x

Ribuan Mahasiswa saat menggelar aksi menolak RKUHP dan UU KPK yang baru di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin, 23 September 2019. Dalam Aksi tersebut mereka menyampaikan mosi tidak percaya kepada DPR RI dan menolak RKUHP karena memuat pasal-pasal yang kontroversial serta menolak UU KPK yang baru disahkan oleh DPR RI. TEMPO/M Taufan Rengganis

Iklan

YOHAN MISERO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 24 September 2019 07:35 WIB

24 September, RKUHP, dan Narkotika

Kata Presiden, "Regulasi harus mempermudah rakyat mencapai cita-citanya. Regulasi harus memberikan rasa aman dan regulasi harus mempermudah semua orang berbuat baik, mendorong semua pihak untuk berinovasi menuju Indonesia maju dan sejahtera." Apakah RKUHP mencerminkan itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

23 September 2019 telah menunjukkan pada kita betapa berharganya demokrasi. Masyarakat dan mahasiswa di berbagai daerah terus bersuara menentang banyaknya perubahan, yang tidak dikehendaki, di negeri ini. Gelora protes ini setidaknya berfokus pada dua hal: KPK dan RKUHP.

Sesungguhnya, keributan mengenai RKUHP membuat saya, sebagai seorang lulusan fakultas hukum, sangat terpana. Kok bisa ya, sebuah dokumen yang berisi ratusan pasal membosankan ini mendapat perhatian publik sebesar ini? Respon ini sepertinya mencerminkan betapa masyarakat Indonesia hari ini adalah masyarakat yang menyadari betul betapa berharganya kebebasan berpendapat, ruang privat, dan demokrasi. 

Respon publik yang luar biasa inilah yang kemudian membuat Istana pun angkat bicara. Ada pasal-pasal yang bermasalah menurut presiden. Pasal-pasal yang secara umum bicara tentang ruang privat, perempuan, kritik pada negara, serta korupsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya tentu memahami bahwa dalam persoalan advokasi, banyak rekan-rekan masyarakat sipil yang ingin menghindari konteks yang ingin saya bicarakan ini. Namun, saya menilai bahwa kalau Indonesia serius pada aspek privasi, bahkan investasi, hal ini sebaiknya tidak dilupakan. Aspek ini ialah: narkotika.

Secara umum, regulasi mengenai narkotika di Indonesia hari ini diatur melalui UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Peraturan-peraturan lain yang cukup berkaitan antara lain ialah UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Lalu, kaitannya apa dengan RKUHP?

Perlu kita pahami bersama bahwa salah satu motivasi perancangan RKUHP adalah “penyederhanaan.” Dan yang ingin disederhanakan ialah letak pelbagai aturan pidana yang tersebar di berbagai UU ke dalam satu dokumen hukum saja: RKUHP.

RKUHP disusun dengan tujuan agar masyarakat, dan terutama penegak hukum, tinggal merujuk pada satu aturan perundang-undangan ketika ingin merujuk atau mencari sebuah aturan pidana.

Konsep penyederhanaan ini pula yang kemudian “dijual” oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo ke hadapan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan konsultasi terkait RKUHP antara DPR dengan Presiden. Presiden Joko Widodo, baik dalam pidato maupun kampanye Pilpres, beberapa kali menyampaikan dalam urusan regulasi Presiden mengharapkan sesuatu yang simpel. Hal ini menurut saya dibawa keluar konteks oleh Bambang Soesatyo karena ketika Presiden menyampaikan hal tersebut, hal itu ia sampaikan dengan tujuan untuk memperlancar investasi masuk, hal yang untuk baik tidaknya tentu dapat selalu diperdebatkan.

Menurut saya, RKUHP tidak dapat dianggap enteng sebagai sebuah penyederhanaan regulasi. Hukum pidana haruslah dibuat seketat dan seserius mungkin karena hukum pidana berimplikasi menggerus dan mencerabut seseorang dari kebebasannya. Untuk membuat sebuah hal yang tadinya bukan tindak pidana menjadi sebuah tindak pidana, haruslah dipikirkan dengan sangat matang dan mempertimbangkan berbagai hal. Termasuk juga suara penolakan masyarakat yang kian hari kian nyaring. Mengapa?

Karena ketika sebuah tindakan dianggap sebagai sebuah tindak pidana oleh hukum, maka negara kemudian harus menugaskan polisinya, jaksanya, dan hakimnya untuk menyelesaikan perkara tersebut. Negara juga yang kemudian harus menagih dendanya atau memenjarakannya. Artinya, hukum pidana, proses peradilan pidana, dan pemidanaan itu adalah sebuah hal yang menghabiskan sumber daya negara, baik itu manusia pun finansial. Jika sembrono dalam merumuskannya, negara bisa jadi kewalahan menjalankannya padahal ada mekanisme dan cara lain dalam menyelesaikan sebuah masalah selain dengan hukum pidana.

Betapa kewalahannya negara dalam menjalankan sebuah ketentuan pidana mudah sekali terlihat dalam persoalan penegakan hukum bagi pemakai narkotika. Tahun 2019 ini adalah tahun ke-10 implementasi UU Narkotika. Dalam 10 tahun ini saja, sudah ratusan ribu orang masuk ke dalam penjara hanya karena ia adalah seorang pemakai narkotika. Memakai, menguasai, membeli, atau menanam narkotika, sertai serangkaian tindakan yang harus dilakukan seorang pemakai narkotika untuk memakai zat atau tanaman yang ia mau, oleh UU Narkotika dianggap sebuah tindak pidana dan oleh sebab itu pemakai narkotika hari ini memenuhi penjara-penjara di negeri ini. Hal yang juga dikeluhkan oleh Kemenkumham sendiri.

“Pemakai narkotika berhak atas rehabilitasi,” tidak lebih dari jargon sebagai upaya humanisasi dari tidak manusiawinya penegakan hukum narkotika. Ketika Kemensos dan Kemenkes mengeluhkan betapa minimnya orang yang mengakses rehabilitasi yang sudah disediakan negara, mungkin ada baiknya negara mempertanyakan wajah seperti apa yang sudah mereka tampilkan pada pemakai narkotika di negeri ini? Uluran tangan yang tulus menolong atau penghukuman serta stigma dan diskriminasi?

Negara semestinya tahu persis betapa sia-sianya intervensi hukum pidana pada pemakai narkotika karena: (1) tidak mengerdilkan permasalahan peredaran gelap narkotika, (2) tidak mengatasi problem adiksi, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami pemakai narkotika, (3) enggannya pemakai narkotika untuk berinteraksi dengan negara bahkan dalam urusan rehabilitasi, (4) munculnya persoalan overcrowding di Rutan dan Lapas, (5) sibuknya penegak hukum dalam menanangi perkara pemakai narkotika padahal ada kasus lain yang lebih mendesak, (6) banyaknya insiden penyiksaan dan juga praktik korupsi dalam penegakan hukum bagi pemakai narkotika, dan masih banyak lagi. 

Maka amatlah mengherankan ketika negara mengetahui semua ini, RKUHP justru hanya menyalin tempel ketentuan pidana dari UU Narkotika dan masih mengkriminalisasi pemakai narkotika. RKUHP tidak mengandung perubahan berarti bagi situasi hukum pemakai narkotika: tidak ada pengecualian untuk digunakan bagi diri sendiri bahkan tidak disebutkannya unsur kesengajaan dalam pasal.

Pilihan paling baik pragmatis adalah membiarkan tindak pidana narkotika ada di UU tersendiri. Hal ini, setidaknya, memastikan bahwa perkembangan hukum yang sudah terjadi dalam 10 tahun terakhir terhadap UU Narkotika tidak terbuang begitu saja.

Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, bahkan Bareskrim Polri masing-masing memiliki semacam surat edaran untuk membantu proses penegakan hukum membedakan mana yang merupakan pemakai narkotika dan mana yang punya keterlibatan lebih dalam dengan peredaran gelap. Sudah pernah ada pertemuan tujuh institusi yang merupakan stakeholder utama dalam urusan narkotika yang kemudian menghasilkan panduan yang lebih kuat dalam upaya melepaskan pemakai narkotika dari jerat hukum. Bahkan ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengkritisi ketentuan UU Narkotika sebagai pasal-pasal yang terlalu mudah memenjarakan orang.

Perkembangan-perkembangan hukum ini sebaiknya disarikan dan kemudian dijadikan pertimbangan untuk merevisi UU Narkotika. Namun yang terjadi malah upaya “penyederhanaan” melalui RKUHP. Sebuah hal yang bisa dibilang malas dan insensitif.

Patut juga dicatat bahwa RKUHP meninggalkan Pasal 127 UU Narkotika tetap berada di UU Narkotika. Pasal ini, meski sesungguhnya adalah pasal pemidanaan, memiliki reputasi sebagai “pasal rehab” karena beberapa ayat di dalamnya. Perancang RKUHP mungkin berharap dengan tidak diganggu gugatnya pasal ini di UU Narkotika maka masih terbuka pintu rehabilitasi bagi pemakai narkotika. Perancang RKUHP nampaknya lupa bahwa dengan mencaplok pasal-pasal pemidanaan lain dari UU Narkotika maka, dalam proses penegakan hukum, kawan-kawan aparat penegak hukum harus merujuk ke dua regulasi, yakni KUHP baru dan UU Narkotika. Realitanya ialah ketika semua pasal pemidanaan ada di satu UU saja, dalam hal ini UU Narkotika, Pasal 127 jarang sekali dikenakan pada pemakai narkotika. Bagaimana kita berharap penegak hukum mau merujuk ke dua UU yang rumit ketika berhadapan dengan seorang pemakai narkotika?

Apakah tidak ada ketentuan soal rehabilitasi di RKUHP? Ada. Namun, keberadaan rehabilitasi di RKUHP ditempatkan sebagai pidana tambahan. Artinya, seseorang yang diputus bersalah dengan pasal narkotika di RKUHP dan dianggap sebagai pemakai narkotika dapat menjalani pidana tambahan rehabilitasi. Hal inilah yang kemudian melanggengkan persepsi yang keliru tentang pemakai narkotika. Pemakai narkotika semestinya hanya diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Hukum pidana tidak dapat dan tidak akan pernah menjawab kebutuhan pemakai narkotika.

Yang makin membuat geleng kepala adalah di saat bersamaan sedang dibahas RUU Pemasyarakatan. Salah satu hal yang paling menyesakkan dari RUU Pemasyarakan ini adalah dibukanya kemungkinan swastanisasi penjara. Pengesahan RKUHP yang akan makin banyak memenjarakan orang seakan direspon dengan gembira oleh penyusun RUU, “Wah, ada peluang bisnis!”

Penjara swasta adalah satu dari beberapa hal yang tidak perlu kita contoh dari Amerika Serikat. Ketika pintu swastanisasi penjara kita buka, maka Indonesia akan membangun sebuah industri baru yakni industri penjara. Di Amerika Serikat, industri penjara telah berulang kali menghambat reformasi hukum pidana. Ia adalah musuh yang tidak perlu kita ciptakan. 

Meski tercatat pada 23 September kemarin, Bambang Soesatyo menyatakan bahwa sepertinya RKUHP tidak akan disahkan besok dan Yasonna Laoly, Menkumham, juga menyatakan bahwa RUU Pemasyarakatan juga belum akan disahkan. Tapi pantauan masyarakat terhadap RKUHP dan perkembangan regulasi-regulasi terkait narkotika haruslah tetap dijaga. Karena bagaimanapun juga, 24 September ini maupun hari-hari setelahnya bisa jadi kita semua kecolongan. Sebagaimana terjadi pada revisi UU KPK dan UU MD3.

Sebagai penutup, berikut adalah kutipan dari pidato Presiden Joko Widodo di Gedung MPR/DPR di Senayan pada 16 Agustus 2019 lalu:

“Inti dari regulasi adalah melindungi kepentingan rakyat serta melindungi kepentingan bangsa dan negara. Regulasi harus mempermudah rakyat mencapai cita-citanya. Regulasi harus memberikan rasa aman dan regulasi harus mempermudah semua orang berbuat baik, mendorong semua pihak untuk berinovasi menuju Indonesia maju dan sejahtera.  

Oleh karena itu, ukuran kinerja pembuat para pembuat peraturan perundang-undangan harus diubah. Bukan diukur dari seberapa banyak undang-undang, PP, Permen, ataupun Perda yang dibuat tetapi sejauh mana kepentingan rakyat, kepentingan negara, kepentingan bangsa itu bisa dilindungi.”

Apakah RKUHP melindungi kepentingan rakyat? Atau justru memecah belah keluarga? Atau justru menggagalkan studi seorang mahasiswa semata karena ia bersentuhan dengan narkotika? Atau juga mencerabut seorang karyawan dengan pekerjaan dan inovasi yang dapat ia lakukan hanya karena ia ingin sedikit menghibur diri di akhir pekan? 

Dari pidato yang sama, ada pula sebuah paragraf yang nampaknya ditujukan pada penegakan hukum di isu korupsi. Namun saya pribadi menganggap, paragraf ini lebih cocok apabila direnungkan pada konteks penegakan hukum narkotika: 

“Ukuran kinerja para penegak hukum dan HAM juga harus diubah termasuk kinerja pemberantasan korupsi. Penegakan hukum yang keras harus didukung. Penegakan HAM yang tegas harus diapresiasi. Tetapi keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang yang dipenjarakan. Bukan itu. Tetapi harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan HAM yang bisa dicegah. Berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Ini perlu kita garis bawahi. Oleh karena itu, manajemen, tata kelola, dan sistemlah yang harus kita bangun.”

Sayang sekali, Pak Presiden. Sayang sekali. Sepertinya pembuat rancangan UU, yakni DPR dan Pemerintah, lebih tertarik membangun penjara baru serta regulasi punitif yang jauh dari kata inovatif.

Oleh karena itu, boleh dong siang nanti kami turun ke jalan (lagi)? Sekedar silaturahmi. Siapa tahu, kali ini kami (benar-benar) didengarkan.

Ikuti tulisan menarik YOHAN MISERO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu