x

Sumber: Tempo.co

Iklan

Samsul Bahri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Mei 2019

Senin, 2 September 2019 07:24 WIB

Beranikah Presiden Jokowi Menolak Nama Hasil Kerja Pansel KPK?

Penggiat anti korupsi mendesak Presiden Jokowi agar menolak 10 nama Calon Pimpinan KPK dari hasil kerja Pansel KPK, tampaknya kecil kemungkinan nama tersebut berubah saat diajukan ke DPR, maka siap-siap Rakyat dan Penggiat Anti korupsi menuntut di DPR.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak awal pembentukannya bulan Mei lalu, integritas anggota Pansel KPK sudah diragukan oeh aktivis anti korupsi. Namun kritikan itu seperti angin lalu, Pansel KPK  jalan terus tanpa perubaan susunan anggota beserta mekanisme kerjanya. Dengan lolosnya beberapa perwira Polri, yang sejak awal menjadi kekhawatiran penggiat anti korupsi, terbukti, kritikan dan kecaman semakin kuat kepada penolakan nama hasil kerja Pansel KPK yang akan segera mengakhiri tugasnya. Pansel KPK sudah melaksanakan pengujian akhir dari 20 orang calon Pimpinan KPK dipilih 10 orang diantaranya sudah diserahkan kepada Presiden Jokowi.

Meskipun Pansel KPK sudah mengumumkan 10 orang Capim KPK, namun publik mencurigai setidak-tidaknya satu orang diantara 10 orang yang telah memiliki rekam jejak meragukan integritasnya sebagai pimpinan KPK, melansir Tempo.co (27/8/20119), nama tersebut adalah Firli Bahuri,  Inspektur Jenderal Polisi Firli Bahuri diduga melakukan pelanggaran etik karena melangsungkan pertemuan dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi atau TGB Zainul Majdi. Pertemuan tersebut berlangsung saat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, sementara TGB diduga terkait dalam kasus divestasi Newmont Nusa Tenggara.

Nama lain yang yang lolos seleksi adalah; Alexander Marwata, Komisioner KPK; I Nyoman Wara, Auditor BPK; Johanis Tanak, Jaksa; Lili Pintauli Siregar, Advokat; Luthfi Jayadi Kurniawan, Dosen; Nawawi Pomolango, Hakim; Nurul Ghufron, Dosen; Roby Arya B, PNS Sekretariat Kabinet; dan  Sigit Danang Joyo, PNS Kementerian Keuangan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa begitu krusial penentuan pimpinan KPK?

Meskipun Polri dan Kejaksaan memiliki kewenangan pemberantasan korupsi, KPK adalah satu-satunya lembaga negara yang relatif masih dipercaya publik, disegani, ditakuti, dan tumpuan harapan pada pemberantasan korupsi yang telah merusak seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.  Korupsi dalam berbagai bentuk turunan dan variasinya  telah melumpuhkan hakekat tugas dan fungsi hampir semua komponen bernegara; eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga politik, dan bahkan  lembaga pers dapat  dilumpuhkan koruptor. KPK benteng terakhir, bila jebol juga, maka sirnalah harapan .  

KPK bersifat independen,  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Pimpinan KPK ada lima orang, jabatan selama empat tahun. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial, artinya bersama satu keputusan. Syarat formal menjadi Pimpinan KPK sangat panjang dan lengkap, sehingga orang awam sulit memaknainya,  namun secara singkat dia adalah ‘manusia setengah dewa’. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mencari ‘manusia setengah dewa’ di kehidupan bernegara yang sudah sakit karena wabah korupsi, bahkan kontradiktif,  sangat biasa  sehingga disebut kejahatan luar biasa!

Mencari pendekar sejati anti korupsi sabagai Pimpinan KPK bukanlah pekerjaan mudah. Pendekar yang dicari haruslah ulung, bersih, bebas, kuat, disegani kawan, dan ditakuti lawan. Karena lawannya adalah pendekar jahat gembong-gembong korupsi yang selain cerdik dan licin, juga didukung kekuatan kekuasaan politik oportunis  yang dapat menghancurkan siapa saja yang berani menentangnya.  

Kesulitan lainnya adalah jaringan politisi oportunis akan memasukkan pendekar-pendekar siluman sebagai jagoannya berlaga memimpin KPK. Pendekar siluman,  cerdik  mengecoh dan mengelabui sehingga sulit ditanda dengan cara biasa. Meskipun sulit menemukan, sebenarnya masih ada beberapa ‘manusia setengah dewa’ di Indonesia. Masalahnya meraka tidak terjaring dalam proses pemilihan atau mereka terjaring tapi dibuang.

Elit-elit politik oportunis  selalu memasang kuda-kuda dalam pertarungan perebutan Pimpinan KPK. Bahkan pada tingkat paling awal sekalipun, yaitu memilih panitia pemilih, sudah dicampuri pengaturannya.  Kelompok oportunis yang berhasil menjadikan jagoannya sebagai pimpinan KPK akan memperoleh banyak keuntungan strategis. Keuntungan strategis diperoleh karena saat ini hampir semua politisi dan penyelenggara negara telah tersandera kepentingan dan korupsi, persoalannya hanya siapa yang mau menjeratnya.

Keuntungan strategis tersebut; Pertama memiliki kekuasaan menjegal atau meng-kandang-kan musuh-musuh politiknya, orang-orang  yang tidak disukai, ataupun pembangkang. Kedua, memiliki kekuasaan melindungi atau pembiaran orang/anggota  partai yang melakukan korupsi sehingga semua anggota merasa aman untuk lebih menguatkan kekuasaan partai.

Oleh sebab itulah, ada tuntutan agar pimpinan KPK bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, maka haruslah bebas dari  kepentingan partai politik. Memang ada  pendapat lain, bukan persoalan jagoan dari partai politik atau bukan, yang penting bila telah menjadi pimpinan KPK,  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Tapi kenyataan kita hari ini,   politik oportunis yang berkuasa akan selalu menggunakan kekuasaannya untuk melanggengkan kekuasaanya melalui penguasaan institusi penegak hukum.

Persoalan inilah yang dikhawatirkan penggiat anti korupsi, sejak semula meragukan kapasitas dan kapabilitas  anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK. Tanda-tanda dari cara kerja  Pansel  telah tercium  oleh penggiat anti korupsi akan  menjurus memilih orang-orang di kepolisian dan kejaksaan. Penggiat anti korupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, tidak setuju jika terdapat unsur Polri dan Kejaksaan dalam jajaran pimpinan KPK. Hal itu melihat rekam jejak para penegak hukum selama ini memiliki reputasi yang kurang baik dalam ranah pemberantasan korupsi. Apakah sosok  calon Pimpinan KPK sudah ada orangnya,  sehingga kerja Pansel  hanya formalitas belaka? Semoga tidak!

Sesungguhnya, tugas, fungsi, dan kewenangan memberantas korupsi bukan hanya  KPK, dari cabang ekskutif seperti Polri dan Kejaksaan memiliki kewenangan serupa, maka Presiden selaku Pemimpin Ekskutif  memiliki kekuasaan memberantas korupsi. Bahkan tanpa KPK sekalipun, Presiden memiliki kuasa memberantas korupsi,  persoalannya adalah niat dan keberanian! Lalu menjadi kontradiksi, Presiden tidak perlu intervensi  pada KPK, dilain sisi dituntut kekuasaannya  menentukan pimpinan KPK. Mempersoalkan hal ini selalu menjadi polemik karena hakekat masalahnya bukan disitu,  kekuasaan oligarki  politik oportunis populislah akar persoalannya.  Sepanjang kesadaran berpolitik Rakyat masih sanggup diperdaya  rezim politik oportunis populis, maka semua persoalan korupsi hanya dijadikan  polemik tak bermakna.

Kembali ke mekanisme penentuan Capim KPK, memang Presiden memiliki hak membatalkan hasil kerja Pansel KPK, menjadi tidak bermakna beliau membentuk dan mempercayakan bila hasil kerja Pansel tidak dipercayainya. Hal ini sudah pasti diperitungkan sejak semula di saat pemilihan anggota Pansel.  Presiden Jokowi meskipun mengaku sudah tidak memiliki beban apa-apa lagi di periode terakhir pemerintahannya, sulit diharapkan berani menolak nama yang diajukan Pansel meskipun tidak sesuai dengan hati nuraninya. Presiden Jokowi merupakan produk politik populis, beliau akan mengambil sikap pasrah kepada kekuatan politik oportunis, dengan tetap mengajukan nama-nama  Capim KPK hasil Pansel KPK. Bila demikian,  yang dikejar selanjutnya oleh penggiat anti korupsi adalah DPR.

Penggiat anti korupsi bekolaborasi dengan penggiat demokrasi  perlu memperkuat  kesadaran memaknai  hakekat kita berdemokrasi, memilih wakil Rakyat  untuk  memperjuangkan kepentingan Rakyat, dalam hal ini memilih calon pimpinan KPK yang berintegritas dan bermoral. Nama 10 orang  Capim KPK akan segera diserahkan Presiden ke DPR untuk diuji kepatutan dan kelayakannya. Di DPR lah nanti perlu dikritisi dan dituntut agar tidak meloloskan nama-nama yang tidak dipercayai sesuai harapan hati nurani Rakyat.  

Strategi kerja penggiat anti korupsi yang telah mengawal seleksi capim KPK sejak awal pembentukan Pansel KPK, sebaiknya mempersiapkan mengalihkan tuntutannya ke DPR. Perlu juga diperhitungkan, saat ini masih kental polarisasi opini penerimaan hasil pilpres, setiap isu yang menkritisi kepada Presiden Jokowi dianggap ditunggangi lawannya Jokowi, meskipun itu demi kebaikan Pemerintahan Jokowi.   

Menuntut ke DPR,  dimana anggotanya lebih banyak politisi oportunis produk politik uang, hasilnya belum tentu mengubah keadaan,  namun secara demokrasi itulah jalan terakhir. Pada akhirnya, siapapun nantinya ditetapkan sebagai pendekar anti korupsi terpilih memimpin KPK, harus kita terima, menerima kenyataan bahwa demikianlah kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari ini.

Ikuti tulisan menarik Samsul Bahri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu