus 2019 17:33 WIB

Simbol dan Semangat Persatuan

Masyarakat perlu mengikuti jejak kedua anak bangsa terbaik ini dengan merangkul antar sesama baik yang kubu 01 maupun 02. Merangkul dalam dalam harmoni kebersamaan-bukan kami tapi kita. Sehingga, yang ada bukan kalah atau menang, kampret atau cebong, tetapi kita bicara Indonesia yang maju akan datang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wacana rekonsiliasi ramai diperbincangkan, pasca pilpres usai. Polarisasi politik menjadi cikal bakal diksi rekonsiliasi digaungkan. Fragmentasi antara kedua pendukung baik Jokowi-Maaruf Amin maupun Prabowo- Sandi Salahudhin Uno menjadikan basis argumentasi, rekonsiliasi segera digelar.

Wacana pertemuaan Jokowi dan Prabowo kunci melenturkan tensi politik yang sudah merambah kehidupan masyarakat. Tak ayal, pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT menjadi saksi bisu rekonsiliasi yang diharapkan masyarakat. Harapan untuk mengakhiri tensi politik, diksi yang membelah masyarakat (kampret vs cebong) dan mengakhiri terminologi menang dan kalah-atau kami bukan kita.

Idealnya, setelah putusan Makamah Konstitusi, semua elite dan seluruh lapisan masyarakat menghormatinya dan menggalangkan narasi persatuan antar-anak bangsa. Toh, setiap kompetisi selalu ada menang maupun kalah. Tetapi, karena kepentingan politik pragmatis elite, narasi rekonsiliasi dilewatkan. Polarisasi masyarakat semakin menguat, fitnaan maupun ejekan antar pendukung memperlebar jurang kebencian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak bisa dipungkiri, sebelum pilpres, pasca pilpres dan sesudah pilpres, amukan wacana di tengah masyarakat antara kedua kubu memperlebar polarisasi di masyarakat. Mulai dari tuduhan dan fitnah dari masing-masing pendukung menjejali jagad maya dan ruang realitas masyarakat. Tuduhan dan fitnaan tersebut, merambah di lingkungan masyarakat. Pertemanan menjadi jarak, tidak menyapa satu sama lain, bahkan suami istri dan anak dalam satu keluarga tidak harmonis lantaran beda pilihan politik saat pilpres.

MRT dan Simbol

Pertemuan Jokowi dan Prabowo memantik apresiasi juga ejekan. Apresiasi karena melenturkan tensi antar masyarakat Ejekan karena wacana bergabungnya Gerindra di dalam koalisi. Pertemuan ini juga, tentu membawa dampak kepada kedua pendukung 01 dan 02 untuk segera move on dari keriuhan politik. Rekonsiliasi di MRT erat kaitannya dengan simbol. Pertanyaan mengapa pertemuaan Jokowi dan Prabowo dilakukan di MRT? Mengapa tidak di Istana, supaya terkesan formal?

Seluruh aspek kehidupan manusia digerakkan oleh simbol-simbol, dibentuk oleh simbol dan dirayakan dengan simbol-simbol. Begitu pula dengan politik tak terlepas dengan simbol-simbol. Jokowi dan Prabowo bertemu di MRT yang mengekspresikan sesuatu tentang proyek infrastruktur, manifestasi dari simbol-simbol yang melekat dalam diri seseorang dan pola kerja kekuasaan.

Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana, (Sobur, 2001.43). Artinya simbol  sebagai khas kehidupan manusia. Dengan kata lain, simbol-simbol untuk menunjukan kepada simbol-simbol lain terhadap pemaknaan simbol.

Tak pelak, Jokowi melekat dengan simbol-simbol kebudayaan (Jawa) dalam kepemimpinanya. Beberapa hari lalu, kita mendengar filosofi Jawa yang menjadi pegangan hidupnya. Kurang lebih Jokowi mengatakan, “Lamun siro sekti ojo mateni, artinya meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan. Lamun siro banter ojo ndhisiki, meskipun kamu cepat jangan suka mendahului. Lamun siro pinter ojo minteri, meskipun kamu pintar jangan sok pintar”.

Untuk itu, Geertz, dalam esai, “Religion as a Cultural System”, (1966), titik sentral rumusan kebudayaan terletak pada simbol. Simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai. Di sisi lain, simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana budaya warga menjalani hidup,  sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, simbol-simbol kebudayaan, melekat dalam diri Jokowi. Misalnya, filosofi Jawa yang menjadi pegangan hidup Jokowi, bentuk dinamisasi interaksi sosial sekaligus representasi realitas sosial. Jokowi yang selalu diasosiasikan dengan istilah wong cilik dan ndeso misalnya, manifestasi kebudayaan.

Tak pelak, saat Jokowi mengunjungi daerah-daerah di Indonesia, terbersit dalam teks pidatonya bahasa daerah yang dikunjungi. Entah itu sapaan selamat pagi (dalam bahasa daerah) maupun sapaan lain khas daerah bersangkutan (baca; horas). Atau simbol-simbol pakaian yang dikenakan Jokowi. Jokowi selalu tampil menggunakan batik nusantara, dan ibu Iriana menggunakan kebaya atau batik nusantara juga.

Begitu pula dengan Prabowo yang melekat dengan simbol-simbol ketegasan dalam dirinya. Kepribadiaan yang nasionalis dengan cara berpidato yang menggetarkan banyak orang. Artinya kedua anak bangsa terbaik, memiliki ornamen dan falsafah hidup untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.

Terayar, Jokowi bertemu dengan Prabowo di MRT. Keduanya menggunakan kemeja putih. Pertemuaan ini tentu memiliki makna yang dalam, ikhwal rekonsiliasi. Kemeja putih yang menggambarkan kesamaan pandangan untuk merajut kebersamaan dan MRT sebagai bentuk kerja nyata Jokowi untuk infrastruktur. Artinya baik Prabowo maupun Jokowi menginginkan Indonesia yang maju akan datang.

Artinya, simbol yang melekat dalam diri Jokowi dan Prabowo memiliki pandangan yang sama untuk mendinginkan tensi politik. Kemelekatan itu selaras dengan gaya pakaian yang seragam (serba putih) dan bertemu di MRT sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat soal infratruktur. Daya magis simbol kedua putra terbaik bangsa ini ditangkap positif oleh masyarakat dan memperkuat kenyakinan masyarakat, akan rekonsiliasi, merajut kembali tenun kebangsaan.

Dengan kata lain, konsep diri manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh, melainkan organisme yang sadar akan dirinya (an organism having a self). Ia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan berinteraksi. Artinya tindakan, sikap dan situasi sesuai dengan apa yang ia jalankan dalam kehidupannya (Liitlejhon, 1996.161).

Masyarakat perlu mengikuti jejak kedua anak bangsa terbaik ini dengan merangkul antar sesama baik yang kubu 01 maupun 02. Merangkul dalam dalam harmoni kebersamaan-bukan kami tapi kita. Sehingga, yang ada bukan kalah atau menang, kampret atau cebong, tetapi kita bicara Indonesia yang maju akan datang.

 

Febrianto Edo, Studi Jurnalistik, Komunikasi IISIP Jakarta

 

 

Ikuti tulisan menarik Febrianto Edo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler