x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 28 September 2019 06:45 WIB

Kampus Mau Disterilkan?

Jika sekarang Menristekdikti Nasir menekan para rektor untuk mencegah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi, yang ia lakukan sama halnya dengan hendak mematikan kesadaran politik mahasiswa. Betapapun anak-anak muda milenial dikenal asyik dengan dunianya sendiri, mereka terbukti tergugah ketika demokrasi kita dalam bahaya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah apa yang dipikirkan oleh M. Nasir, Menristekdikti. Setelah sempat menggaungkan wacana impor rektor asing yang membikin heboh, kini ia melompat ke wacana lain: menginstruksikan para rektor untuk tidak mengerahkan mahasiswa berdemonstrasi. Menurut Nasir, instruksi itu hasil pertemuannya dengan Presiden Jokowi. Nasir mengatakan, rektor harus bisa meredam mahasiswa agar tidak berdemonstrasi dan ada sanksi bagi yang tidak mampu menanganinya.

Setahu saya, rektor kampus manapun di negeri ini tidak pernah mengerahkan mahasiswanya untuk berdemonstrasi. Mahasiswa bergerak atas pikirannya sendiri, yang prihatin menyaksikan bangsa dan negerinya berada di simpang jalan. Ketika sejumlah rektor universitas di DI Yogyakarta, termasuk UGM, beberapa hari lalu mengeluarkan seruan menolak aksi demonstrasi, mahasiswa tetap turun ke jalan. Mereka tidak memenuhi seruan para pejabat kampus dan memilih berhimpul di Gejayan.

Mahasiswa memiliki pandangannya sendiri mengenai apa yang hendak mereka lakukan agar bangsa ini kembali berjalan di rel yang benar. Mereka yang aktivitasnya berbasis kampus pada umumnya tidak punya kepentingan dan bias politik praktis. Mereka bergerak untuk memperjuangkan nilai-nilai baik bagi masyarakatnya: pro-demokrasi, anti-otoritarian dan kesewenang-wenangan, maupun anti-korupsi. Mereka turun ke jalan karena pemerintah dan parlemen tidak mengajak rakyat berdialog mengenai seluruh rancangan undang-undang yang mereka kerjakan bersama. Mahasiswa turun ke jalan bukan untuk tujuan kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Andaikan para elite politik menjalankan proses demokrasi dengan semestinya, antara lain menyerap aspirasi rakyat melalui pertukaran pikiran, para mahasiswa tidak akan turun ke jalan. Mereka toh sudah sibuk dengan aktivitas kuliah, mengerjakan tugas dan ujian, praktikum di laboratorium, menyusun laporan, walau masih menyempatkan diri aktif di kegiatan ekstra kurikuler.

Tapi, ketika alarm demokrasi berbunyi nyaring, pertanda bahwa demokrasi kita dalam bahaya karena saluran dialog dibikin mampet, ketika para elite politik enggan mendengarkan pikiran dan kehendak rakyat, mahasiswa terpanggil untuk berbuat sesuatu. Mahasiswa tergerak untuk memenuhi panggilan itu. Mahasiswa tidak akan turun ke jalan apabila demokrasi berjalan normal dan tidak dimanipulasi oleh dan untuk kepentingan sedikit orang.

Jika sekarang Menristekdikti Nasir menekan para rektor untuk mencegah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi, yang ia lakukan sama halnya dengan hendak mematikan kesadaran politik mahasiswa. Betapapun anak-anak muda milenial dikenal asyik dengan dunianya sendiri, mereka terbukti tergugah ketika alarm demokrasi berdering. Mematikan kesadaran politik mahasiswa itu a-historis: sejak masa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, mahasiswa telah terlibat dalam urusan politik.

Di era sekarang, mereka menjalankan peran sebagai penyambung lidah rakyat atau pelantang suara rakyat agar diperhatikan oleh elite politik. Jika rektor ditekan, cara ini tidak ubahnya dengan cara yang ditempuh pemerintahan Orde Baru, melalui NKK/BKK, untuk menyeterilkan kampus dari politik, untuk membuat akademisi dan mahasiswa tidak sadar politik—tapi, apakah bisa? Ini sama saja dengan mengingkari kenyataan bahwa di perguruan tinggi mereka sedang mendidik diri berpikir kritis, dan kini pikiran kritis itu hendak disterilkan.

Sebagian rektor mungkin akan lebih memilih mengikuti instruksi pemerintah ketimbang harus terkena sanksi. Sungguh menyedihkan bila figur yang seharusnya menjaga kebebasan akademik akhirnya memilih jalan yang nyaman bagi dirinya. [sekedar catatan: di masa lalu, di ITB ada sejumlah rektor yang mampu mengayomi mahasiswanya dan menjaga kebebasan akademik kampusnya ketika perguruan tinggi di bawah tekanan pemerintah, sebutlah di antaranya Doddy Tisnaamidjaja, Iskandar Alisjahbana, dan Soedjana Sapi’ie, sedangkan di UI terdapat Mahar Mardjono].

Turun ke jalan sesungguhnya merupakan pilihan akhir mahasiswa ketika saluran dialog tidak dibuka oleh elite politik yang merasa lebih tahu tentang apa yang baik bagi masyarakatnya, ketika elite politik tidak mau mendengar aspirasi rakyat banyak. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu